"Karena pada hakikatnya dia halal dan tidak membahayakan," ujar Niam dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Niam menjelaskan MUI secara khusus telah melakukan kajian panjang terkait dengan penggunaan pewarna makanan dari serangga Cochineal sejak 2011.
Kajian tersebut dilakukan secara intensif dengan menghadirkan sejumlah ahli yang salah satunya dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
"Berdasarkan informasi ahli yang memang secara khusus melakukan penelitian mengenai serangga menjelaskan sifat-sifat Cochineal dan mendekati al jarot," kata dia.
Dengan begitu, kata Niam, MUI memutuskan bahwa serangga Cochineal bisa digunakan untuk pewarna makanan, obat-obatan, kosmetika, dan lain-lain.
Baca juga: LPPOM MUI Shanghai: standar halal Indonesia beri jaminan ke konsumen
"Fatwa MUI tersebut dikeluarkan secara independen dan sesuai dengan pedoman penetapan fatwa MUI termasuk di antaranya didahului dengan kajian-kajian yang melibatkan para pakar di bidangnya," kata dia.
Dalam konteks ini, MUI telah melakukan kajian yang mendalam dari aspek sains maupun fikih. "Secara jama’i (kolektif) fatwa disepakati hasil sebagaimana termaktub dalam fatwa MUI," kata dia.
Ia menjelaskan sebagai salah satu masalah yang masuk dalam ijtihad, perbedaan hasil ijtihad sangat mungkin terjadinya perbedaan. Bahkan, jika hal tersebut juga dirujuk dari sumber-sumber mu’tamad (terpercaya) dari mazhab-mazhab fikih.
Oleh karena itu, menurutnya, perbedaan hasil fatwa MUI dengan LBM-PWNU Jawa Timur harus dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad mengenai hukum serangga Cochineal.
Baca juga: MUI: Peringatan Maulid Nabi momentum refleksi diri
Baca juga: Wapres Ma'ruf harap bahan baku produk halal tersedia di Indonesia