Jakarta (ANTARA) - Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menyatakan bahwa membangun ekosistem perbukuan yang sehat adalah kunci meningkatkan literasi masyarakat Indonesia.

“Sebagaimana dalam Undang-Undang nomor 3 tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, memang sangat mengatur hubungan antarpelaku perbukuan, karena memang lebih banyak berbicara tentang ekosistem, jadi cita-cita UU ini adalah ekosistem perbukuan yang sehat,” kata Ketua Umum IKAPI Arys Hilman Nugraha pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR RI yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.

Ia menegaskan, Undang-Undang tersebut harus menjadi acuan pengembangan literasi di Indonesia, sehingga dapat membuat gerakan membaca di tengah masyarakat yang terus dibangun dari hulu ke hilir.

Ia juga memaparkan, angka melek huruf masyarakat Indonesia saat ini sudah besar, yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, 96,04 persen masyarakat Indonesia sudah melek huruf, bahkan di banyak provinsi tingkat melek huruf sudah melampaui 99 persen.

“Namun, berdasarkan data dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tahun 2019, berdasarkan hasil asesmen menunjukkan tingkat kinerja baca atau reading performance masyarakat Indonesia masih berada pada level rendah,” katanya.

Adapun tingkat kinerja baca tersebut berdasarkan OECD tahun 2019, hanya 30 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan mencapai level 2 (rata-rata OECD 70 persen). Mayoritas (69,9 persen), berada pada level 1. Bahkan, yang bisa mencapai level 6, tercatat 0 persen.

Baca juga: Penerbit minta pemerintah selamatkan industri perbukuan

“Artinya, sebagian besar siswa Indonesia tidak dapat memahami kalimat-kalimat yang panjang, gagal menangkap konsep yang abstrak, dan kesulitan membedakan fakta dan opini,” tuturnya.

Untuk itu ia menekankan pentingnya pengembangan dan peningkatan layanan perpustakaan yang berperan penting sebagai akses dalam upaya pengembangan kebiasaan membaca, sehingga dapat meningkatkan tingkat kecakapan membaca.

“Berdasarkan data Laporan kinerja instansi pemerintah (Lakip) perpustakaan, di tingkat SD, 60 persen memiliki perpustakaan, tetapi tingkat kelayakannya hanya 19 persen, begitu juga SMP, yang kelayakannya hanya 19 persen, dan SMA hanya 36 persen,” ucap dia.

Ia menyambut baik Peraturan Menteri Desa (Permendes) nomor 8 tahun 2022 yang telah menyebutkan buku dan perpustakaan sebagai salah satu bidang yang boleh menggunakan dana desa, sehingga saat ini sudah ada 33.929 perpustakaan yang tersebar di seluruh kelurahan/desa se-Indonesia.

Untuk membangun ekosistem perbukuan yang sehat, Arys juga memberikan saran pengembangan gerakan literasi di Indonesia, yang pertama yakni pengembangan budaya literasi dengan mewajibkan anak-anak SD dan menengah untuk membaca buku yang mereka sukai di sekolah setiap hari.

“Kedua, dukungan pemerintah terhadap kegiatan pengembangan minat baca masyarakat, seperti pameran atau diskusi buku, pelatihan menulis, taman bacaan masyarakat, dan subsidi pembelian buku,” katanya.

Ketiga, yakni penyediaan buku berbasis kualitas, aktualitas, dan daya tarik alih-alih mementingkan volume koleksi dan harga murah untuk kebutuhan perpustakaan dan taman baca masyarakat.

“Keempat, pemilihan buku bermutu dan populer untuk mendapatkan peluang masuk ke sekolah-sekolah sebagai bahan bacaan siswa atau buku non-teks pelajaran,” demikian Arys Hilman.

Baca juga: UU Sistem Perbukuan jamin kebebasan penulis
Baca juga: DPR setujui pengesahan UU perbukuan dan pemajuan kebudayaan