Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso meminta bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo menyusun program terperinci untuk membangun ketahanan pangan nasional.

"Siapa pun nanti presidennya memiliki tugas penting untuk menggenjot produksi pangan karena ketimpangan antara yang kita ekspor dan impor itu makin melebar. Ada beberapa hal yang teramat penting yang jarang disentuh," kata Andreas dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Andreas mengemukakan hal itu terkait dengan pernyataan Ganjar dalam forum kebangsaan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Senin (18/9), yang mengungkap tiga strategi utama untuk meningkatkan ketahanan pangan.

Pertama, aktivasi birokrasi untuk memantau ketersediaan suplai dan permintaan. Kedua, menggenjot sentra produksi bahan pokok. Ketiga, menyeimbangkan neraca ekspor dan impor pangan.

Andreas menyoroti niat Ganjar menggenjot sentra produksi bahan pokok karena hingga saat ini belum ada presiden yang sukses menggenjot produksi sehingga Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Salah satu indikasi adalah impor gandum yang terus membengkak dari tahun ke tahun.

"Total kebutuhan pangan kita sekitar 28 persen itu gandum. Perhitungan saya, pada usia 100 tahun Indonesia merdeka, impor pangan kita hampir 50 persen, nanti bisa tergantikan gandum," ujarnya.

Ia menilai diversifikasi pangan ke gandum tak menguntungkan bagi masyarakat karena harganya makin mahal. Rata-rata harga gandum dunia hingga akhir Kuartal II 2022 di kisaran 392,4 dolar AS per ton atau setara dengan Rp5,8 juta.

"Pergeseran dari beras ke gandum menjadi persoalan serius yang harus diselesaikan. Pada tahun 1970-an, persentase pangan gandum hanya 4 persen, pada tahun 2010 itu sudah 18,3 persen, dan pada tahun 2021 sudah 28 persen," katanya.

Andreas juga meminta langkah-langkah konkret Ganjar untuk menyeimbangkan neraca impor dan ekspor pangan. Saat ini Indonesia juga mengimpor sejumlah komoditas pangan penting untuk memenuhi kebutuhan domestik.

"Gandum 100 persen impor, kedelai 70 persen, dan gula 70 persen. Setiap presiden pasti mendorong swasembada pangan atau pajale (padi, jagung, dan kedelai). Namun, makin lama impor kita makin tinggi,” katanya.

Selain itu, Andreas berharap agar petani tidak dipinggirkan karena akan membuat produksi pangan akan makin menurun dan impor akan meningkat.

Untuk diketahui, selama memimpin Jawa Tengah, Ganjar membangun kemandirian pangan. Saat ini ada 282 desa mandiri pangan di provinsi tersebut. Pada tahun 2019, Jateng sempat jadi lumbung padi terbesar nasional dengan produksi 9,65 ton gabah kering giling (GKG).

Sepanjang 2020—2021, peningkatan ekspor komoditas pertanian Jateng tercatat Rp8,3 triliun, atau tertinggi di seluruh Indonesia jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya.

Ekpor komoditas Jateng bahkan sampai ke Mesir, Italia, Jepang, dan Korea Selatan. Capaian itu membuat Jateng mendapatkan penghargaan Abdi Bakti Tani pada tahun 2021.

Pada era kepemimpinan Ganjar, Jateng juga memunculkan tren pertanian organik yang ramah lingkungan. Hal itu ditandai dengan lahirnya petani-petani milenial, yaitu dari sekitar 3.000.000 petani di Jateng, 33,7 persen di antaranya ialah petani dari kalangan milenial yang tergolong melek teknologi.