Jakarta (ANTARA) - Bagus (28) mendapatkan bonus sebesar dua kali gaji dari kantornya pada 2019. Saat itu, ia tidak tahu mau menggunakan uang itu untuk kebutuhan apa.

Salah satu rekan kerjanya mengatakan, kalau hanya disimpan di dalam tabungan, nilai uangnya akan terus berkurang. Belum lagi, uang itu akan terkikis oleh biaya administrasi bulanan.

Karena itu, Bagus yang bekerja sebagai analis media di salah satu perusahaan swasta, mulai mempelajari pasar modal dengan membaca berbagai artikel berita.

Ia juga banyak bertanya pada rekan-rekan yang lebih senior, yang memiliki pemahaman dan pengalaman terkait pasar modal lebih banyak darinya.

Awalnya, ia menaruh semua uangnya untuk melakukan perdagangan saham secara rutin.

Namun, di tengah pandemi, ketika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dari level 6.300 di awal 2020 menjadi 3.937,63 pada 24 Maret 2020, Bagus turut menelan kerugian.

Hanya saja, Bagus tak berhenti. Bersamaan dengan membaiknya pengendalian COVID-19, aktivitas ekonomi yang kembali berjalan turut mengerek IHSG sehingga Bagus kembali mencoba peruntungannya.

Kali itu, ia mulai membagi uangnya di pasar modal ke dalam dua bagian. Ia menggunakan sebagian uangnya untuk berinvestasi pada saham blue chip yang memberikan keuntungan dari pembagian dividen. Sebagian yang lain, ia gunakan untuk trading.

Sebagai pekerja swasta, bagus tidak punya banyak waktu untuk memperhatikan kinerja saham yang ada di portofolionya setiap hari. Ia hanya menjual sesekali saja, sebulan atau setiap kuartal sekali.

Meskipun pernah menelan kerugian yang cukup besar, Bagus menghitung, ia mendapatkan lebih banyak keuntungan dengan berinvestasi dan trading saham sejak 2019.

“Aku tidak sampai untung besar, tapi dihitung-hitung, keuntungan sejak 2019 tetap lebih besar dari kerugiannya,” kata Bagus.

Kadang-kadang, karena menabung di saham, ia tak sampai harus mengambil dana darurat di rekening tabungannya untuk memenuhi kebutuhan mendesak.

Selain saham, saat ini ia juga berinvestasi di reksa dana. Mulanya, ia merasa bosan menunggu untuk mendapatkan keuntungan atau return dari berinvestasi di reksadana. Namun, dipikir-pikir, menurutnya return dari reksadana cenderung lebih stabil.

Menurut data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor pasar modal mencapai 11,58 juta pada Agustus 2023 dimana 99,65 persen diantaranya merupakan investor individu seperti Bagus.

Jumlah tersebut tumbuh 12,32 persen dari akhir tahun 2022 dengan investor pasar modal tercatat mencapai 10,31 juta.

Investor pasar modal memang terus mengalami pertumbuhan, sekalipun di tengah pandemi. Pada 2021, jumlah investor pasar modal naik 92,99 persen menjadi 7,48 juta, dan kemudian naik lagi sebesar 37,68 persen menjadi 10,31 juta di 2022.

Direktur Equator Swarna Investama, Hans Kwee, mengatakan kenaikan ini menunjukkan bahwa minat investor domestik terhadap pasar modal terus mengalami peningkatan.

Sebetulnya dengan jumlah investor domestik terus bertambah, dan jumlah transaksinya terus meningkat, pasar modal dalam negeri bisa lebih stabil ke depan. Sekalipun untuk saat ini, ia menilai aktivitas investor asing masih memberikan dampak yang signifikan kepada pergerakan IHSG.

Pada Agustus 2023, mayoritas atau sebesar 57,04 persen investor individu berusia di bawah 30 tahun. Investor berusia muda yang terdiri dari generasi milenial dan Z itu masih membutuhkan banyak edukasi terkait pasar modal.

Dengan edukasi diharapkan mereka memahami bahwa ada risiko-risiko yang bisa terjadi ketika mereka berinvestasi di pasar modal. Hal itu adalah bagian dari risiko investasi.


Literasi pasar modal

Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pada 2022 tingkat inklusi pasar modal Indonesia telah meningkat dari 1,55 persen di 2019 menjadi 5,19 persen.

Namun, tingkat literasi pasar modal justru tercatat menurun dari 4,92 persen di 2019 menjadi 4,11 persen di 2022.

Untuk meningkatkan tingkat literasi pasar modal masyarakat, khususnya anak muda, Bursa Efek Indonesia (BEI) meluncurkan program Duta Pasar Modal (DPM).

BEI akan menunjuk mahasiswa atau anak muda terpilih untuk menjadi DPM dan secara rutin memberikan pemahaman terkait pasar modal kepada lingkungannya.

“Program ini akan dijalankan di lebih dari 700 perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang telah memiliki Galeri Investasi BEI di kampus mereka,” kata Direktur Pengembang BEI, Jeffrey Hendrik.

BEI juga meluncurkan kampanye baru bertajuk “Aku Investor Saham” untuk mengajak anak muda Indonesia memiliki kebanggaan saat menjadi investor saham.

Kampanye itu akan melibatkan banyak komunitas, perusahaan sekuritas, dan emiten. Kampanye ini juga boleh disesuaikan dengan tempat atau komunitas dimana kampanye itu digaungkan.

“Misalnya kampanye 'Aku Investor Saham' di daerah timur Indonesia akan menjadi 'Beta Investor Saham', di kalangan perempuan akan menjadi 'Perempuan Indonesia Investor Saham', dan saat dikampanyekan di suporter bola Surabaya akan menjadi 'Bonek Investor Saham',” kata Jeffrey.

Perusahaan Sekuritas juga bisa menggunakan kampanye ini menjadi Aku Investor Saham di xxx (nama sekuritas) Sekuritas dan di emiten akan menjadi Aku Investor Saham xxx (nama emiten).

Pendekatan tersebut sesuai dengan demografi investor dan potensial investor pasar modal Indonesia yang saat ini 81 persen di antaranya berada di bawah usia 40 tahun.

Sementara itu, OJK juga terus melakukan edukasi bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi pasar modal, sekaligus literasi jasa keuangan lain secara umum.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan pihaknya telah melaksanakan 1.638 kegiatan edukasi keuangan yang menjangkau lebih dari 370 ribu peserta secara nasional dari awal tahun ini hingga 31 Agustus 2023.

“Sikapi Uangmu sebagai saluran media komunikasi khusus konten terkait edukasi keuangan kepada masyarakat secara digital berupa mini site dan aplikasi telah mempublikasikan sebanyak 249 konten edukasi keuangan dengan jumlah pengunjung sebanyak lebih dari 1,3 juta viewers,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK , Friderica Widyasari, menambahkan.

Upaya literasi dan inklusi keuangan yang dilakukan oleh OJK melibatkan serta mendapat dukungan strategis dari berbagai pihak, antara lain kementerian/lembaga, pelaku usaha jasa keuangan, akademisi, dan pemangku kepentingan lain.

Melalui peran tim percepatan akses keuangan daerah yang sampai dengan 31 Agustus tahun ini telah terbentuk 495 TPAKD (Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah) di 34 provinsi dan 461 kabupaten kota atau hampir 90 persen dari seluruh kabupaten atau kota di Indonesia.

Jadi, berinvestasi harus memahami tujuan berinvestasi, memahami profil risiko untuk diri sendiri, harus memahami bisnis dan keuangan yang berkaitan dengan produk investasi, serta harus memastikan perusahaan berinvestasi itu layak atau tidak untuk dipercaya. Selain itu, terus memantau indikator pergerakan harga supaya bisa memanfaatkan momentum tepat untuk jual beli.

Hal penting yang juga harus diingat adalah jangan pernah berpikir bahwa berinvestasi tidak ada risiko, berinvestasi cara cepat kaya raya, berinvestasi adalah cara instan mendapatkan uang. Sebab, berinvestasi adalah cara untuk mencapai tujuan dengan mengembangkan aset dan semua itu butuh proses.