Jakarta (ANTARA) - Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Puji Lestari mengatakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2,5 mikrometer adalah siklus rutin saat musim kemarau. "Kalau kita lihat gambaran PM2,5 di Jakarta, kita lihat tren dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang sama bulan Juni, Juli, Agustus. Saat musim kemarau tren selalu tinggi dan selalu naik, kemudian turun lagi (saat musim hujan)," ujarnya dalam dialog polusi udara yang dikutip di Jakarta, Jumat.

Puji menuturkan polusi udara akibat adanya senyawa atau substansi di udara ambien yang tidak diinginkan dalam jumlah yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan manusia dan lingkungan.

Dia meminta semua pihak untuk mencermati fenomena peningkatan polutan PM2,5 saat musim kemarau, khususnya di Jakarta.

Melalui kajian yang dilakukan selama lima tahun (2018-2022), Puji mengungkapkan konsentrasi polusi udara tertinggi terjadi pada Juni-Juli tahun 2019 dengan konsentrasi rata-rata hampir 60 mikrogram per meter kubik.

Baca juga: Guru Besar ITB sebut pentingnya pemantauan polusi di luar Jakarta
Kemudian konsentrasi polusi udara menurun pada tahun 2020, 2021, dan 2022, saat terjadi pandemi. Sedangkan konsentrasi terendah tercatat pernah terjadi pada tahun 2022.

"Sumber polusi udara di Jakarta sudah saya hitung lama sebelum pandemi. Saya sudah melakukan kajian ini di Jakarta," kata Ketua Kelompok Keahlian Pengelolaan Kualitas Udara dan Limbah ITB itu.

Polutan PM2,5 bersumber dari kendaraan bermotor sebanyak 46 persen, industri 43 persen, pembangkit listrik 9 persen, dan pemukiman 2 persen. Sedangkan Nitrogen Okside (NOx) lebih didominasi oleh sektor transportasi 57 persen, industri 15 persen, pembangkit listrik 24 persen, dan pemukiman 4 persen.

Sementara Belerang dioksida (SO2) dihasilkan oleh sektor industri mencapai 67 persen, pembangkit listrik 24 persen, pemukiman 6 persen, dan transportasi 3 persen.

PM10 disumbangkan oleh transportasi sebanyak 43 persen, industri 45 persen, pembangkit listrik 10 persen, dan pemukiman 2 persen.

Baca juga: ITB: Sektor transportasi sumbang 46 persen emisi PM2,5 di Jakarta
"Data meteorologi sangat berpengaruh terhadap potensi sumber pencemaran di Jakarta yang membawa polutan lintas batas," kata Puji.

Puji menyarankan strategi mengatasi polusi udara adalah memperketat standar emisi dan segera memberlakukan kebijakan tersebut, menyediakan bahan bakar yang bersih untuk mendukung implementasi Euro IV, percepatan adopsi kendaraan listrik khususnya kendaraan angkutan berat atau penerapan Euro yang lebih tinggi, memperhatikan emisi dari sepeda motor dalam uji emisi, dan adaptasi untuk publik pindah mode transportasi.

Sedangkan untuk sektor industri dan pembangkit, penerapan alat pengendali pencemaran udara untuk partikulat seperti electrostatic precipitator (ESP), fabric filter, wet scrubber atau cyclone perlu diwajibkan dan diawasi ketat.
Penerapan flue gas desulfurization (FGD) untuk industri juga perlu diterapkan bagi industri yang melewati ambang batas baku mutu untuk polutan SO2.

Baca juga: Peneliti sebut transportasi perlu solusi komprehensif tekan emisi
Baca juga: Guru Besar ITB paparkan solusi atasi polusi udara di Jakarta