"Dalam menjalankan praktik kefarmasian, apoteker dan/atau apoteker spesialis dapat dibantu oleh tenaga vokasi farmasi," kata Agusdini dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan fasilitas kefarmasian terdiri dari fasilitas produksi, distribusi, pengelolaan kefarmasian, pelayanan kefarmasian, dan pelayanan kesehatan penunjang.
Baca juga: Pemenuhan perbekalan kesehatan diatur lewat Sistem Kesehatan Nasional
Baca juga: Apoteker: Perkuat peran BPOM atasi masalah kefarmasian
Sedangkan industri obat bahan alam, industri ekstrak bahan alam, dan industri kosmetika, kata Agusdini, harus memiliki sekurang-kurangnya satu orang apoteker dan/atau apoteker spesialis sebagai penanggung jawab.
Sedangkan fasilitas produksi tertentu, jelas dia, seperti usaha kecil, usaha mikro obat bahan alam, serta industri kosmetik golongan B, dapat dilaksanakan oleh tenaga vokasi farmasi.
Dalam kondisi tertentu, Agusdini menerangkan praktik kefarmasian secara terbatas pada fasilitas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kondisi tersebut meliputi ketiadaan tenaga kefarmasian di suatu wilayah, kebutuhan program pemerintah, penanganan kegawatdaruratan medis dan/atau Kejadian Luar Biasa (KLB), wabah, dan darurat bencana lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan Agusdini Banun Saptaningsih dalam Uji Publik peraturan turunan UU Kesehatan yang dilaksanakan sejak Senin (18/9) hingga satu minggu ke depan. Kegiatan ini dapat diikuti oleh masyarakat umum melalui saluran YouTube Kementerian Kesehatan.
Selain itu partisipasi publik dalam memberikan saran juga dapat dilaksanakan melalui laman web https://partisipasisehat.kemkes.go.id/ selama proses penyusunan berlangsung.
Baca juga: Apoteker diminta paham aspek hukum layanan kefarmasian
Baca juga: BPJS: Sustainabilitas JKN-KIS bergantung pengelolaan kefarmasian