BRTI: operator gagal bangun infrastruktur disarankan "MVNO"
7 Mei 2013 22:18 WIB
ilustrasi Seorang petugas memperbaiki menara Base Transceiver Station (BTS) milik sebuah operator seluler di kawasan Senayan, Jakarta. (ANTARA/ANDIKA WAHYU)
Jakarta (ANTARA News) - Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengimbau para operator seluler yang tidak sanggup membangun infrastruktur jaringan agar mengembalikan lisensi frekuensi yang dimiliki kepada negara, dan meminta izin penyelenggaraan Mobile Virtual Network Operator (MVNO).
"Sesuai dengan peraturan dalam rangka "modern lisencing", membangun infrastruktur merupakan kewajiban operator. Jadi jika ada yang sudah merasa tidak sanggup menggelar jaringan secara nasional, disarankan frekuensi yang dikuasainya dikembalikan kepada negara," kata Anggota BRTI Muhammad Ridwan Effendi, kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
MVNO adalah penyelenggara layanan jasa telekomunikasi bergerak (seluler atau FWA) dalam bentuk suara dan data, dimana penyelenggara tersebut tidak memiliki izin atas spektrum frekuensi atau lisensi jaringan akses, tetapi dapat menyewa atau memakai spektrum frekuensi milik Mobile Network Operator (MNO) melalui suatu perjanjian bisnis.
Menurut catatan, di Indonesia terdapat lima operator seluler dengan teknologi Global System for Mobile (GSM), lima operator berbasis teknologi Code Division Multiple Access (CDMA), dan beberapa di antaranya sudah memiliki lisensi seluler nasional.
Jumlah operator di Indonesia tersebut tergolong banyak, jika dibandingkan dengan negara lain yang rata-rata hanya memiliki tiga operator.
Hal ini membuat persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia sangat ketat dan membuat tarif menyentuh batas terendah meski dari sisi margin pendapatan usaha masih cukup tinggi.
Kondisi ini mendorong munculnya wacana berbagi infrastruktur jaringan (network sharing) yang dinilai mampu menekan belanja modal (capital expenditure/capex) para pelaku industri telekomunikasi khususnya para operator seluler.
Alasannya, "network sharing" bisa menambah benefit berupa efisiensi dalam pembangunan jaringan dengan cara menumpang kepada operator eksisting yang telah lebih dulu membuka jalan ekspansi dengan bersusah payah.
"Betul akan lebih efisien, tetapi efisiensi bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai. Terjadinya aspek persaingan usaha yang sehat dalam penyelenggaraan layanan telekomunikasi yang menjadi dasar UU Telekomunikasi No. 36/1999, adalah yang paling pokok," tegas Ridwan.
Karena itu ia berpendapat, bahwa "network sharing" yang banyak digadang-gadang oleh umumnya operator berskala kecil belum tentu diadopsi di Indonesia karena harus mempertimbangkan berbagai aspek lainnya selain aspek efisiensi.
"Aspek persaingan usaha, modern lisencing, merger dan akuisisi isu yang harus dibahas lebih mendalam. Semua faktor ini akan saling memengaruhi," ujar Ridwan.(*)
"Sesuai dengan peraturan dalam rangka "modern lisencing", membangun infrastruktur merupakan kewajiban operator. Jadi jika ada yang sudah merasa tidak sanggup menggelar jaringan secara nasional, disarankan frekuensi yang dikuasainya dikembalikan kepada negara," kata Anggota BRTI Muhammad Ridwan Effendi, kepada wartawan di Jakarta, Selasa.
MVNO adalah penyelenggara layanan jasa telekomunikasi bergerak (seluler atau FWA) dalam bentuk suara dan data, dimana penyelenggara tersebut tidak memiliki izin atas spektrum frekuensi atau lisensi jaringan akses, tetapi dapat menyewa atau memakai spektrum frekuensi milik Mobile Network Operator (MNO) melalui suatu perjanjian bisnis.
Menurut catatan, di Indonesia terdapat lima operator seluler dengan teknologi Global System for Mobile (GSM), lima operator berbasis teknologi Code Division Multiple Access (CDMA), dan beberapa di antaranya sudah memiliki lisensi seluler nasional.
Jumlah operator di Indonesia tersebut tergolong banyak, jika dibandingkan dengan negara lain yang rata-rata hanya memiliki tiga operator.
Hal ini membuat persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia sangat ketat dan membuat tarif menyentuh batas terendah meski dari sisi margin pendapatan usaha masih cukup tinggi.
Kondisi ini mendorong munculnya wacana berbagi infrastruktur jaringan (network sharing) yang dinilai mampu menekan belanja modal (capital expenditure/capex) para pelaku industri telekomunikasi khususnya para operator seluler.
Alasannya, "network sharing" bisa menambah benefit berupa efisiensi dalam pembangunan jaringan dengan cara menumpang kepada operator eksisting yang telah lebih dulu membuka jalan ekspansi dengan bersusah payah.
"Betul akan lebih efisien, tetapi efisiensi bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai. Terjadinya aspek persaingan usaha yang sehat dalam penyelenggaraan layanan telekomunikasi yang menjadi dasar UU Telekomunikasi No. 36/1999, adalah yang paling pokok," tegas Ridwan.
Karena itu ia berpendapat, bahwa "network sharing" yang banyak digadang-gadang oleh umumnya operator berskala kecil belum tentu diadopsi di Indonesia karena harus mempertimbangkan berbagai aspek lainnya selain aspek efisiensi.
"Aspek persaingan usaha, modern lisencing, merger dan akuisisi isu yang harus dibahas lebih mendalam. Semua faktor ini akan saling memengaruhi," ujar Ridwan.(*)
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: