Perempuan yang pernah jadi korban KDRT cenderung ingin bunuh diri
12 September 2023 19:28 WIB
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Eni Widiyanti dalam talkshow bertajuk "Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT", di Jakarta, Selasa (12/9/2023). (ANTARA/ Anita Permata Dewi)
Jakarta (ANTARA) - Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Eni Widiyanti mengatakan perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki kecenderungan niat untuk mengakhiri hidup.
"Perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan (KDRT) cenderung berpikir untuk bunuh diri dan sebagian besar yang mempunyai keinginan tersebut, benar-benar mencoba untuk melakukan bunuh diri," kata Eni Widiyanti dalam talkshow bertajuk "Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT", di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Tokoh agama berperan penting sosialisasikan cegah KDRT pada masyarakat
Menurut Eni Widiyanti, korban KDRT juga memiliki kebiasaan buruk sebagai pelarian, seperti mengonsumsi minuman keras, mengonsumsi obat tidur karena mengalami kesulitan tidur dan mengurangi stres yang mereka alami.
Dikatakannya, kekerasan yang dilakukan oleh suami atau pasangan tidak hanya berdampak pada istri, tetapi juga berpengaruh pada anak-anak mereka.
Berdasarkan hasil survei dengan responden anak kelompok usia 6 -12 tahun yang menjadi saksi mata kejadian KDRT, memperlihatkan anak-anak tersebut mengalami mimpi buruk, mengisap jempol, tumbuh menjadi anak pemalu, kerap menyendiri, dan atau agresif.
Anak-anak tersebut, juga ditengarai tumbuh dengan kesulitan belajar, keterampilan sosial yang terbatas, berperilaku nakal, atau menderita depresi yang berat.
Baca juga: UU Penghapusan KDRT kerap hadapi kendala dalam penegakan hukum
Baca juga: KemenPPPA: Budaya patriarki akar masalah kekerasan dalam rumah tangga
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan pentingnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengingat masih tingginya jumlah kasus KDRT meskipun keberadaan UU PKDRT hampir berusia dua dekade.
"Kita tetap perlu membangun literasi masyarakat terkait dengan penghapusan KDRT ini," kata Eni Widiyanti.
"Perempuan yang pernah menjadi korban kekerasan (KDRT) cenderung berpikir untuk bunuh diri dan sebagian besar yang mempunyai keinginan tersebut, benar-benar mencoba untuk melakukan bunuh diri," kata Eni Widiyanti dalam talkshow bertajuk "Dialog Lembaga Penyedia Layanan Mengenai Penghapusan KDRT", di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Tokoh agama berperan penting sosialisasikan cegah KDRT pada masyarakat
Menurut Eni Widiyanti, korban KDRT juga memiliki kebiasaan buruk sebagai pelarian, seperti mengonsumsi minuman keras, mengonsumsi obat tidur karena mengalami kesulitan tidur dan mengurangi stres yang mereka alami.
Dikatakannya, kekerasan yang dilakukan oleh suami atau pasangan tidak hanya berdampak pada istri, tetapi juga berpengaruh pada anak-anak mereka.
Berdasarkan hasil survei dengan responden anak kelompok usia 6 -12 tahun yang menjadi saksi mata kejadian KDRT, memperlihatkan anak-anak tersebut mengalami mimpi buruk, mengisap jempol, tumbuh menjadi anak pemalu, kerap menyendiri, dan atau agresif.
Anak-anak tersebut, juga ditengarai tumbuh dengan kesulitan belajar, keterampilan sosial yang terbatas, berperilaku nakal, atau menderita depresi yang berat.
Baca juga: UU Penghapusan KDRT kerap hadapi kendala dalam penegakan hukum
Baca juga: KemenPPPA: Budaya patriarki akar masalah kekerasan dalam rumah tangga
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menekankan pentingnya sosialisasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengingat masih tingginya jumlah kasus KDRT meskipun keberadaan UU PKDRT hampir berusia dua dekade.
"Kita tetap perlu membangun literasi masyarakat terkait dengan penghapusan KDRT ini," kata Eni Widiyanti.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023
Tags: