Pemerintah bahas pengawasan bahan perusak ozon
30 April 2013 11:48 WIB
Gambaran rerata bulanan total ozon di Kutub Selatan pada Maret 2013. Warna biru dan ungu menunjukkan tempat dengan lebih sedikit ozon sementara warna kuning dan merah menunjukkan daerah dengan lebih banyak ozon. (NASA Goddard Space Flight Center)
Balikpapan (ANTARA News) - Kementerian Lingkungan Hidup pada Selasa menyelenggarakan rapat kerja teknis perlindungan lapisan ozon untuk membahas pengawasan peredaran bahan perusak ozon (BPO) lintas pulau dan batas negara.
Menurut Deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Arief Yuwono, pembahasan masalah itu ditujukan untuk menyebarluaskan informasi kebijakan perlindungan ozon dan menggalang kerja sama antar daerah dalam pengawasan peredaran BPO.
Ia menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan BPO ke atmosfer dapat mengakibatkan penipisan lapisan ozon atau gas O3 yang secara alamiah ada di lapisan atas atmosfer yang disebut stratosfer.
Ozon melindungi kehidupan Bumi dari radiasi ultraviolet matahari. Penipisan lapisan ozon, lanjut Arief, akan meningkatkan intensitas radiasi ultraviolet-B ke permukaan Bumi dan bisa berdampak negatif terhadap kehidupan di Bumi.
"Tanpa lapisan ozon, kasus kanker kulit, katarak mata, menurunnya kekebalan tubuh manusia dan dampak negatif lainnya akan meningkat," kata Arief.
Arief menjelaskan pula bahwa sebagai negara pihak Protokol Montreal, Indonesia wajib untuk meniadakan BPO secara bertahap serta melaporkan data konsumsi dan melakukan pengawasan penggunaan BPO.
Pemerintah menargetkan sudah bisa mengurangi BPO hingga 75 persen pada 2030. "Dan diharapkan ditemukan bahan yang lebih ramah lingkungan sebagai pengganti HFC," tambah dia.
Upaya pengurangan BPO antara lain dengan membatasi pelabuhan yang bisa memasukkan BPO, bahan kimia yang banyak digunakan dalam proses produksi seperti pengembang kasur busa dan sol sepatu, bahan pendingin, bahan pemadam api, bahan pendorong produk semprot.
Menurut Kepala Kantor Bea Cukai Kalimantan Timur, Jusuf Indarto, sekarang hanya tujuh pelabuhan yang boleh memasukkan BPO, antara lain pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak.
"Yang menjadi masalah itu masuknya BPO dari perbatasan di laut dan di darat sulit diawasi, apalagi dengan SDM kami yang terbatas," ujar Jusuf.
Menurut Deputi Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Arief Yuwono, pembahasan masalah itu ditujukan untuk menyebarluaskan informasi kebijakan perlindungan ozon dan menggalang kerja sama antar daerah dalam pengawasan peredaran BPO.
Ia menjelaskan, hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan BPO ke atmosfer dapat mengakibatkan penipisan lapisan ozon atau gas O3 yang secara alamiah ada di lapisan atas atmosfer yang disebut stratosfer.
Ozon melindungi kehidupan Bumi dari radiasi ultraviolet matahari. Penipisan lapisan ozon, lanjut Arief, akan meningkatkan intensitas radiasi ultraviolet-B ke permukaan Bumi dan bisa berdampak negatif terhadap kehidupan di Bumi.
"Tanpa lapisan ozon, kasus kanker kulit, katarak mata, menurunnya kekebalan tubuh manusia dan dampak negatif lainnya akan meningkat," kata Arief.
Arief menjelaskan pula bahwa sebagai negara pihak Protokol Montreal, Indonesia wajib untuk meniadakan BPO secara bertahap serta melaporkan data konsumsi dan melakukan pengawasan penggunaan BPO.
Pemerintah menargetkan sudah bisa mengurangi BPO hingga 75 persen pada 2030. "Dan diharapkan ditemukan bahan yang lebih ramah lingkungan sebagai pengganti HFC," tambah dia.
Upaya pengurangan BPO antara lain dengan membatasi pelabuhan yang bisa memasukkan BPO, bahan kimia yang banyak digunakan dalam proses produksi seperti pengembang kasur busa dan sol sepatu, bahan pendingin, bahan pemadam api, bahan pendorong produk semprot.
Menurut Kepala Kantor Bea Cukai Kalimantan Timur, Jusuf Indarto, sekarang hanya tujuh pelabuhan yang boleh memasukkan BPO, antara lain pelabuhan Tanjung Priok, Tanjung Emas, dan Tanjung Perak.
"Yang menjadi masalah itu masuknya BPO dari perbatasan di laut dan di darat sulit diawasi, apalagi dengan SDM kami yang terbatas," ujar Jusuf.
Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2013
Tags: