Den Haag (ANTARA) - Sosok perempuan itu tidak lagi bisa dikatakan muda. Baris demi baris kerutan pada wajahnya begitu jelas terlihat, utamanya kala beroleh pantulan dari sinar mentari senja. Bagian dahi, alis, kelopak, dan kantung mata, serta pipi, tampak mengerut dan luruh seolah terikat erat perjanjian dengan gaya tarik-menarik Bumi selama puluhan tahun.

Akan tetapi, baginya, tahun hanyalah deret angka. Kegesitan sang perempuan sama sekali tidak menggambarkan apa yang kerap dianggap sebagai kekalahan insan terhadap dimensi waktu. Berbekal secarik celemek hitam bermotif batik serta pelindung telapak tangan berbahan anti-panas-- bak gadis belia-- perempuan itu dengan cekatan memindahkan gelas-gelas berbahan plastik, lalu berjalan melewati sudut demi sudut sebuah meja sepanjang lebih dari 5 meter.

Sementara itu di atas meja, berjejal tumpukan pisang Kolombia bermerek Turbana dan wadah-wadah persegi biru berisi racikan adonan tepung berwarna putih keruh. Tak jauh dari situ, terdapat meja lain yang memiliki dua ceruk berbentuk kotak bersudut tumpul berbahan aluminium yang digenangi minyak goreng. Pada bagian permukaannya, riak-riak halus seolah menarikan sebuah lagu tanpa tempo yang membuat si perempuan tersadar bahwa dia harus segera melakukan sebuah tindakan.

Perempuan itu lantas menepi di sisi wadah aluminium seraya mengatur putaran sebuah kenop searah jarum jam. Sejurus kemudian material minyak goreng di dalam wadah itu perlahan mulai berkertak-kertak bagaikan suara tepukan tangan meriah penonton yang memadati sebuah ruang serbaguna.
Seorang pegawai Waroeng Indonesia Djaja tengah menggoreng pisang pada gelaran seni dan budaya Tong Tong Fair 2023 di Malieveld, Den Haag, Belanda, Sabtu (9/9). ANTARA/Ahmad Faishal


Menyadari minyak goreng telah mencapai titik didih yang diinginkan, seorang perempuan lain yang mengenakan penutup kepala keemasan berlilit kain beraneka warna, lantas meraih wadah persegi berisi racikan tepung olahan yang dipenuhi potongan-potongan pisang. Penuh rasa percaya diri, dia pun segera menjatuhkan satu demi satu potongan pisang lengket berbalut adonan tepung dan mentega.


Cesss!

Maka, beberapa pasang potongan pisang Kolombia itu pun terjun bebas dan mulai tenggelam dalam genangan minyak goreng layaknya pasir isap yang menjerat habis setiap benda yang ada di sekitarnya.

Tanpa melepaskan perhatian penuh dari potongan-potongan pisang berlumur olahan tepung di kedua tangannya, perempuan yang mengenakan penutup kepala tadi sesekali mengangkat wajah, mencermati lalu lalang setiap insan yang melintas di hadapannya, lantas menabur sejuta senyuman.

"Halo, silakan coba pisang goreng pindasaus. Ada juga pisang goreng spesial dan deluxe," seloroh perempuan itu dengan raut wajah ramah ditujukan kepada sejumlah orang yang berdiri tak jauh dari dirinya.

Maka, air muka beberapa orang yang sejak 5 menit sebelumnya masih menyimpan rasa penasaran, seketika berubah seperti baru mendapatkan wahyu ilahiah. Tak ayal, mereka langsung mengambil sikap berdiri di deret antrean di bawah sebuah papan reklame berbahasa Belanda bertuliskan "bestellen en afhalen pisang goreng”. Tulisan tersebut kurang lebih bermakna: jalur memesan dan mengambil pisang goreng.

Perempuan yang menebarkan senyuman tadi bernama Nungky Fernandez, sedangkan potongan-potongan pisang Kolombia yang ada di kedua tangan adalah masa depannya.


Jatuh hati di Tong Tong

Lahir di Jakarta, Nungky Fernandez mewarisi usaha bisnis kuliner makanan khas Indonesia di Belanda yang telah berlangsung selama tiga generasi sejak tahun 1989 di bawah bendera usaha Tjendol Super. Pada masa itu, minuman cendol milik ibu mertua Nungky begitu terkenal di Belanda sehingga dipilih menjadi nama perusahaan.

"Dulu ketika masih berkuliah di Jerman, saya selalu membantu Mama untuk berjualan makanan di acara pasar malam atau festival budaya pada saat liburan musim panas. Ibu mertua saya itu orang Indonesia keturunan Belanda," buka Nungky mencerap kembali kenangan masa lalu.

Awalnya, Nungky dan sang suami yang bernama Muhamad Matrea Fernandez, hanya berniat untuk membantu usaha orang tua mereka dalam mengembangkan bisnis kuliner khas Indonesia. Kala itu, Matrea lebih memilih untuk terjun ke dunia otomotif ketimbang melirik pangsa pasar bisnis kuliner yang belakangan rupanya menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya.

Perlahan, pasangan Fernandez mulai merasakan aura positif dan kesenangan tak terperi kala usaha kuliner milik keluarga itu rutin meramaikan berbagai pasar malam dan festival budaya di Belanda, salah satunya gelaran tahunan Tong Tong Fair di The Hague.

"Ketika masih tinggal di Jerman, tidak banyak orang di sana yang mau berbahasa Inggris. Sangat kaku. Akan tetapi, ketika kali pertama datang ke Tong Tong Fair, saya merasa begitu nyaman karena suasananya sangat Indonesia. Ada cendol, pisang goreng, gado-gado, dan banyak lagi. Dari situ saya mulai jatuh hati dengan dunia kuliner Nusantara," terang Nungky.

Impresi awal yang begitu berkesan, membuat ibu dari tiga putra dan dua putri itu betah bertandang ke festival seni dan budaya Tong Tong sejak tahun 1992.
Pemilik Waroeng Indonesia Djaja, Nungky Fernandez (kanan) sedang menggoreng pisang pada gelaran seni dan budaya Tong Tong Fair 2023 di Malieveld, Den Haag, Belanda, Sabtu (9/9). ANTARA/Ahmad Faishal


"Selain ingin membantu Mama, saya dan suami juga ingin bertemu dengan orang-orang Indonesia yang hadir di acara itu. Lama-kelamaan, Mama meminta saya untuk pindah dari Jerman ke Belanda untuk meneruskan usaha kuliner beliau," papar dia.

Saat itu, perempuan kelahiran 4 Desember 1970 itu belum mengiyakan permintaan sang ibu mertua dengan pertimbangan adanya keinginan untuk kembali ke Tanah Air usai menyelesaikan pendidikan di Jerman. Akan tetapi, keyakinan Nungky mulai bergeser ketika bermukim selama 2 tahun di Belanda. Momentum itu dia gunakan untuk mempelajari berbagai resep penganan khas Indonesia seperti pisang goreng, cendol, satai ayam, satai kambing, dan nasi rames.

Pada masa itu, ingat Nungky, sang ibu mertua masih turut berkeliling menjajakan makanan dan minuman ke seluruh wilayah Belanda.

“Kami angkut semua perangkat memasak dengan menggunakan semacam truk trailer untuk menjelajahi Belanda, datang ke pameran atau eksibisi selama beberapa hari. Suami saya sempat merasa iba melihat ibunya yang amat kerepotan menerima banyak pesanan, sementara hatinya masih merasa terpaut di dunia otomotif," papar Nungky.

Pada tahun 1996, lakon cerita mulai berubah. Bersama suami, Nungky kembali ke Indonesia dan menetap selama sekitar 2 tahun. Kala itu, sang suami mantap bekerja di perusahaan otomotif Timor milik putra bungsu mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra.

Suatu waktu, Matrea Fernandez harus membawa sebuah rombongan ke Jerman untuk mengikuti sebuah pelatihan keterampilan. Di negeri itu, dia menyempatkan diri untuk bertemu dengan sang ibu dan membahas banyak hal, salah satunya mengenai bisnis kuliner yang semakin cerah. Titik tengah kesepakatan pun terjalin: Matrea tetap menggeluti dunia otomotif, namun akan membantu sang ibu setiap akhir pekan berkeliling menjajakan penganan Nusantara di Belanda.

"Kami memang mengambil keputusan itu karena sangat senang dengan dunia kuliner. Kalau tidak senang, mungkin usaha kami tidak akan berkembang hingga saat ini. Mama beranggapan bahwa saya dan suami cocok untuk mengambil alih usaha beliau," terang Nungky.
Pemilik Waroeng Indonesia Djaja, Nungky Fernandez (kiri) bersama seorang pegawai sedang menggoreng pisang pada gelaran seni dan budaya Tong Tong Fair 2023 di Malieveld, Den Haag, Belanda, Sabtu (9/9). ANTARA/Ahmad Faishal


Nungky dan Matrea kemudian mendapatkan tanggung jawab dari orang tua mereka untuk mengambil alih usaha Tjendol Super yang belakangan berubah nama menjadi Waroeng Indonesia Djaja pada tahun 2002. Kemudian sejak tahun 2007, Nungky mengambil tanggung jawab penuh sebagai pemilik usaha tersebut dan menyediakan layanan katering untuk beragam kegiatan di seluruh wilayah Belanda dan Belgia. Spesialisasi ragam menu yang ditawarkan tentu saja mengusung nama-nama khas Indonesia berbekal resep warisan keluarga.

Pisang goreng hanya satu dari sekian banyak menu andalan Waroeng Indoensia Djaja. Spesialisasi usaha tersebut adalah nasi rendang Padang, martabak telur, martabak manis, sambal goreng udang, nasi uduk spesial, dan batagor, serta siomai Bandung. Selain itu, usaha kuliner keluarga Fernandez juga menawarkan menu satai ayam dan satai kambing yang tersaji lengkap dengan potongan lontong ketan, acar, dan sedikit bawang goreng.

Soal harga pun cukup bersaing. Sepotong pisang goreng biasa dipatok pada harga 1,50 euro atau setara Rp24 ribu dengan penawaran harga khusus sebesar 5 euro untuk pembelian lima potong pisang sekaligus. Adapun pisang goreng pindasaus yang paling diminati para pembeli, dibanderol seharga 2,50 euro per potong atau sekitar Rp41 ribu.

Sementara dari gerbong minuman, Waroeng Indonesia Djaja siap menggoda para pencinta rasa lewat sejumlah menu di antaranya soda gembira, es cendol, es shanghai, es kelapa muda, es durian, es campur, dan es kopi. Rata-rata harga minuman tersebut berada pada kisaran harga 3 hingga 3,50 euro atau setara Rp57 ribu.


Melebarkan sayap

Rentang sayap bisnis usaha kuliner Waroeng Indonesia Djaja lantas mengepak semakin membesar, salah satunya dengan menghadirkan The Martabak House. Unit usaha spesialis martabak ini mulai menjadi primadona para pencinta camilan khas Indonesia di Belanda sejak 5 tahun belakangan ini.

Selama rentang waktu 5 tahun itu, Nungky dan suami memang secara perlahan mulai mewarisi tongkat estafet bisnis usaha kuliner kepada anak-anak mereka.

“Membuat martabak itu awalnya autodidak. Baik saya, suami, atau kelima anak saya tidak ada yang tahu persis cara membuat martabak. Kami hanya iseng bermain sisa adonan hingga akhirnya bisa membuat martabak dengan resep sendiri. Akan tetapi karena kami senang melakukan itu, akhirnya jadi sesuatu yang positif," imbuh dia.
The Martabak House yang merupakan sayap usaha Waroeng Indonesia Djaja tidak terkena imbas yang terlampau berat akibat pandemi COVID-19 tiga tahun silam. ANTARA/Ahmad Faishal


“Alhamdulillah saat COVID kami tidak gulung tikar, malah sibuk mengirimkan martabak dari ujung utara hingga selatan Belanda setiap akhir pekan. Kami memasak hari Jumat, lalu hari Sabtu mulai menjelajahi Belanda setelah subuh dengan memanfaatkan empat armada. Semua anggota keluarga membawa mobil,” beber Nungky.

Dalam sehari, The Martabak House mampu membuat 300 paket martabak telur dan 250 martabak manis. Kepopuleran resep martabak milik keluarga Fernandez tak cuma sebatas di Negeri Tulip. Belakangan, banyak pesanan berdatangan dari Belgia, bahkan dari Hamburg dan Frankfurt di Jerman.

“Kalau lokasi dekat, kami masih sanggup untuk menerima pesanan. Akan tetapi kalau harus mengirimkan ke Jerman, kami masih belum bisa. Kami sendiri sempat kaget karena bisa booming. Ternyata masih banyak orang yang mencari makanan Indonesia. Dari situ kami mulai kembangkan menu lain seperti pempek, bakso Malang, batagor, soto mi, satai padang, dan semua kudapan favorit Indonesia,” kata Nungky.

The Martabak House menawarkan ragam pilihan rasa dari seri klasik dan keju susu, hingga varian kekinian seperti red velvet creamcheese oreo, cheesy pandan, quattro cioccolato, hingga matcha cheese toblerone. Rerata kudapan itu memiliki harga sebesar 14 hingga 17,5 euro per porsi, sedangkan satu porsi martabak telur berbahan daging sapi, ayam, atau sayuran berbanderol 10 euro.
The Martabak House hadir dalam gelaran Tong Tong Fair 2023 di Malieveld Den Haag Belanda. ANTARA/Ahmad Faishal


Kelezatan rasa nasionalisme

Ada hal paling elementer yang tak boleh terlupakan dalam bisnis kuliner: kelezatan rasa. Dan bila berbicara soal rasa, tentu saja jajanan Indonesia yang ditawarkan oleh Waroeng Indonesia Djaja milik Nungky Fernandez tak ragu untuk diadu.

Salah satu pengunjung Tong Tong Fair, Lia Hasanah (31), memuji setinggi langit mengenai cita rasa martabak dan pisang goreng Waroeng Indonesia Djaja. Menurut perempuan yang telah bermukim di Belanda selama lebih dari 15 tahun itu, camilan kreasi keluarga Nungky tersebut mengingatkan segala memori menyenangkan tentang Indonesia.

“Tentu saja rasanya sangat enak. Inilah salah satu alasan saya datang ke festival semacam ini yaitu untuk menikmati berbagai camilan Indonesia yang rasanya membuat kangen Tanah Air,” jelas dia.

Menurut Lia, tidak mudah untuk mendapatkan penganan khas Indonesia di Den Haag dengan cita rasa yang sesuai dengan lidahnya. Apalagi menurutnya, bisnis kuliner Indonesia di Belanda juga tak melulu dikelola oleh orang-orang yang memahami benar cita rasa khas Nusantara.

“Sebenarnya banyak restoran di sini yang menjajakan makanan Indonesia. Akan tetapi tentu terkadang tidak semuanya sesuai selera. Misalnya, ada beberapa makanan yang masih kurang pedas padahal semestinya pedas. Begitu pula sebaliknya,” papar Lia.

Senada dengan Lia, pengunjung Tong Tong Fair lain bernama Syam (40) juga mengakui kelezatan aneka kudapan khas Indonesia dari Waroeng Indonesia Djaja dan kios-kios lainnya. Syam yang tinggal di Amsterdam sengaja melarikan kendaraan selama satu jam perjalanan darat untuk bertandang ke festival tersebut sekaligus bertemu muka dengan beberapa orang rekannya.
Pemilik Waroeng Indonesia Djaja Nungky Fernandez (kiri) tengah memotong pisang pada perhelatan gelaran seni dan budaya Tong Tong Fair 2023 di Malieveld, Den Haag, Belanda, Sabtu (9/9). ANTARA/Ahmad Faishal


“Festival budaya semacam ini patut dipertahankan karena memiliki makna yang sangat mendalam bagi orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Selain bisa melepaskan rasa kangen dengan penganan Nusantara, momentum semacam ini juga bisa menumbuhkan kembali rasa nasionalisme orang-orang yang jauh dari Tanah Air,” terang Syam.

Tong Tong Fair merupakan perayaan ragam akulturasi budaya Timur dan Barat terbesar di Eropa yang menghadirkan ratusan penampil dari Belanda dan Asia Tenggara dalam bentuk pagelaran kesenian, pameran fotografi dan fesyen, diskusi, hingga bazar makanan serta pakaian.

Perhelatan tersebut hanya satu dari sekian banyak festival budaya dan seni di Belanda yang telah memberikan ruang luas bagi pengusaha kuliner seperti Nungky dan masyarakat awam layaknya Lia dan Syam untuk membangkitkan rasa cinta Tanah Air versi mereka sendiri.

Begitu pula dengan Waroeng Indonesia Djaja, hanyalah satu dari beragam usaha kuliner khas Nusantara yang terbukti sukses menggoyang lidah masyarakat Eropa lewat racikan demi racikan cita rasa surgawi.

Dari kegigihan usaha Nungky, dapatlah ditarik benang merah bahwa kepingan koin 1,50 euro tidak hanya cukup untuk mendapatkan sepotong pisang goreng nikmat, namun juga mampu memberikan potongan kelezatan rasa cinta terhadap Tanah Air bagi orang-orang Indonesia di negeri seberang.