“Kita tidak bisa bilang cuaca berpengaruh berapa persen, tetapi kita bisa melihat bahwa tren kenaikan kasus ISPA seiring dengan kenaikan kadar polusinya, kalau secara umum, kita punya tren seminggu, mulai Senin (4/9) meningkat dibandingkan dengan minggu lalu,” kata Imran saat ditemui di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan data yang disampaikan Imran, kasus ISPA non-pneumonia (menyerang saluran pernafasan dari tenggorokan hingga ke atas, misalnya batuk) tercatat paling banyak terjadi di Jakarta Timur, mencapai 3.115 kasus pada Selasa (5/9), melonjak dibandingkan Rabu (30/8) yakni 2.419 kasus.
Baca juga: Dokter RSCM: Polusi tidak langsung sebabkan ISPA
Untuk mengatasi kualitas udara yang memburuk, Kemenkes telah melakukan upaya di sektor kesehatan, meliputi pemantauan kualitas udara dan penurunan risiko serta dampak kesehatan.
Sedangkan upaya penurunan risiko dan dampak kesehatan, diantaranya dengan mengedukasi masyarakat, merekomendasikan masker KF94, KN95 dan masker kain dengan filter particulate matter (PM) 2,5, surveilans penyakit, dan kesiapan fasilitas kesehatan.
“Kami sudah memberikan surat edaran kepada puskesmas se-Jabodetabek, kita ingatkan bahwa mereka harus bersiap menerima keluhan penyakit yang terkait dengan polusi udara. Mempersiapkan itu, termasuk masalah logistik hingga pelaporannya. Untuk pelaporan sekarang sudah bisa harian,” tuturnya.
Ia juga menegaskan puskesmas bisa segera merespons surat edaran yang sudah diberikan oleh Kemenkes.
“Di beberapa puskesmas, yang saya tahu di Cilandak, Jakarta Selatan, itu ada pojok polusi, yang memfasilitasi masyarakat untuk konseling, memberikan informasi apakah penyakit-penyakit terkait pernapasan yang dialami oleh warga sekitar itu muncul akibat polusi. Jadi itu saya rasa tergantung dari inovasi dari masing-masing puskesmas dan dinas untuk merespons kondisi yang terjadi,” kata Imran.
Baca juga: Kemenkes siapkan 740 fasilitas kesehatan tangani dampak polusi udara