Jakarta (ANTARA) - Pada Rabu petang 23 Agustus 2023, Chandrayaan-3, akhirnya sukses mendarat di kutub selatan bulan. Seluruh rakyat India larut dalam suka cita bercampur bangga nan luar biasa besar.

Kini, India menjadi negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Uni Soviet dan China yang sukses mendaratkan misi luar angkasa di bulan.

Negeri anak benua itu pun masuk barisan elite negara-negara yang mengeksplorasi ruang angkasa.

Keberhasilan itu kian istimewa adalah beberapa hari sebelumnya, misi antariksa Rusia gagal melakukan hal serupa di bulan.

Sukses itu sendiri membuat warna global India kian terang, setelah di berbagai teater global, mulai ekonomi sampai politik, negara Asia Selatan tersebut mencetak berbagai kemajuan mengesankan.

Mereka pun tak lagi terlihat inferior dari tetangganya yang juga meraksasa dan menentukan kecenderungan global saat ini, China.

Kedua negara itu boleh disebut "frenemy", akronim dari "friend" (teman) dan "enemy" (musuh). India dan China memang unik, bersahabat tapi bermusuhan, atau setidaknya teman tapi bersaing sengit dalam banyak medan kehidupan.

Keduanya getol membangun tatanan dunia baru yang merevisi tatanan hubungan internasional yang selama ini didefinisikan Barat.

Tapi, saat bersamaan mereka terus bersaing di segala mandala, hingga bentrok bersenjata akibat masalah perbatasan yang belum selesai sampai kini.

"Frenemy" mereka makin menjadi tatkala kondisi dan ketegangan geopolitik dunia sudah menjurus ke dalam perang terselubung yang melibatkan kekuatan besar yang disebut sejumlah pejabat China sebagai indikasi menuju "Perang Dingin Baru."

Ironisnya, yang paling sengit bertarung dalam suasana mirip Perang Dingin itu adalah China sendiri, dan Amerika Serikat.

Tetapi, dalam beberapa tahun ke depan, India bisa menyeruak di tengah kompetisi sengit multispektrum antara Amerika Serikat dan China.

Tapi jangan salah, sekalipun saat ini cenderung dekat dengan Amerika Serikat dan Barat, India menolak masuk dalam orbit siapa pun, baik itu Amerika Serikat, maupun Rusia yang menjadi mitra setia India, atau siapa saja.

Mitra Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) yang dalam KTT ASEAN-India sehari lalu menyatakan ASEAN sebagai pilar utama kebijakannya dalam melihat Timur (Act East Policy) itu, juga ikut berebut peluang dan pengaruh ke sisi timur perbatasan mereka di Bangladesh, Asia Tenggara, pesisir barat Pasifik, hingga jauh ke Pasifik Selatan.


Bonus demografi muda

Amerika Serikat terlihat menyenangi kondisi itu karena kehadiran India membuat konsentrasi China terpecah ke lebih dari satu front.

Sebaliknya, China melihat gerak gerik India memesankan potensi ancaman yang bisa berujung kepada friksi.

Kedua negara sudah terlihat berbeda selama KTT BRICS di Johannesburg akhir bulan lalu, khususnya dalam bagaimana blok lintas benua itu memasukkan anggota barunya.

India menginginkan syarat ketat berupa batas minimal Produk Domestik Bruto(PDB), sehingga anggota-anggota BRICS tidak dikooptasi anggota yang lebih kuat dan lebih kaya.

Sebaliknya, China, lebih menginginkan BRICS menjadi koalisi global sebagai alternatif untuk tatanan dunia yang diciptakan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Friksi, atau paling tidak persaingan sengit, antara India-China itu semakin terlihat setelah Presiden China Xi Jinping menyatakan absen dalam KTT G20 India yang dimulai Sabtu pada 9 September esok itu.

Keputusan Xi diambil tak lama setelah India dan sejumlah negara Asia Tenggara, menampik mentah-mentah peta standard China yang mencakup daerah-daerah sengketa di Laut China Selatan dan hampir sepanjang perbatasan India-China.

China memiliki alasan untuk mencermati India. Bukan saja karena kedua negara kerap berbeda pandangan, namun juga karena India mulai menggoyang supremasi dan kemapanan China, termasuk dalam soal populasi.

India kini menyalip China sebagai penduduk terbanyak di dunia. China berpenduduk 1,425 miliar, sedangkan India berpenduduk 1,428 miliar.

Selisih yang tipis memang, tapi komposisi penduduk muda India jauh lebih besar ketimbang yang dimiliki China yang populasinya malah menua.

Dari kacamata ekonomi, itu adalah bonus demografi yang hebat yang menjadi faktor menguntungkan bagi India. Sekitar 200 juta penduduknya yang berusia muda menjadi jaminan ekonomi India bergerak lebih produktif, sehingga pertumbuhan ekonomi pun menjadi lebih kencang.

Buktinya, pada periode April-Juni 2023 pertumbuhan ekonomi India mencapai 7,8 persen. Sebaliknya pada periode berdekatan, sampai Maret 2023, pertumbuhan ekonomi China mencapai 4,5 persen. Angka itu naik dari 2,9 persen yang dicapai periode sama tahun sebelumnya, tapi masih jauh di bawah India.

Dana Moneter Internasional (IMF) pun memprediksikan pertumbuhan India sampai akhir tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan China.

Kecenderungan itu membuat Perdana Menteri Narendra Modi yakin India akan segera menjadi negara dengan produk domestik bruto terbesar ketiga setelah AS dan China.


"Bharat" untuk "India"

Pertumbuhan ekonomi tinggi itu juga membuat India dilirik perusahaan-perusahaan dan investor-investor global, apalagi ada kecenderungan politik dari Barat untuk merelokasi asset-asset ekonomi mereka dari China ke India.

Kini, di panggung G20 yang tengah diketuainya, India berusaha memamerkan semua pencapaiannya itu yang melukiskan kebangkitan nasionalnya.

Narendra Modi sendiri berusaha menjadikan KTT G20 sebagai panggung untuk menaikkan gengsi global India.

Modi juga memanfaatkan KTT G20 untuk menunjukkan India sebagai negara yang tak cuma pandai beretorika membela negara berkembang yang biasa disebut "Global South", tapi juga aktif mencari terobosan-terobosan untuk negara-negara yang tertinggal dari yang lain.

Salah satu langkah untuk membuktikan tekad itu adalah berusaha memberikan kursi G20 kepada "Global South" dengan mengundang Uni Afrika menjadi anggota baru forum global yang tahun lalu diketuai Indonesia tersebut.

India memang memiliki rekam jejak yang panjang dalam membela dunia berkembang. Adalah India yang aktif menyalurkan vaksin COVID-19 kepada negara-negara miskin selama pandemi dua tahun lalu.

Modi bahkan berusaha memberi kesan kepada dunia dan "Global South" bahwa India berusaha menghilangkan jejak-jejak lama kolonialisme seperti dialami "Global South", termasuk rencana mengubah nama "India", menjadi "Bharat" yang bercorak asli India, jauh sebelum agama-agama modern seperti Islam dan Kristen masuk India.

"Bharat" adalah kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya kira-kira sama merujuk kepada "India".

Saking ingin menduniakan rencana mengubah nama negara itu, pemerintah Modi menyebarkan surat undangan menghadiri KTT G20 kepada para pemimpin dunia, atas nama "Presiden Bharat", bukan "Presiden India". Presiden India saat ini adalah Droupadi Murmu.

Upaya mengubah India menjadi "Bharat" itu sendiri ditentang kubu oposisi, yang mengkhawatirkan India bakal semakin tidak toleran kepada kaum minoritas, termasuk kepada 200-an juta warga Muslim India.

Di sisi lain, kekhawatiran oposisi India bahwa "Bharat" akan memicu sektarianisme akut itu malah menyingkapkan kekurangan India, yang membuat China terlihat memiliki keunggulan komparatif yang besar dibandingkan India, dalam kaitan dengan faktor-faktor yang turut menentukan stabilitas nasional, yang adalah penting bagi pembangunan ekonomi.

Apakah pesan-pesan nasionalisme dan kebangkitan India itu tersampaikan dalam KTT G20 dua hari ke depan, bisa dilihat dari produk KTT G20 India tersebut.

Namun, sejumlah kalangan khawatir ketiadaan Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin, bakal membuat KTT G20 kali ini tak menciptakan konsensus dan komunike bersama, terlebih dalam soal perang Ukraina-Rusia.