Jakarta (ANTARA News) - Siapakah yang akan menjadi Presiden Republik Indonesia hasil Pemilihan Presiden 2014 mendatang? Tak seorang pun bisa menyebut nama, tapi sebagian orang dapat menduga bahwa sosok yang layak memimpin Indonesia saat itu adalah orang yang berjiwa kenegarawanan.
Rakyat makin cerdas dan makin tahu siapa yang suka mengobral janji, dan siapa yang berperilaku kenegarawanan. Jajak pendapat yang merupakan refleksi kehendak masyarakat memang bukan jaminan atas realita faktual, tapi sedikitnya membersitkan kebenaran.
Cukup menarik bahwa sebuah jajak pendapat menempatkan Jokowi, sapaan akrab Joko Widodo yang kini Gubernur DKI Jakarta, sebagai sosok paling layak dipilih sebagai calon presiden mendatang.
Dalam diri Jokowilah, menurut pandangan responden, ciri kenegarawanan itu muncul. Secara garis besar ciri kenegarawanan itu adalah tak mementing diri, mementingkan orang banyak. Bekerja keras untuk kesejahteraan yang dipimpinnya.
Kenegarawanan Jokowi makin terlihat justru mengomentari hasil jajak pendapat yang menempatkan dirinya di urutan pertama sebagai calon presiden mendatang. Apa kata mantan Wali Kota Surakarta itu? Dia tidak mau berpikir tentang pencalonan RI 1, tapi mau menyelesaikan tugasnya sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Publik mencatat sikap kenegarawanan ini. Tak mudah untuk menghadapi godaan kekuasaan. Integritas Jokowi akan diuji di sini. Apakah dia hanya sementara saja mengatakan bahwa dia tidak akan maju dalam pemilihan presiden (pilpres) mendatang?
Jika akhirnya dia tergoda ikut karena merasa publik menginginkannya sebagai capres, maka saat itulah integritasnya mulai goyah. Dia ternyata tergoda oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Hmm siapa yang tak tergoda jadi orang nomor satu di negeri ini, bukan hanya nomor satu di Jakarta.
Pengamat politik Sayidiman Suryohadiprojo berharap bahwa Jokowi konsisten untuk tetap menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta sampai akhir masa jabatannya. Sekalipun parpol yang mengusungnya memaksanya untuk maju sebagai capres, Jokowi diharapkan tak goyah menuruti desakan parpol yang mendukung dan membesarkannya itu.
Tentu dengan konsistensi yang tinggi untuk menolak jadi capres 2014, dukungan masyarakat akan semakin membesar. Di sini godaan terhadap Jokowi juga akan semakin besar pula. Dia selalu dalam gelombang dilematis yang paradoksal: semakin dia enggan berebut kursi RI 1, semakin tinggi simpati dan dukungan rakyat padanya.
Bagi parpol, tugas terpenting saat ini adalah menemukan sosok lain yang punya jiwa kenegarawanan macam Jokowi untuk dijagokan dalam pilpres mendatang. Sosok semacam itu pastilah bukan politisi yang sudah terlanjur punya cacat sejarah di masa lalu. Tokoh-tokoh muda yang pantas digadang-gadang selama ini mungkin bisa diajukan sebagai sosok alternatif.
Taruhlah nama-nama berikut ini yang pantas diajukan secara calon presiden mendatang: pengamat politik Yudi Latif, Anies Baswedan yang barusan menjanlankan tugasnya dengan efektif ketika berperan sebagai Ketua Komisi Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menginvestigasi kasus bocornya Sprindik terkait dengan kasus Anas urbaningrum.
Persoalannya: punyakah tokoh-tokoh muda itu dana untuk maju menjadi capres mendatang? Kalau tidak punya, sediakah parpol membiayai mereka untuk maju menjadi capres mendatang? Pertanyaan ini cukup krusial sebab merujuk pada kasus Nurcholish Madjid semasih hidup pernah gagal mengikuti konvensi Partai Golongan Karya (Golkar) karena ketiadaan dana.
Celetukan yang mengemuka saat itu yang muncul dari politisi Partai Golkar saat itu adalah: "Yang dibutuhkan dari Cak Nur bukan hanya visi dan misi, tapi juga gizi." Gizi di sini tentu artinya dana politik. Tragisnya, tak satupun ada pihak yang mencoba memberanikan diri untuk membiayai Cak Nur agar maju terus pantang mundur.
Kemenangan Jokowi melawan Fauzi Bowo yang hendak mempertahankan posisinya sebagai Gubernur DKI tak lepas dari citra Jokowi yang lebih merakyat dari pada pesaingnya. Fakta ini diyakini para pengamat politik akan berlaku juga untuk Pilpres 2014.
Parpol mana yang berani mengajukan capres yang mendapat simpati rakyat, parpol itu akan menangguk kemenangan meskipun harus bersaing dengan parpol yang menjagokan orang-orang terkuat di tubuh internal mereka.
Kemasyhuran dan keharuman nama adalah modal terbaik dan terhebat dalam persaingan pilpres mendatang. Harum nama, reputrasi, kredibilitas adalah senjata ampuh yang akan menempatkan seseorang di tempat yang tinggi, tempat yang terhormat. Aksioma ini sudah dinubuatkan dalam kitab-kitab suci yang dijunjung umat manusia.
Kini parpol boleh menghamburkan dananya untuk menyewa para penyelenggara jajak pendapat paling netral dan paling teruji kebenarannya untuk memetakan siapakan sosok-sosok calon negarawan di negeri ini yang bisa diusung penjadi capres mendatang.
Para penyelenggara jajak pendapat yang bekerja karena pesanan akan hilang kredibilitasnya. Di era digital, semua perilaku busuk terekam dalam memori mesin dan sewaktu-waktu bisa diunduh masyarakat. Maka, tak banyak gunanya melakukan jajak pendapat dengan hasil yang direkayasa demi memenuhi pesanan parpol.
Sebenarnya, di media jejaring sosial, masyarakat sendiri sudah melakukan jajak pendapat untuk mencalonkan jago-jago mereka. Tapi, cara semacam ini sangat membingungkan karena semua orang bisa mengajukan jago mereka masing-masing. Cara paling efektif adalah jajak pendapat yang terorganisasi oleh institusi yang tepercaya sehingga hasilnya bisa dijadikan pegangan baik oleh parpol maupun pemilih pada pilpres mendatang.
Sumber-sumber calon negarawan yang bisa dijagokan dalam pilpres mendatang bisa dari kalangan aktivis sosial maupun pemikir atau penulis terkenal, ini kalau merujuk pada pengalaman negara lain.
Tak salah lah kalau para penjelenggara jajak pendapat mencari calon-calon negarawan dari sumber-sumber lain yang jadi tempat kawah candradimuka, tempat penggemblengan, lahirnya seorang calon negarawan di Tanah Air.
Saatnya parpol biayai calon negarawan
28 April 2013 15:44 WIB
(shnews.co)
Oleh Mulyo Sunyoto
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013
Tags: