Artikel
Komitmen hapus penangkapan ikan ilegal demi konservasi berkelanjutan
Oleh Andi Jauhary
7 September 2023 19:17 WIB
Komandan KN Marore-322 Badan Keamanan Laut (Bakamla ) Letkol Yuli Eko Prihartanto (kedua kiri) bersama anggotanya memeriksa kapal ikan asing (KIA) yang berhasil diamankan di dermaga Pelabuhan Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Senin (14/8/2023). ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/tom (ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/Teguh Prihatna)
Jakarta (ANTARA) - Penangkapan ikan secara ilegal diyakini telah memberikan andil terhadap hilangnya potensi pendapatan negara yang cukup besar maupun kerusakan ekosistem serta sumber hayati laut.
Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen untuk menghapuskan praktik perikanan ilegal guna menciptakan laut yang sehat dan berkelanjutan, karena penangkapan ikan ilegal, sehingga ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya maupun ekosistem laut, bisa dihapuskan.
Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) yang pernah menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, dalam buku bertajuk "Cetak Biru Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat (PKSPL IPB:2020) mengungkapkan bahwa potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun.
Namun, pada Rapat Konsolidasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Laut, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Yogyakarta pada 9 September 2020, ia mengungkapkan bahwa Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing atau praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal unreported unregulated fishing/IUUF), menyebabkan kerugian ekonomi yang besar buat Indonesia maupun dunia.
Aktivitas IUUF menyebabkan kerugian ekonomi bagi Indonesia rata-rata 1 juta ton ikan, atau sekitar 3 miliar dolar AS (Rp 45 triliun) per tahun. Sedangkan seluruh dunia dunia mencapai sekitar 10-23 miliar dolar AS per tahun.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan Perikanan Bidang Hubungan Luar Negeri , Edy Putra Irawadi, dalam konferensi pers di Jakarta (16/5) menyebut kerugian secara global sebesar 26 juta ton per tahun atau sekitar 23 miliar dolar AS.
Data itu dirujuknya dari laporan Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) 2019, yang menyebutkan bahwa kerugian itu mencapai 26 juta ton dengan nilai lebih kurang 23 miliar dolar AS.
Selain hilangnya potensi ekonomi yang besar, penangkapan ikan secara ilegal adalah mengancam kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan ekosistem perairan, serta memperkecil peluang nelayan Indonesia mendapatkan ikan hasil tangkapan.
Kesepakatan penting
Ancaman terhadap sumber daya laut itu juga ditegaskan Direktur Jenderal Badan Pangan Dunia (FAO), QU Dongyu, dalam pertemuan di Kuta, Bali, pada 8-12 Mei 2023. Pertemuan FAO global keempat ini yang diikuti lebih dari 200 delegasi dari seluruh dunia bersama dengan perwakilan organisasi antarpemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Pertemuan di Bali tersebut menyepakati sejumlah poin penting, di antaranya perluasan inspeksi kapal ikan untuk memberantas praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing).
FAO bekerja dengan negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, dengan meninjau undang-undang nasional, serta mengidentifikasi cara memperkuat kapasitas kelembagaan mereka.
Badan Pangan Dunia ini juga membantu meningkatkan sistem pemantauan dan pengawasan sehingga para pihak dapat secara efektif menerapkan Agreement on Port State Measures (PSMA) atau tindakan negara pelabuhan dan instrumen internasional lainnya untuk mempromosikan perikanan berkelanjutan.
Selain perluasan inspeksi kapal penangkap ikan, pertemuan tersebut juga menyepakati pertukaran informasi global (GIES) yang merupakan sistem digital yang dikembangkan oleh FAO serta meningkatkan kapasitas negara berkembang.
PSMA adalah perjanjian internasional mengikat yang secara khusus menargetkan masalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF). Melalui perjanjian diharapkan dapat menghentikan kapal yang melakukan IUU Fishing untuk mengakses pelabuhan, sehingga menghalangi ikan dari penangkapan ilegal memasuki pasar. Hingga saat ini, PSMA diikuti 75 pihak, termasuk Uni Eropa dengan seluruh anggotanya.
Sementara itu, dalam acara yang dihadiri Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono dan Perwakilan FAO di Indonesia serta Timor Leste, Rajendra Aryal, melalui pesan video, QU Dongyu menyebut penangkapan ikan ilegal sebagai ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya, ekosistem laut, serta mata pencaharian 600 juta orang yang bergantung padanya.
Perikanan tangkap berkelanjutan dan akuakultur berkelanjutan memiliki potensi besar untuk memberi makan dan menyehatkan populasi dunia yang terus bertambah dan meningkatnya permintaan akan makanan akuatik yang sehat. Karena itu, PSMA diharapkan dapat mendukung transformasi perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.
Komitmen Indonesia
Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk menghapuskan praktik perikanan ilegal. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau dan penduduknya bergantung pada sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan protein, dan bekerja di wilayah pesisir di Nusantara.
Untuk itu, Indonesia berkomitmen untuk menciptakan laut yang sehat dan berkelanjutan, serta meniadakan praktik penangkapan ikan penangkapan ikan yang legal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF) serta mengintensifkan penegakan hukum.
FAO telah bekerja dalam kemitraan yang erat dengan Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain di Kawasan Asia Pasifik dalam mengembangkan dan mengelola sektor perikanan dan akuakultur, sekaligus menanggapi keadaan darurat yang berdampak pada sektor-sektor tersebut.
Strategi untuk meningkatkan efektivitas PSMA, sistem Pertukaran Informasi Global (GIES) merupakan upaya serius guna menjaga kekayaan sumber daya laut Indonesia, termasuk ikan di dalamnya yang banyak hilang akibat praktik pencurian ilegal itu.
Komitmen-komitmen global itu pada akhirnya harus bermuara pada upaya memerangi praktik ilegal, yang tidak saja bermotif ekonomi, namun lebih jauh lagi adalah penyelamatan lingkungan untuk keberlanjutan di masa depan.
Oleh karena itu, Indonesia berkomitmen untuk menghapuskan praktik perikanan ilegal guna menciptakan laut yang sehat dan berkelanjutan, karena penangkapan ikan ilegal, sehingga ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya maupun ekosistem laut, bisa dihapuskan.
Guru besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK IPB) yang pernah menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri, dalam buku bertajuk "Cetak Biru Pembangunan Kelautan dan Perikanan Menuju Indonesia Yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat (PKSPL IPB:2020) mengungkapkan bahwa potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) ikan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun.
Namun, pada Rapat Konsolidasi Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Laut, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Yogyakarta pada 9 September 2020, ia mengungkapkan bahwa Illegal, Unreported dan Unregulated (IUU) Fishing atau praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal unreported unregulated fishing/IUUF), menyebabkan kerugian ekonomi yang besar buat Indonesia maupun dunia.
Aktivitas IUUF menyebabkan kerugian ekonomi bagi Indonesia rata-rata 1 juta ton ikan, atau sekitar 3 miliar dolar AS (Rp 45 triliun) per tahun. Sedangkan seluruh dunia dunia mencapai sekitar 10-23 miliar dolar AS per tahun.
Sementara itu, Staf Khusus Menteri Kelautan Perikanan Bidang Hubungan Luar Negeri , Edy Putra Irawadi, dalam konferensi pers di Jakarta (16/5) menyebut kerugian secara global sebesar 26 juta ton per tahun atau sekitar 23 miliar dolar AS.
Data itu dirujuknya dari laporan Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) 2019, yang menyebutkan bahwa kerugian itu mencapai 26 juta ton dengan nilai lebih kurang 23 miliar dolar AS.
Selain hilangnya potensi ekonomi yang besar, penangkapan ikan secara ilegal adalah mengancam kelestarian sumber daya ikan (SDI) dan ekosistem perairan, serta memperkecil peluang nelayan Indonesia mendapatkan ikan hasil tangkapan.
Kesepakatan penting
Ancaman terhadap sumber daya laut itu juga ditegaskan Direktur Jenderal Badan Pangan Dunia (FAO), QU Dongyu, dalam pertemuan di Kuta, Bali, pada 8-12 Mei 2023. Pertemuan FAO global keempat ini yang diikuti lebih dari 200 delegasi dari seluruh dunia bersama dengan perwakilan organisasi antarpemerintah dan organisasi non-pemerintah.
Pertemuan di Bali tersebut menyepakati sejumlah poin penting, di antaranya perluasan inspeksi kapal ikan untuk memberantas praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing).
FAO bekerja dengan negara dan organisasi pengelolaan perikanan regional untuk memerangi penangkapan ikan ilegal, dengan meninjau undang-undang nasional, serta mengidentifikasi cara memperkuat kapasitas kelembagaan mereka.
Badan Pangan Dunia ini juga membantu meningkatkan sistem pemantauan dan pengawasan sehingga para pihak dapat secara efektif menerapkan Agreement on Port State Measures (PSMA) atau tindakan negara pelabuhan dan instrumen internasional lainnya untuk mempromosikan perikanan berkelanjutan.
Selain perluasan inspeksi kapal penangkap ikan, pertemuan tersebut juga menyepakati pertukaran informasi global (GIES) yang merupakan sistem digital yang dikembangkan oleh FAO serta meningkatkan kapasitas negara berkembang.
PSMA adalah perjanjian internasional mengikat yang secara khusus menargetkan masalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF). Melalui perjanjian diharapkan dapat menghentikan kapal yang melakukan IUU Fishing untuk mengakses pelabuhan, sehingga menghalangi ikan dari penangkapan ilegal memasuki pasar. Hingga saat ini, PSMA diikuti 75 pihak, termasuk Uni Eropa dengan seluruh anggotanya.
Sementara itu, dalam acara yang dihadiri Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono dan Perwakilan FAO di Indonesia serta Timor Leste, Rajendra Aryal, melalui pesan video, QU Dongyu menyebut penangkapan ikan ilegal sebagai ancaman terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya, ekosistem laut, serta mata pencaharian 600 juta orang yang bergantung padanya.
Perikanan tangkap berkelanjutan dan akuakultur berkelanjutan memiliki potensi besar untuk memberi makan dan menyehatkan populasi dunia yang terus bertambah dan meningkatnya permintaan akan makanan akuatik yang sehat. Karena itu, PSMA diharapkan dapat mendukung transformasi perikanan berkelanjutan di seluruh dunia.
Komitmen Indonesia
Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk menghapuskan praktik perikanan ilegal. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 17.504 pulau dan penduduknya bergantung pada sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan protein, dan bekerja di wilayah pesisir di Nusantara.
Untuk itu, Indonesia berkomitmen untuk menciptakan laut yang sehat dan berkelanjutan, serta meniadakan praktik penangkapan ikan penangkapan ikan yang legal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUUF) serta mengintensifkan penegakan hukum.
FAO telah bekerja dalam kemitraan yang erat dengan Pemerintah Indonesia dan negara-negara lain di Kawasan Asia Pasifik dalam mengembangkan dan mengelola sektor perikanan dan akuakultur, sekaligus menanggapi keadaan darurat yang berdampak pada sektor-sektor tersebut.
Strategi untuk meningkatkan efektivitas PSMA, sistem Pertukaran Informasi Global (GIES) merupakan upaya serius guna menjaga kekayaan sumber daya laut Indonesia, termasuk ikan di dalamnya yang banyak hilang akibat praktik pencurian ilegal itu.
Komitmen-komitmen global itu pada akhirnya harus bermuara pada upaya memerangi praktik ilegal, yang tidak saja bermotif ekonomi, namun lebih jauh lagi adalah penyelamatan lingkungan untuk keberlanjutan di masa depan.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023
Tags: