Guangzhou (ANTARA) - Jika Anda mengunjungi Perkebunan Yingde, yang berada di Provinsi Guangdong, China selatan, terkadang Anda akan merasa seperti berada di Indonesia.

Beragam alunan musik tradional khas Indonesia menghadirkan suara merdu di telinga, sementara menu masakan padang dan kerupuk nusantara turut menggugah selera kala ditemani tarian diiringi melodi dangdut yang kerap dibawakan warga setempat.

Tak hanya itu, suasana kebudayaan mancanegara seperti Vietnam, India, Malaysia, dan Singapura pun sangat terasa di perkebunan ini maupun desa-desa di sekitarnya.

Yingde sudah lama terkenal dengan teh hitam yang ditanam dan diolah di tempat yang dijuluki "Kampung Teh Hitam China" tersebut.

Setelah menetap di Yingde, sejumlah besar "penduduk baru" dari Indonesia mulai berkecimpung dalam pertanian daun teh hitam. Berkat kondisi alamnya yang layak dan penduduknya yang rajin, taraf kehidupan mereka terus meningkat

Perkebunan Yingde, berhasil memadukan beragam kebudayaan dengan para perantau Tionghoa yang pulang ke China dari 20-an negara dan kawasan hidup bersama di sini dengan harmonis dan rukun, lebih dari seperempat di antaranya merupakan perantau Tionghoa yang pulang dari Indonesia.

Sejak 1950-an, banyak perantau Tionghoa, yang leluhurnya merantau ke luar negeri untuk mencari nafkah, memilih pulang ke China dan menetap di sejumlah kota di Provinsi Fujian, Guangdong, dan Guangxi, termasuk di antaranya Kota Yingde.

Huang Huilan, salah seorang keturunan Tionghoa yang pulang dari Indonesia sekitar 60 tahun silam bersama keluarganya, masih ingat dengan situasi ketika mereka tiba di Pelabuhan Huangpu di Guangzhou, ibu kota Provinsi Guangdong. "Saya baru berumur 17 tahun pada saat itu, dan menantikan kehidupan kami pada masa mendatang di China," kenang Huang.
Lima orang wanita menyajikan tarian khas Sumatera Barat dalam sebuah acara di China. (Xinhua).

Sebagai perantau Tionghoa yang pulang dari Indonesia, Huang dan teman-temannya terus menjaga kebiasaan hidupnya di Indonesia dan kecintaan mereka terhadap kebudayaan Indonesia.

Huang adalah "penggemar berat" tarian, khususnya tarian yang mengiringi musik khas Indonesia. Menurut Huang, asalkan mendengar musik tariannya, dia dapat membebaskan dirinya dari kelelahan dan kecemasan sehari-hari serta menikmati waktu luangnya. Setelah menari, Huang akan merasa lebih bugar sehingga dirinya dapat bekerja dengan lebih efisien.

Kelompok tari mereka semakin terkenal dengan lebih banyak pencinta tari ikut berpartisipasi. Para pejabat dan diplomat Indonesia yang bekerja atau berkunjung ke Guangzhou pun pernah datang ke Yingde untuk menikmati pertunjukan mereka. Kelompok tersebut juga secara aktif berkontribusi bagi promosi kebudayaan Indonesia di China dan kerja sama Sabuk dan Jalur Sutra antara kedua negara.

Mereka sudah 10 kali diajak menampilkan pertunjukan di Pameran China-ASEAN. Selain itu, kelompok tersebut juga banyak kali menyuguhkan pertunjukan tarian tradisional Indonesia untuk warga Indonesia yang hidup di China dan juga warga China sehingga mendekatkan jarak China-Indonesia dan meningkatkan persahabatan warga kedua negara.

Wu Jiannan, juga seorang perantau Tionghoa yang pulang dari Indonesia dan hidup di Yingde, sangat gemar menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Dia sering mengadakan "konser keluarga" pada waktu luangnya. Walaupun umurnya sudah lebih dari 80 tahun, suara Wu masih amat merdu. Putra dan cucu Wu juga tertarik pada lagu-lagu dan tarian Indonesia, keluarga Wu sudah mengikuti kegiatan kebudayaan setempat dalam banyak kesempatan dan mereka selalu melakukan persiapan dengan cermat sebelum pertunjukan.

"Harapan saya adalah bahwa tarian ini dapat diwariskan dan disebarluaskan di kalangan generasi muda, dan terus memberikan kontribusi bagi pertukaran persahabatan China-Indonesia," tutur Wu.

Berkat bantuan dari pemerintah daerah, kebudayaan para perantau yang khas sudah diwariskan dan dipelajari di sekolah-sekolah setempat, salah satunya adalah rombongan musik Angklung di sebuah sekolah dasar di Yingde yang sudah sering menampilkan pertunjukan dalam berbagai kegiatan. Sejumlah kursus kebudayaan mancanegara juga digelar di Yingde demi menginspirasi generasi muda di sini untuk menjajaki dunia dan merasakan kebudayaan yang berbeda.

Di jalanan di sekitar Perkebunan Yingde, terdapat banyak tumbuhan serai dan singkong yang banyak ditemui di Indonesia. Kedai dan rumah makan serta gerai bumbu khas Indonesia juga dibuka di tempat itu.

Rumah makan yang dibuka Xue Yinhua sangat menonjolkan suasana khas Indonesia, misalnya perhiasan yang bermotif Indonesia, menu yang ditulis dalam bahasa Mandarin dan bahasa Indonesia, kerupuk dan kopi Indonesia yang disajikan untuk pelanggan. Restoran seperti itu tidak hanya memikat para perantau Tionghoa yang pulang ke China, tetapi juga sering dikunjungi warga lokal dari desa-desa sekitar.
Rumah makan Xue Yinhua menyajikan beragam kuliner dengan nuansa khas Indonesia. Xue mengatakan bahwa bahan-bahan mentah yang digunakan di restorannya didatangkan dari Indonesia untuk menjaga keasliannya dan menjamin rasa makanan pun cukup autentik. (Xinhua)

Xue mengatakan bahwa bahan-bahan mentah yang digunakan di restorannya didatangkan dari Indonesia untuk menjaga keasliannya. Dia pun menjamin bahwa rasa makanan di rumah makan miliknya cukup autentik dan hal tersebut membuat restorannya semakin terkenal.

Pada Mei tahun ini, Kota Yingde menggelar festival kebudayaan perantauan, memamerkan berbagai hidangan khas Asia Tenggara dan kesenian mancanegara, secara lebih lanjut mempromosikan kebudayaan yang unik.

"Betul saya orang China, tetapi kehidupan dan pengalaman saya di Indonesia merupakan bagian penting dan tak terlupakan dalam kehidupan saya. Puluhan tahun berlalu, emosi saya terhadap Indonesia masih mendalam, kami masih menjaga kebiasaan hidup di Indonesia dan mempromosikan kebudayaan kami. Harapan kami adalah bahwa kami perantau Tionghoa dari Indonesia dapat terus menjembatani persahabatan China-Indonesia dan menyaksikan hubungan kedua negara semakin erat," ungkap Wu Jiannan.