Jakarta (ANTARA) - Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim mengatakan bahwa isu Laut China Selatan harus diselesaikan dengan cara-cara damai dan rasional melalui dialog dan konsultasi.

Pernyataan tersebut disampaikan Anwar Ibrahim dalam sidang pleno Konferensi Tingkat Tinggi Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (KTT ke-43 ASEAN) di Jakarta, Selasa.

“… sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional, termasuk UNCLOS,” katanya dalam transkrip resmi yang dirilis Kementerian Luar Negeri Malaysia, Selasa.

Kementerian Sumber Daya Alam China pada Senin (28/8), merilis Peta Standar China Edisi 2023, yang menurut Malaysia, menunjukkan klaim sepihak China atas perairan tersebut yang melewati kawasan maritim Sabah dan Sarawak.

Peta baru China juga mendapat penentangan dari Vietnam dan Filipina.

Anwar mengatakan bahwa ASEAN memiliki mekanisme yang unik melalui wadah ASEAN Plus yang dapat mempertemukan pihak-pihak yang bersaing untuk berdialog dan bekerja sama serta mendorong persaingan yang sehat.

Namun, Anwar juga mengingatkan agar ASEAN waspada terhadap segala tindakan yang memecah belah dari negara-negara besar.

“Sentralitas ASEAN harus terus kita junjung tinggi,” tegas dia.

Anwar juga meminta ASEAN untuk memperkuat kapasitas kelembagaan, menyederhanakan mekanisme, dan memastikan pengambilan keputusan yang tepat waktu.

“Kita tidak boleh membiarkan semua yang telah kita capai dirusak oleh persaingan yang tak terkendali antara negara-negara besar,” kata dia.

Terkait isu Laut China Selatan, Indonesia, yang menjadi Ketua ASEAN 2023, berinisiatif untuk mempercepat proses perundingan pedoman tata perilaku (Code of Conduct/CoC) di Laut China Selatan yang disengketakan.

Pedoman percepatan itu telah diadopsi dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN dan Ketua Dewan Kebijakan Luar Negeri China Wang Yi di Jakarta pada 13 Juli, dan akan disahkan oleh para pemimpin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-China pada 6 September.

Baca juga: Malaysia tolak klaim peta baru Laut China Selatan oleh China
Baca juga: Filipina advokasi 'tatanan berbasis aturan' di Laut China Selatan