Jakarta (ANTARA) - Ketika Presiden Amerika Serikat Joe Biden memutuskan absen dalam KTT ASEAN 2023 di Jakarta, gaung kontroversinya begitu besar sampai menyinggung komitmen Amerika Serikat kepada ASEAN.

Padahal China pun melakukan hal serupa ketika Presiden Xi Jinping juga kemudian absen dalam perhelatan itu.

Magnitudo dan resonansi pengaruhnya pun tak kalah besar dari ketidakhadiran Biden dalam KTT ASEAN.

Xi bahkan juga memutuskan tak menghadiri KTT G20 di India yang hanya berselisih satu hari setelah KTT ASEAN. Biden sendiri menyesali ketidakhadiran Xi dalam forum G20 itu.

KTT ASEAN diadakan pada 5-8 September, sedangkan KTT G20 di India digelar pada 9-10 September.

China mengutus Perdana Menteri Li Qiang, baik dalam KTT ASEAN maupun KTT G20. Dan ini menimbulkan pertanyaan.

Untuk pertama kalinya pemimpin China absen dalam KTT G20, yang disebut sejumlah media Barat sebagai titik nadir bagi badan yang didirikan untuk mencapai konsensus antara negara-negara besar di dunia yang berbeda-beda kondisi sosial dan ekonominya.

Ironisnya, dalam waktu bersamaan China menghadapi tantangan yang kian sengit dari AS dan sekutu-sekutunya yang tengah berusaha membentuk koalisi global membendung pengaruh China.

Keputusan itu juga diambil tak lama setelah sejumlah negara menolak apa yang disebut "peta baku" China yang dirilis 28 Agustus silam dalam laman Global Times, corong pemerintah China berbahasa Inggris.

Dalam peta itu, China mengklaim Arunachal Pradesh, Aksai Chin, Taiwan dan sejumlah pulau di Laut China Selatan, sebagai wilayahnya.

India otomatis menentang klaim China di Arunachal Pradesh dan Aksai Chin, sedangkan sejumlah negara anggota ASEAN juga menolak klaim China di Laut China Selatan.

Sikap India dan sejumlah negara ASEAN itu, membuat geram China. Namun, apakah ini yang menjadi alasan Xi absen dalam dua KTT yang sebenarnya penting bagi China baik dari perspektif geopolitik maupun geoekonomi, sejauh ini tak terjelaskan.

Arunachal Pradesh adalah negara bagian paling timur India, yang berbatasan dengan Tibet China di bagian utara, selain berbatasan dengan Bhutan di sebelah barat dan Myanmar di sebelah tenggara.

Akan halnya Aksai Chin terletak di bagian utara India yang berbatasan dengan Provinsi Xinjiang di China.

Kedua negara pernah beberapa kali perang perbatasan yang singkat. Terakhir pada 2020-2022 di Ladakh menyangkut Aksai Chin.


Membingungkan

Di Laut China Selatan, China menghadapi oposisi serius dari Vietnam dan Filipina, yang keduanya tengah menoleh kepada AS untuk mencari perimbangan dalam melihat apa yang mereka lihat sebagai sikap agresif China di area itu.

China tak suka oleh respons reaktif sejumlah negara ASEAN itu, sampai meminta mereka untuk tidak menjadi pion asing (Amerika Serikat).

Hal ini secara gamblang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri China Wang Yi dalam sebuah pesan video pada sebuah konferensi yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia pada 3 September lalu.

Tanpa menyebut AS, Wang meminta negara-negara ASEAN untuk tidak terprovokasi oleh kekuatan luar.

Wang mengingatkan ASEAN untuk menghindarkan "situasi Ukraina" di Asia Tenggara dan jangan mau menjadi bidak kekuatan asing

Dia menuding "sejumlah kekuatan eksternal" tengah "menabur perselisihan" di dalam ASEAN untuk mencegah adanya konsensus menyangkut Laut China Selatan.

Tetapi sikap dan manuver China sendiri membingungkan. Di satu sisi, mereka menyerukan dialog dan konsultasi, tapi di sisi lain semakin agresif mengerahkan kekuatan militer di Laut China Selatan dan tak henti membangun konstruksi di daerah atau pulau yang disengketakan dengan beberapa negara ASEAN.

China juga menjadi pihak yang lebih lamban dalam menerima Pedoman Tata Prilaku (Code of Conduct) di Laut China Selatan, ketika seluruh ASEAN sudah lama mengadopsi pedoman itu.

Walaupun demikian, kekhawatiran China seperti disampaikan Wang Yi tak boleh dikesampingkan ASEAN, karena faktanya AS memang berusaha menyeret dan mengkooptasi ASEAN sebagai bagian dari front membendung China.

Itu juga tak hanya terjadi pada ASEAN, namun juga pada forum penting lainnya dalam G20. Namun, keputusan Xi tidak menghadiri KTT G20 di India lebih unik lagi.

Unik karena dalam beberapa kesempatan baik India dan China hampir selalu memiliki sikap yang sejalan dalam pelbagai isu internasional, termasuk Perang Ukraina dan blok lintas-benua BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan).

Kedua negara bahkan baru saja menggelar pertemuan BRICS yang berhasil memasukkan lima anggota baru.

Tapi keberhasilan itu lebih tepat disebut sebagai kemenangan politik China ketimbang kemenangan politik India, yang justru menginginkan syarat ketat berupa batas minimal Produk Domestik Bruto (PDB) dalam menentukan anggota baru BRICS.

Pada KTT BRICS 2023 di Johannesburg, Afrika Selatan, 24 Agustus lalu, kelima negara BRICS sepakat mengundang Argentina, Mesir, Iran, Ethiopia, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, untuk menjadi anggota baru mereka.

Tak ada satu pun dari kelima negara itu yang memiliki PDB di atas Indonesia. Saudi menjadi satu-satunya yang memiliki PDB di atas 1 triliun dolar AS. PDB Ethiopia malah jauh di bawah Indonesia dan lima negara ASEAN lainnya.


Semakin keras

Anggota BRICS seperti China dan India mungkin sebenarnya amat berharap Indonesia dan Turki segera menjadi anggota baru BRICS, tapi kedua negara tak melakukannya, paling tidak untuk sementara.

Presiden RI Joko Widdodo menegaskan bahwa Indonesia masih mengkaji dan mempertimbangkan keikutsertaan dalam BRICS.

Apakah hal itu turut mempengaruhi keputusan Xi absen dalam KTT ASEAN di Jakarta? Masih sangat spekulatif, tapi bisa dipertimbangkan mengingat "faktor Indonesia" tak bisa dikesampingkan sebagaimana dalam keputusan Biden untuk tak menghadiri KTT ASEAN kali ini.

Situasi ini mirip dengan situasi yang membuat Xi absen dalam KTT G20 di India, yang juga cenderung karena alasan masalah bilateral China-India, terutama dalam sengketa perbatasan.

Kedua negara ini sendiri memang tengah bersaing keras di berbagai medan, walaupun terlihat seiring dalam berbagai isu internasional.

India kini menyalip China sebagai penduduk terbanyak di dunia. Pertumbuhan ekonominya sedikit lebih cepat dibandingkan China. India juga berhasil menembus supremasi para penguasa antariksa, termasuk China, dengan berhasil mendaratkan misi luar angkasa di Bulan.

Namun ada yang berpandangan bahkan China berusaha mengambil langkah drastis dengan lebih mencurahkan perhatian kepada BRICS karena blok ini tidak resisten terhadap China.

BRICS juga menghimpun kekuatan-kekuatan non-Barat yang berusaha disatukan oleh China dalam satu wadah besar guna membangun tatanan global baru, selain merupakan blok ekonomi yang enggan bertumpang tindih dengan masalah politik.

"Ketidakhadiran Xi mungkin sebagai upaya Beijing dalam menancapkan paku ke peti mati G20," kata David Boling, direktur firma konsultasi Eurasia Group, seperti dikutip Reuters.

China sendiri menjadi satu dari dua negara G20 selain Rusia yang menolak keras atmosfer semacam itu dipaksakan hadir dalam G20, khususnya upaya habis-habisan Barat memasukkan agenda Perang Ukraina dalam KTT G20.

Dengan tidak menghadiri KTT G20, China telah meniadakan konsensus G20 pada banyak hal, terutama perang Ukraina. China hendak menunjukkan posisi vital mereka dalam forum-forum seperti G20 ketika negara-negara Barat yang kian agresif menekan China, berusaha keras mencapai konsensus global dalam berbagai persoalan besar dunia, termasuk perang Ukraina.

Namun, para pemimpin India saat ini merasa bahwa berlarut-larutnya perang di Ukraina membuat sikap China semakin keras, padahal beberapa waktu sebelumnya, termasuk dalam KTT G20 di Indonesia setahun lalu, China lebih bisa diajak untuk berkompromi.

Namun ini semua baru pada tingkat dugaan, karena dari pernyataan resminya sendiri, China masih menganggap penting G20 dan ASEAN, terlepas Xi absen dalam dua KTT forum regional dan global itu.