Kabupaten Jayapura, Papua (ANTARA) - Pemandangan tak biasa terlihat di Kampung Wisata Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Rumah-rumah di kampung ini hampir 90 persen dibangun terapung, tepatnya di atas Danau Sentani, dengan akses antar-rumah yang dihubungkan dengan jembatan kayu dengan cat warna-warni yang menghiasinya. Berjalan sedikit sekitar 500 meter ke arah barat, tepatnya di belakang kampung warga, terbentang hamparan hutan sagu seluas 1.600 hektare dengan 30 jenis tanaman sagu milik masyarakat Kampung Yoboi. Untuk menyusuri hutan sagu ini, pengunjung atau wisatawan bisa berjalan atau tracking di atas jembatan kayu sepanjang 420 meter.

Di sepanjang jalur tersedia tiga gazebo yang teduh dan dilengkapi dengan tempat duduk melingkar untuk beristirahat dan melepas penat sejenak.
Pintu masuk menuju hutan sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari
Untuk menuju Kampung Yoboi, pengunjung mesti menuju Dermaga Yahim terlebih dahulu. Perjalanan dari Bandara Sentani ke Dermaga Yahim memakan waktu kurang lebih 5-10 menit, kemudian dilanjutkan dengan menaiki perahu menuju Kampung Yoboi dengan biaya sekitar Rp10.000 per orang untuk sekali jalan, dengan waktu tempuh sekitar 5-10 menit apabila ombak tidak terlalu tinggi.

Pada September 2021 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Salahuddin Uno mengunjungi kampung ini setelah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu desa terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) bersama 49 desa lainnya. Kampung Yoboi termasuk salah satu destinasi wisata yang mengedepankan kearifan lokal dan mampu menjaga lingkungan secara berkelanjutan sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan.

Pohon sagu bagi masyarakat Kampung Yoboi memiliki nilai adat yang tinggi sehingga keberadaannya sangat dijaga, bahkan masih dianggap sakral oleh warga setempat. Salah satu tokoh masyarakat Kampung Yoboi, Solis Hanny Felle (51) atau yang akrab dipanggil Mama Hanny, mengatakan pohon sagu bahkan memiliki nilai adat tersendiri. Semakin di depan, tandanya pohon sagu semakin tinggi nilai adatnya mengingat hanya tokoh adat atau kepala suku yang boleh menebangnya untuk acara-acara adat tertentu.

“Mereka juga punya tanda untuk masing-masing pohon sagu yang ditanam, agar mereka bisa mengenali wilayahnya sebelum pohon sagu ditebang,” ujar Mama Hanny.

Hingga saat ini, ada lima marga yang tinggal di kawasan Kampung Yoboi, yakni Depondoye, Sokoy, Tokoro, Wally, dan Yom. Masing-masing marga memiliki hak milik atas sagu di kawasan hutan, yang ditandai dengan peletakan salah satu pohon sagu dengan ciri khas tertentu untuk membedakan dengan pohon lainnya.

Prinsip sagu yang berkelanjutan juga terus dipegang teguh oleh masyarakat Kampung Yoboi hingga saat ini. Untuk setiap kepala keluarga yang menebang pohon sagu, wajib menanam kembali demi keberlanjutan lingkungan di area hutan sagu agar tetap terjaga.
Seorang kepala keluarga, Nixon Depondoye, duduk di atas batang sagu yang telah dikuliti bersama ketiga orang anaknya yang juga turut membantu mengolah sagu di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada Selasa (29/8/2023). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari

Seorang warga Kampung Yoboi, Nixon Depondoye yang sedang mengolah sagu yang sudah ditebang bersama keluarganya pada Selasa (29/8), mengaku bersyukur bisa hidup di tengah hamparan sagu dan keindahan alam Danau Sentani bersama keluarganya. Pada hari itu, dirinya menebang satu pohon sagu untuk persediaan makanan selama setidaknya tiga hingga empat bulan ke depan karena satu pohon bisa menghasilkan 12 karung atau sekitar 15 kg sagu.

Selain digunakan sebagai makanan pokok, yakni papeda--makanan utama sebagian besar masyarakat Papua--, sagu juga bisa digunakan untuk bahan baku kue (tepung sagu). Adapun kulit sagu bisa dipakai untuk alas dan fondasi rumah. Selain itu, daun sagu kering dari pohon yang kuat bahkan bisa digunakan untuk menopang atap rumah.

“Daunnya bisa dipakai untuk atap, tadi sempat lihat di gazebo-gazebo ‘toh, itu pakai daun sagu, bisa tahan empat sampai enam tahun,” kata Nixon.
Pohon sagu yang sudah matang bisa ditandai dari bentuk pelepahnya (yang terletak di bagian atas pohon). Apabila bentuk pelepahnya masih lurus, tandanya pohon sagu belum bisa ditebang, jika pelepahnya sudah menjuntai dan sedikit miring ke bawah, tandanya pohon sagu sudah bisa ditebang.

Sebagian besar masyarakat Kampung Yoboi masih menggunakan cara tradisional untuk memeras ampas sagu, meskipun beberapa sudah memiliki mesin pemeras sehingga hasil olahan sagu bisa didapatkan lebih cepat.

Proses pengolahan sagu bisa memakan waktu satu hingga tiga hari, tergantung banyaknya batang sagu yang diolah. Apabila pohon sagu yang ditebang cukup besar, butuh waktu yang lebih panjang.
Seorang warga sedang mengaliri ampas sagu dengan air untuk diperas di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada Selasa (29/8/2023). ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari
Pertama-tama, setelah sagu ditebang, batangnya dikuliti, kemudian dipotong menjadi beberapa bagian. Kemudian, batang-batang sagu tersebut diserut menggunakan mesin. Hasil serutan batang sagu lalu disiram dengan air, kemudian diperas. Setelah itu, air perasan batang sagu ditampung dan dibiarkan mengering hingga muncul endapan-endapan. Hasil endapan inilah yang kemudian diolah menjadi berbagai jenis bahan panganan, mulai dari papeda hingga tepung untuk bahan kue.

Ampas sisa perasan sagu tidak dibuang begitu saja, tetapi dikumpulkan dan dibiarkan mengering di antara hutan sagu karena ampas inilah yang akan menjadi pupuk alami untuk menyuburkan pohon-pohon sagu.

“Ampas sagu juga biasa kita beri untuk makan babi, karena babi suka makan ampas sagu, jadi kita punya babi di sini itu sehat-sehat dan gemuk-gemuk semua,” tutur Nixon.

Selain sebagai sumber karbohidrat, pohon sagu yang sudah membusuk juga menjadi daya tarik bagi ulat sagu yang biasa menempel pada batang-batang pohon, dan diambil oleh masyarakat untuk dimakan atau dimasak karena memiliki sumber protein hewani yang cukup tinggi.

Berdasarkan data komposisi pangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam setiap 100 gram ulat sagu mentah dapat mengandung beberapa nutrisi, antara lain, protein sebesar 5,8 gram, lemak 21,6 gram, karbohidrat 5,8 gram, hingga serat 2,8 gram.

Kini, ulat sagu sudah banyak dijumpai di pasar-pasar di sekitar Danau Sentani atau seluruh wilayah Jayapura, dengan harga yang variatif, mulai dari Rp 40.000-50.000 per satu kilogram ulat sagu.
Pemandangan rumah-rumah yang dihubungkan dengan jembatan kayu warna-warni di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. ANTARA/Lintang Budiyanti Prameswari

Hutan sagu di Kampung Yoboi tak hanya menghidupi masyarakat di sekitar Danau Sentani tapi juga masyarakat Papua secara keseluruhan. Untuk itu, butuh dukungan dari seluruh masyarakat untuk turut menjaganya karena hutan sagu tersebut juga turut menghidupi ekosistem fauna seperti babi hutan, ular, dan berbagai jenis burung yang akan menjaga kelestarian lingkungan di Indonesia.
Jika masyarakat saling bergotong royong untuk menjaga kelestarian hutan sagu ini, ketahanan pangan masyarakat Papua secara otomatis juga dapat terus terjaga dengan baik untuk generasi mendatang.

Jadi, jangan pernah ragu selalu menanam sagu demi masa depan anak cucu.