Pada September 2021 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI Sandiaga Salahuddin Uno mengunjungi kampung ini setelah mendapatkan penghargaan sebagai salah satu desa terbaik Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) bersama 49 desa lainnya. Kampung Yoboi termasuk salah satu destinasi wisata yang mengedepankan kearifan lokal dan mampu menjaga lingkungan secara berkelanjutan sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan.
Pohon sagu bagi masyarakat Kampung Yoboi memiliki nilai adat yang tinggi sehingga keberadaannya sangat dijaga, bahkan masih dianggap sakral oleh warga setempat. Salah satu tokoh masyarakat Kampung Yoboi, Solis Hanny Felle (51) atau yang akrab dipanggil Mama Hanny, mengatakan pohon sagu bahkan memiliki nilai adat tersendiri. Semakin di depan, tandanya pohon sagu semakin tinggi nilai adatnya mengingat hanya tokoh adat atau kepala suku yang boleh menebangnya untuk acara-acara adat tertentu.
“Mereka juga punya tanda untuk masing-masing pohon sagu yang ditanam, agar mereka bisa mengenali wilayahnya sebelum pohon sagu ditebang,” ujar Mama Hanny.
Hingga saat ini, ada lima marga yang tinggal di kawasan Kampung Yoboi, yakni Depondoye, Sokoy, Tokoro, Wally, dan Yom. Masing-masing marga memiliki hak milik atas sagu di kawasan hutan, yang ditandai dengan peletakan salah satu pohon sagu dengan ciri khas tertentu untuk membedakan dengan pohon lainnya.
Seorang warga Kampung Yoboi, Nixon Depondoye yang sedang mengolah sagu yang sudah ditebang bersama keluarganya pada Selasa (29/8), mengaku bersyukur bisa hidup di tengah hamparan sagu dan keindahan alam Danau Sentani bersama keluarganya. Pada hari itu, dirinya menebang satu pohon sagu untuk persediaan makanan selama setidaknya tiga hingga empat bulan ke depan karena satu pohon bisa menghasilkan 12 karung atau sekitar 15 kg sagu.
Selain digunakan sebagai makanan pokok, yakni papeda--makanan utama sebagian besar masyarakat Papua--, sagu juga bisa digunakan untuk bahan baku kue (tepung sagu). Adapun kulit sagu bisa dipakai untuk alas dan fondasi rumah. Selain itu, daun sagu kering dari pohon yang kuat bahkan bisa digunakan untuk menopang atap rumah.
“Daunnya bisa dipakai untuk atap, tadi sempat lihat di gazebo-gazebo ‘toh, itu pakai daun sagu, bisa tahan empat sampai enam tahun,” kata Nixon.
Sebagian besar masyarakat Kampung Yoboi masih menggunakan cara tradisional untuk memeras ampas sagu, meskipun beberapa sudah memiliki mesin pemeras sehingga hasil olahan sagu bisa didapatkan lebih cepat.
Ampas sisa perasan sagu tidak dibuang begitu saja, tetapi dikumpulkan dan dibiarkan mengering di antara hutan sagu karena ampas inilah yang akan menjadi pupuk alami untuk menyuburkan pohon-pohon sagu.
“Ampas sagu juga biasa kita beri untuk makan babi, karena babi suka makan ampas sagu, jadi kita punya babi di sini itu sehat-sehat dan gemuk-gemuk semua,” tutur Nixon.
Selain sebagai sumber karbohidrat, pohon sagu yang sudah membusuk juga menjadi daya tarik bagi ulat sagu yang biasa menempel pada batang-batang pohon, dan diambil oleh masyarakat untuk dimakan atau dimasak karena memiliki sumber protein hewani yang cukup tinggi.
Berdasarkan data komposisi pangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dalam setiap 100 gram ulat sagu mentah dapat mengandung beberapa nutrisi, antara lain, protein sebesar 5,8 gram, lemak 21,6 gram, karbohidrat 5,8 gram, hingga serat 2,8 gram.
Hutan sagu di Kampung Yoboi tak hanya menghidupi masyarakat di sekitar Danau Sentani tapi juga masyarakat Papua secara keseluruhan. Untuk itu, butuh dukungan dari seluruh masyarakat untuk turut menjaganya karena hutan sagu tersebut juga turut menghidupi ekosistem fauna seperti babi hutan, ular, dan berbagai jenis burung yang akan menjaga kelestarian lingkungan di Indonesia.
Jadi, jangan pernah ragu selalu menanam sagu demi masa depan anak cucu.