Djoko Susilo didakwa perkaya diri sendiri Rp32 miliar
23 April 2013 20:02 WIB
Mantan Kepala Korps Lantas Kepolisian RI, Irjen Pol Djoko Susilo bersiap menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Selasa (23/4). Djoko merupakan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang proyek simulator ujian SIM di Korlantas Polri. (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus) ()
Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa kasus korupsi pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011, mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Irjen Pol Djoko Susilo didakwa memperkaya diri sebesar Rp32 miliar.
"Terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo bersama-sama dengan Didik Purnomo, Teddy Rusmawa, Budi Susanto dan Sukotjo Sastronegoro Bambang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yaitu memperkaya diri sebesar Rp32 miliar," kata ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Kemas Abdul Roni dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Selain Djoko, pihak lain yang menikmati uang tersebut adalah Wakil Korlantas Polri Brigjen Pol Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) senilai Rp50 juta, direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto sebesar Rp93,3 miliar, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) senilai Rp3,93 miliar, Prima Koperasi Kepolisian (Primkoppol) Mabes Polri sebesar Rp15 miliar, Wahyu Indra sebesar Rp500 juta, Gusti Ketut Gunawa senilai Rp50 juta, Darsian Rp50 juta dan Warsono Sugantoro alias Jumadi senilai Rp20 juta.
Sehingga dapat dijumlahkan kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp144,98 miliar.
Padahal nilai proyek tersebut totalnya adalah Rp200,56 miliar yang terdiri atas Rp56 miliar untuk simulator R2 sejumlah 700 unit dengan nilai masing-masing unit RP80 juta dan R4 senilai Rp144,56 miliar untuk 556 unit dan nilai perunit adalah Rp260 juta.
Djoko, menurut dakwaan jaksa, memerintahkan agar anggota tim pengadaan Ni Nyoman Suartini dan Kasubdit menyusun kebutuhan simulator dibantu dengan Sukotjo S Bambang atas perintah Budi Susanto melakukan perhitungan pengadaan simulator sehingga disetujui oleh Djoko dalam bentuk Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).
Dalam menyiapkan modal terkait pengadaan simulator tersebut, Budi Susanto mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar ke Bank BNI dengan menjaminkan surat perintah kerja (SPK) pengadaan simulator R2 dan R4 dan tanggung renteng dengan jaminan atas fasilitas kredit.
"Padahal saat pengajuan kredit tersebut SPK pengadaan simulator R2 dan R4 belum ada, namun terdakwa memberikan rekomendasi kepada Bank BNI atas pengajuan KPK dari Budi Susanto sebesar Rp100 miliar sebelum ada pengesahan pagu anggaran definitif Korlantas Polri 2011 dan pengumuman pemenang lelang pengadaan simulator," ungkap jaksa Roni.
Sebagai tindak lanjut persejutuan modal kerja tersebut, maka Budi Susanto mentransfer Rp35 miliar ke rekening PT ITI untuk direkturnya Sukotjo S Bambang, sedangkan pada 13 Januari 2011 Budi memerintahkan Sukotjo untuk mentransfer uang sebesar Rp8 miliar kepada Primkoppol Ditlantas Mabes Polri.
"Pada tanggal yang sama, Budi Susanto memerintahkan Sukotjo mengeluarkan dana Rp4 miliar dari PT ITI kemudian memberikan kepada Budi Susanto sebesar Rp2 miliar dan sisanya sebesar Rp2 miliar diperintahkan Budi Susanto diberikan kepada terdakwa," tambah Roni.
Sukotjo bersama Ijay Herno membawa uang sebesar Rp2 miliar ke kantor Korlantas Polri dan bertemu dengan sekretaris pribadi Djoko, Erna, namun Djoko saat itu tidak berada di tempat sehingga keduanya hanya menaruh kardus berisi uang tunai Rp2 miliar di bawah meja Erna.
Setelah mengantarkan uang, Sukotjo menemui anggota tim pengadaan Ni Nyoman Suartini dan menyampaikan bahwa paket untuk Kakor (Kakorlantas) sudah diantar.
Djoko juga disebut memerintahkan pencairan anggaran untuk pembayaran PT CMMA sebelum pekerjaan pengadaan simulator R2 selesai seluruhnya yaitu senilai Rp48,76 miliar.
Satu minggu setelah pencairan anggaran tersebut, Djoko memanggil Bendahara Korlantas Kompol Legimo ke ruangan yang sudah ada Budi Susanto dan Djoko mengatakan pada Legimo "Pak nanti ada titipan, sampeyan jangan pulang dulu sebelum saya pulang,".
"Pada sore hari, Wahyudi selaku staf Budi Susanto datang ke kantor Korlantas menemui Legimo dan menitipkan uang sekitar Rp30 miliar yang dibungkus dalam empat kardus diberikan kepada terdakwa dari Budi Santoso, kepada Legimo dan keesokan harinya Legimo menyerahkan empat kardus tersebut kepada terdakwa," jelas Roni.
"Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP," ungkap Roni.
Ancaman pidana atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara 4-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dan subsider dari pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ancaman pidana atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara 1-20 tahun dan pidana denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
"Terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo bersama-sama dengan Didik Purnomo, Teddy Rusmawa, Budi Susanto dan Sukotjo Sastronegoro Bambang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yaitu memperkaya diri sebesar Rp32 miliar," kata ketua jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Kemas Abdul Roni dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Selain Djoko, pihak lain yang menikmati uang tersebut adalah Wakil Korlantas Polri Brigjen Pol Didik Purnomo selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) senilai Rp50 juta, direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto sebesar Rp93,3 miliar, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) senilai Rp3,93 miliar, Prima Koperasi Kepolisian (Primkoppol) Mabes Polri sebesar Rp15 miliar, Wahyu Indra sebesar Rp500 juta, Gusti Ketut Gunawa senilai Rp50 juta, Darsian Rp50 juta dan Warsono Sugantoro alias Jumadi senilai Rp20 juta.
Sehingga dapat dijumlahkan kerugian negara yang ditimbulkan adalah Rp144,98 miliar.
Padahal nilai proyek tersebut totalnya adalah Rp200,56 miliar yang terdiri atas Rp56 miliar untuk simulator R2 sejumlah 700 unit dengan nilai masing-masing unit RP80 juta dan R4 senilai Rp144,56 miliar untuk 556 unit dan nilai perunit adalah Rp260 juta.
Djoko, menurut dakwaan jaksa, memerintahkan agar anggota tim pengadaan Ni Nyoman Suartini dan Kasubdit menyusun kebutuhan simulator dibantu dengan Sukotjo S Bambang atas perintah Budi Susanto melakukan perhitungan pengadaan simulator sehingga disetujui oleh Djoko dalam bentuk Rencana Kegiatan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL).
Dalam menyiapkan modal terkait pengadaan simulator tersebut, Budi Susanto mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar ke Bank BNI dengan menjaminkan surat perintah kerja (SPK) pengadaan simulator R2 dan R4 dan tanggung renteng dengan jaminan atas fasilitas kredit.
"Padahal saat pengajuan kredit tersebut SPK pengadaan simulator R2 dan R4 belum ada, namun terdakwa memberikan rekomendasi kepada Bank BNI atas pengajuan KPK dari Budi Susanto sebesar Rp100 miliar sebelum ada pengesahan pagu anggaran definitif Korlantas Polri 2011 dan pengumuman pemenang lelang pengadaan simulator," ungkap jaksa Roni.
Sebagai tindak lanjut persejutuan modal kerja tersebut, maka Budi Susanto mentransfer Rp35 miliar ke rekening PT ITI untuk direkturnya Sukotjo S Bambang, sedangkan pada 13 Januari 2011 Budi memerintahkan Sukotjo untuk mentransfer uang sebesar Rp8 miliar kepada Primkoppol Ditlantas Mabes Polri.
"Pada tanggal yang sama, Budi Susanto memerintahkan Sukotjo mengeluarkan dana Rp4 miliar dari PT ITI kemudian memberikan kepada Budi Susanto sebesar Rp2 miliar dan sisanya sebesar Rp2 miliar diperintahkan Budi Susanto diberikan kepada terdakwa," tambah Roni.
Sukotjo bersama Ijay Herno membawa uang sebesar Rp2 miliar ke kantor Korlantas Polri dan bertemu dengan sekretaris pribadi Djoko, Erna, namun Djoko saat itu tidak berada di tempat sehingga keduanya hanya menaruh kardus berisi uang tunai Rp2 miliar di bawah meja Erna.
Setelah mengantarkan uang, Sukotjo menemui anggota tim pengadaan Ni Nyoman Suartini dan menyampaikan bahwa paket untuk Kakor (Kakorlantas) sudah diantar.
Djoko juga disebut memerintahkan pencairan anggaran untuk pembayaran PT CMMA sebelum pekerjaan pengadaan simulator R2 selesai seluruhnya yaitu senilai Rp48,76 miliar.
Satu minggu setelah pencairan anggaran tersebut, Djoko memanggil Bendahara Korlantas Kompol Legimo ke ruangan yang sudah ada Budi Susanto dan Djoko mengatakan pada Legimo "Pak nanti ada titipan, sampeyan jangan pulang dulu sebelum saya pulang,".
"Pada sore hari, Wahyudi selaku staf Budi Susanto datang ke kantor Korlantas menemui Legimo dan menitipkan uang sekitar Rp30 miliar yang dibungkus dalam empat kardus diberikan kepada terdakwa dari Budi Santoso, kepada Legimo dan keesokan harinya Legimo menyerahkan empat kardus tersebut kepada terdakwa," jelas Roni.
"Atas perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP," ungkap Roni.
Ancaman pidana atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara 4-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Dan subsider dari pasal 3 jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Ancaman pidana atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara 1-20 tahun dan pidana denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
Pewarta: Desca
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013
Tags: