Hal tersebut dialaminya sejak 2005, saat dokter memvonis dia mengidap kanker paru-paru stadium 3B, yang untuk menyembuhkannya, harus dilakukan operasi pengangkatan bagian paru-paru yang terinfeksi sel kanker.
Pada saat itu, tidak ada yang menyangka kalau Berthie mengidap kanker paru, lantaran dirinya yang kala itu merupakan kapten timnas softball, di era 1980-1990-an, memiliki kebiasaan olahraga rutin hingga mampu menjaga kondisi fisiknya yang atletis, meskipun sudah berumur.
Namun, kebiasaan tersebut tidak mampu membendung sejumlah zat-zat berbahaya yang terkandung pada rokok, yang dikonsumsi oleh Berthie. Kala itu, dia dikenal sebagai laki-laki perokok berat.
Berthie mengaku dalam sehari dia mampu menghabiskan hingga tiga bungkus rokok. Kebiasaan tersebut membuatnya begitu candu terhadap rokok, bahkan tergolong pecandu berat.
Pada saat dia harus bertanding ke luar negeri, dirinya mengupayakan berbagai cara supaya dapat menyembunyikan rokok, demi dapat membawanya lolos dari pemeriksaan petugas di negara tujuan, dan bisa menikmati rokoknya di sela-sela pertandingan.
Lambat laun, akibat kebiasaannya tersebut berubah menjadi sel kanker yang mematikan. Penyakit kanker paru-paru yang dikenal sebagai silent killer itu juga bersarang di tubuh Berthie, dan mengharuskannya hidup dengan satu paru-paru hingga sekarang.
Perbedaan yang dirasakannya, salah satunya adalah kesulitan dalam bernafas seperti biasa, serta terasa menjadi lebih cepat capek.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Berthie juga menderita penyakit kanker usus. Menghadapi fakta tersebut, Berthie berusaha tabah, dan tetap berikhtiar melalui kemoterapi.
Pada saat itu, Berthie bernazar bahwa hingga akhir hayatnya, dia akan senantiasa berbuat baik, salah satunya adalah dengan menyemangati para pasien kanker agar tidak patah semangat dalam menjalani hidup.
Sejak 2006, Berthie memanfaatkan waktunya untuk bercerita dan menyemangati para pasien kanker di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, yang menjadi Pusat Kanker Nasional. Kebiasaan tersebut terus dilakukannya hingga pandemi COVID-19 menyerang, yang tak menghalanginya untuk berbagi cerita dengan para pasien.
Dengan waktu yang semakin bergulir, Berthie pun sadar bahwa Tuhan memberikannya kesempatan lebih, hingga sekitar 17 tahun lebih dirinya hidup di dunia pascaoperasi paru-paru yang dijalaninya. Kenyataan itu jauh melampaui perkiraan dokter yang hanya satu tahun.
Oleh karena itu, Berthie yang kini menjadi Ketua Koordinator Survivors Yayasan Kanker Indonesia berpesan kepada para perokok agar meninggalkan kebiasaan merokok.
Kendati demikian, Berthie menyadari bahwa hal tersebut memang sulit. Menurutnya, perokok bagaikan seorang yang bodoh dan buta huruf, lantaran sejumlah imbauan yang bahkan tertera saat rokok tersebut dibeli, serta sejumlah kasus terkait kesehatan, seperti yang dialaminya, kerap diabaikan oleh para perokok.
Untuk itu, Berthie menyarankan agar para perokok memikirkan motivasi lainnya untuk dapat berhenti merokok, seperti faktor keluarga, agar dapat berhenti merokok sebelum "diberhentikan" hidupnya oleh rokok.
Saat ini, terdapat sejumlah 70 juta masyarakat Indonesia yang mengonsumsi tembakau, dengan 68,9 juta di antaranya yang merupakan perokok aktif.
Kebiasaan merokok di kalangan masyarakat bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi perokok pada usia 10 hingga 18 tahun berjumlah 7,2 persen, naik menjadi 9,1 persen pada 2018.
Berdasarkan penelitian, Indonesia sendiri memiliki rataan usia pengidap kanker paru-paru lima sampai sepuluh tahun lebih muda dibandingkan dengan luar negeri.
Tembakau juga berpengaruh kepada tahun hidup yang disesuaikan dengan disabilitas atau disability-adjusted life years (DALYs) sebanyak 64,99 persen, serta berpengaruh pada 66,52 persen kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paru-paru.
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2021 melaporkan pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok tiga kali lebih banyak daripada pengeluaran untuk belanja protein, dimana belanja rokok menempati porsi pengeluaran terbesar kedua di rumah tangga miskin sebesar 11,9 persen, baik di rumah tangga perkotaan maupun perdesaan.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan sebagian besar pasien kanker di Indonesia memeriksakan dirinya saat kanker sudah dalam stadium lanjut. Hal tersebut juga mengakibatkan pembiayaan yang dihabiskan untuk mengobati kanker lebih banyak, dibandingkan dengan pengobatan pada stadium awal.
Pada 2020-2021, pembiayaan yang diakibatkan oleh kanker menduduki peringkat kedua terbesar pada pembiayaan yang dilakukan BPJS dengan memakan anggaran sekitar Rp3,5 triliun. Untuk kanker paru-paru sendiri, menghabiskan anggaran sebesar Rp73 miliar.