MK tolak uji masa jabatan ketum parpol 10 tahun
30 Agustus 2023 17:53 WIB
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) berbincang dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra (kiri) saat memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/8/2023). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan keterangan ahli pihak terkait Perludem dan keterangan pihak terkait lainnya. ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian materiil Pasal 2 ayat (1b) dan 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
“Amar putusan: mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung MK RI, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Rabu.
MK dalam pertimbangannya menyatakan setelah Mahkamah mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, khususnya pada bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) yang pada intinya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol, “Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain”.
Hal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pendiri dan Pengurus Partai Politik dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik lain, dan Pengurus Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”.
“Terhadap petitum a quo, setelah Mahkamah mencermati telah ternyata Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 merupakan bagian dari Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik. Sementara itu, persoalan yang diminta oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab IX mengenai Kepengurusan," ujar kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic membacakan pertimbangan hukum MK.
Apabila Mahkamah mengikuti keinginan para Pemohon untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011, sambung Daniel, pemaknaan baru tersebut bukan merupakan bagian dari norma yang mengatur tentang pembentukan partai politik.
"Seandainya pemaknaan baru yang dimohonkan tersebut dimuat dalam Bab II, disadari atau tidak, hal demikian akan mengubah struktur dan substansi yang diatur dalam Bab II,” ucapnya.
Daniel melanjutkan, pemaknaan baru tersebut semakin sulit untuk dibenarkan karena para Pemohon menghendaki agar pengurus partai politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Hal demikian menunjukkan adanya pertentangan antara alasan-alasan mengajukan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan (petitum), sebagaimana hubungan antara posita dan petitum yang diatur dalam Pasal 74 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Oleh karena itu, permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas (kabur),” tegas Daniel.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 75/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) diajukan oleh tiga warga Papua bernama Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus O. Magai.
Para Pemohon mempersoalkan norma Pasal 2 ayat (1b) UU Pemilu yang menyatakan, “Pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai politik lain.”
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (27/7/2023), para Pemohon melalui kuasa hukum Rustina Haryati mengatakan ketentuan Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol harusnya diberikan suatu pemaknaan yang jelas, lengkap, dan komprehensif.
Intinya bahwa selain tidak boleh merangkap sebagai anggota partai politik lain, pemimpin partai politik juga harus dibatasi masa jabatannya untuk suatu periodisasi waktu tertentu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi anggota partai politik untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi kemajuan partai politik tempatnya bernaung.
Menurut para Pemohon, ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik dalam Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik menciptakan ketiadaan kesempatan yang sama bagi anggota partai politik untuk menjadi pimpinan/pengurus partai politik yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 membiarkan proses pemilihan regenerasi dan penggantian ketua umum, pimpinan dan pengurus partai politik hanya digantungkan kepada ketentuan AD/ART,” tegasnya.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1b) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang masa jabatan pendiri dan pengurus partai politik ditetapkan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam masa jabatan yang sama, baik secaa berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Baca juga: Ketua MK pastikan independen putus batas usia capres-cawapres
Baca juga: Bivitri: Batas usia capres dan cawapres bukan isu konstitusional
“Amar putusan: mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung MK RI, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Rabu.
MK dalam pertimbangannya menyatakan setelah Mahkamah mencermati secara saksama permohonan para Pemohon, khususnya pada bagian hal-hal yang diminta untuk diputus (petitum) yang pada intinya memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol, “Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain”.
Hal ini dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Pendiri dan Pengurus Partai Politik dilarang merangkap jabatan sebagai anggota partai politik lain, dan Pengurus Partai Politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut”.
“Terhadap petitum a quo, setelah Mahkamah mencermati telah ternyata Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011 merupakan bagian dari Bab II mengenai Pembentukan Partai Politik. Sementara itu, persoalan yang diminta oleh para Pemohon merupakan bagian dari Bab IX mengenai Kepengurusan," ujar kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic membacakan pertimbangan hukum MK.
Apabila Mahkamah mengikuti keinginan para Pemohon untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 2 ayat (1b) UU 2/2011, sambung Daniel, pemaknaan baru tersebut bukan merupakan bagian dari norma yang mengatur tentang pembentukan partai politik.
"Seandainya pemaknaan baru yang dimohonkan tersebut dimuat dalam Bab II, disadari atau tidak, hal demikian akan mengubah struktur dan substansi yang diatur dalam Bab II,” ucapnya.
Daniel melanjutkan, pemaknaan baru tersebut semakin sulit untuk dibenarkan karena para Pemohon menghendaki agar pengurus partai politik memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 (satu) kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Hal demikian menunjukkan adanya pertentangan antara alasan-alasan mengajukan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan (petitum), sebagaimana hubungan antara posita dan petitum yang diatur dalam Pasal 74 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
“Oleh karena itu, permohonan para Pemohon menjadi tidak jelas (kabur),” tegas Daniel.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 75/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) diajukan oleh tiga warga Papua bernama Muhammad Helmi Fahrozi, E. Ramos Petege, dan Leonardus O. Magai.
Para Pemohon mempersoalkan norma Pasal 2 ayat (1b) UU Pemilu yang menyatakan, “Pendiri dan pengurus partai politik dilarang merangkap sebagai anggota partai politik lain.”
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (27/7/2023), para Pemohon melalui kuasa hukum Rustina Haryati mengatakan ketentuan Pasal 2 ayat (1b) UU Parpol harusnya diberikan suatu pemaknaan yang jelas, lengkap, dan komprehensif.
Intinya bahwa selain tidak boleh merangkap sebagai anggota partai politik lain, pemimpin partai politik juga harus dibatasi masa jabatannya untuk suatu periodisasi waktu tertentu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi anggota partai politik untuk memberikan sumbangsih dan kontribusi bagi kemajuan partai politik tempatnya bernaung.
Menurut para Pemohon, ketiadaan pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik dalam Pasal 2 ayat (1b) UU Partai Politik menciptakan ketiadaan kesempatan yang sama bagi anggota partai politik untuk menjadi pimpinan/pengurus partai politik yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Pasal 2 ayat (1) UU 2/2011 membiarkan proses pemilihan regenerasi dan penggantian ketua umum, pimpinan dan pengurus partai politik hanya digantungkan kepada ketentuan AD/ART,” tegasnya.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1b) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang masa jabatan pendiri dan pengurus partai politik ditetapkan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam masa jabatan yang sama, baik secaa berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Baca juga: Ketua MK pastikan independen putus batas usia capres-cawapres
Baca juga: Bivitri: Batas usia capres dan cawapres bukan isu konstitusional
Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2023
Tags: