Jakarta (ANTARA) - Head of Mandiri Institute Teguh Wicaksono menyebutkan ada berbagai risiko yang dihadapi Indonesia untuk dapat merealisasikan target penerimaan pajak Rp1.986,9 triliun pada tahun 2024, yang pertama berasal dari faktor eksternal yang akan mempengaruhi perekonomian nasional Indonesia.
“Kalau kita lihat geopolitik belum stabil, kalau lihat perang Rusia - Ukraina itu belum jelas. Kemudian salah satu mercenary dari Rusia juga pesawatnya jatuh. Kita belum melihat tanda tanda mereda,” kata Teguh dalam acara diskusi yang bertajuk ‘Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita Dalam RAPBN 2024?’ di Jakarta, Selasa.
Kemudian risiko kedua yang dapat berdampak bagi penerimaan pajak Indonesia yaitu inflasi yang relatif tinggi disertai dengan kebijakan suku bunga dari AS yang masih tertekan. Risiko ketiga, masih adanya ancaman krisis perbankan di AS yang dapat menimbulkan efek domino terhadap ekonomi Indonesia.
“Kalau kita ingat di awal tahun lalu, ketika The Fed menaikkan suku bunga sangat agresif, ada tiga bank yang collapse pada saat itu, walaupun banknya relatif kecil, dalam artian banknya bank lokal regional,” ujarnya.
Keempat, adanya perlambatan perekonomian global yang tercermin dari resesi di berbagai negara. Hal itu terutama terjadi pada negara-negara maju, salah satunya China yang akan mempengaruhi permintaan produk-produk ekspor.
Kemudian risiko kelima, perlambatan pertumbuhan ekonomi indonesia. Keenam, adanya risiko inflasi dan suku bunga Bank Indonesia (BI) yang tergolong masih tinggi.
“Yang terakhir adalah, karena resesi global sudah terjadi, kemudian berdampak pada eksternal demand di Indonesia, tren surplus kita makin lama makin turun, kemarin defisit. Itu yang menunjukkan sebetulnya beberapa resiko yang akan kita hadapi ke depan," jelas Teguh.
Adapun Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati telah menargetkan penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 sebesar Rp1.986,9 triliun, tumbuh 9,3 persen dari outlook penerimaan pajak 2023 yang sebesar Rp1.818,2 triliun.
Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan, untuk mampu mencapai target penerimaan pajak tahun depan, pihaknya akan menjalankan berbagai strategi kebijakan teknis pajak tahun 2024 yang meliputi, pertama, optimalisasi perluasan basis perpajakan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Strategi itu diimpelementasi melalui tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan penerapan NIK sebagai NPWP.
Kedua, penguatan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan. Penguatan dilakukan melalui implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4), dan prioritas pengawasan atas wajib pajak High Wealth Individual (HWI).
Strategi ketiga, optimalisasi implementasi core tax system melalui perbaikan layanan perpajakan, pengelolaan data yang berbasis risiko, dan tindak lanjut kegiatan interoperabilitas data pihak ketiga.
“Keempat, kegiatan penegakan hukum yang berkeadilan. Ini dengan optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics,” jelas Yon Arsal.
Serta strategi yang kelima, Kemenkeu akan menerapkan insentif fiskal yang terarah dan terukur.
Baca juga: Target penerimaan pajak RAPBN 2024 dinilai masih realistis
Baca juga: Menkeu: Target penerimaan pajak RAPBN 2024 capai Rp1.986,9 triliun
Baca juga: Penerimaan pajak capai Rp1.109,1 triliun hingga Juli 2023
Head of Mandiri Institute soroti berbagai risiko penerimaan pajak RI
29 Agustus 2023 23:04 WIB
Head of Mandiri Institute Teguh Wicaksono dalam acara diskusi bertajuk 'Arah Kebijakan Pajak RAPBN 2024' di Jakarta, Selasa (29/8/2023)
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023
Tags: