Pakar: Penanganan banjir baru sebatas pada sisi gejala
26 Agustus 2023 19:12 WIB
Pekerja mengoperasikan ekskavator untuk mengeruk sedimentasi pada Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta, Jumat (25/8/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc. (ADITYA PRADANA PUTRA/ADITYA PRADANA PUTRA)
Semarang (ANTARA) - Pakar lingkungan Universitas Diponegoro Semarang Prof Sudharto P Hadi menilai bahwa penanganan banjir di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Kota Semarang masih sebatas menanggulangi pada sisi gejala.
"Banjir ini kan tidak hanya Semarang ya, hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Ada di Jakarta, Bandung juga. Umumnya, baru ditanggulangi dari sisi gejalanya atau fenomena di hilir," katanya di Semarang, Sabtu.
Baca juga: BAZNAS terjunkan tim bantu penanganan korban banjir di Padang
Penanganan gejala yang dimaksudkannya, antara lain normalisasi sungai dan penguatan tanggul sungai yang sebenarnya merupakan upaya untuk menambah kapasitas atau daya tampung air di hilir.
Ia menganalogikan dengan penanganan kemacetan lalu lintas melalui penambahan dan perluasan lebar jalan yang tujuannya untuk meningkatkan daya tampung jalan, tetapi sumber kemacetannya belum tersentuh.
"Padahal, perkara banjir ini ya. Sumbernya kan alih fungsi lahan. Itu ada di hulu dan tengah, mesti pengendalian tata ruang," kata penerima tanda kehormatan Bintang Tanda Jasa Pratama tersebut.
Baca juga: Kota Semarang dapat dukungan dari Belanda tangani banjir
Diakui mantan Rektor Undip tersebut, pengendalian tata ruang belum dilakukan secara tegas, padahal lingkungan perlu ditata, dan jika ada kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan bisa dihentikan.
Menurut dia, pengendalian tata ruang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjaga kelestarian lingkungan.
"Di dalam Pasal 17 UU 32/2009 disebutkan bahwa kegiatan yang menimbulkan terlampaunya daya dukung lingkungan harus dihentikan. Kegiatan apapun, termasuk investasi sekalipun," katanya.
Baca juga: Gerak cepat pemerintah tangani banjir lahar dingin Semeru di Lumajang
Selain itu, Sudharto mengingatkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan pemerintah daerah sendirian, sebab pengelolaan lingkungan berbasis ekosistem yang memerlukan koordinasi antardaerah.
"Kota Semarang tidak bisa menyelesaikan sendiri. Makanya, harus bersama-sama dengan Ungaran (Kabupaten Semarang). Selama ini langkahnya (penanganan) kan menukik ke fenomena banjir," katanya.
Baca juga: Pemprov Jatim maksimalkan penanganan banjir lahar dingin Lumajang
Akibatnya, kata Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip tersebut, fenomena banjir yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, baik dari intensitas maupun luasan wilayah yang terdampak.
"Perlu dilakukan 're-mapping'. Mana untuk ruang terbuka, mana yang tidak boleh dibangun. Jadi, pembangunan dilakukan menyesuaikan dengan alam, bukan memaksa alam," kata Sudharto.
Baca juga: Jaksel bangun saluran air 2.400 meter untuk penanggulangan banjir
Baca juga: BNPB beri bantuan Rp250 juta untuk penanganan banjir Parigi Moutong
"Banjir ini kan tidak hanya Semarang ya, hampir seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Ada di Jakarta, Bandung juga. Umumnya, baru ditanggulangi dari sisi gejalanya atau fenomena di hilir," katanya di Semarang, Sabtu.
Baca juga: BAZNAS terjunkan tim bantu penanganan korban banjir di Padang
Penanganan gejala yang dimaksudkannya, antara lain normalisasi sungai dan penguatan tanggul sungai yang sebenarnya merupakan upaya untuk menambah kapasitas atau daya tampung air di hilir.
Ia menganalogikan dengan penanganan kemacetan lalu lintas melalui penambahan dan perluasan lebar jalan yang tujuannya untuk meningkatkan daya tampung jalan, tetapi sumber kemacetannya belum tersentuh.
"Padahal, perkara banjir ini ya. Sumbernya kan alih fungsi lahan. Itu ada di hulu dan tengah, mesti pengendalian tata ruang," kata penerima tanda kehormatan Bintang Tanda Jasa Pratama tersebut.
Baca juga: Kota Semarang dapat dukungan dari Belanda tangani banjir
Diakui mantan Rektor Undip tersebut, pengendalian tata ruang belum dilakukan secara tegas, padahal lingkungan perlu ditata, dan jika ada kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan bisa dihentikan.
Menurut dia, pengendalian tata ruang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjaga kelestarian lingkungan.
"Di dalam Pasal 17 UU 32/2009 disebutkan bahwa kegiatan yang menimbulkan terlampaunya daya dukung lingkungan harus dihentikan. Kegiatan apapun, termasuk investasi sekalipun," katanya.
Baca juga: Gerak cepat pemerintah tangani banjir lahar dingin Semeru di Lumajang
Selain itu, Sudharto mengingatkan bahwa penanganan banjir tidak bisa dilakukan pemerintah daerah sendirian, sebab pengelolaan lingkungan berbasis ekosistem yang memerlukan koordinasi antardaerah.
"Kota Semarang tidak bisa menyelesaikan sendiri. Makanya, harus bersama-sama dengan Ungaran (Kabupaten Semarang). Selama ini langkahnya (penanganan) kan menukik ke fenomena banjir," katanya.
Baca juga: Pemprov Jatim maksimalkan penanganan banjir lahar dingin Lumajang
Akibatnya, kata Guru Besar Manajemen Lingkungan Undip tersebut, fenomena banjir yang terjadi dari tahun ke tahun semakin besar, baik dari intensitas maupun luasan wilayah yang terdampak.
"Perlu dilakukan 're-mapping'. Mana untuk ruang terbuka, mana yang tidak boleh dibangun. Jadi, pembangunan dilakukan menyesuaikan dengan alam, bukan memaksa alam," kata Sudharto.
Baca juga: Jaksel bangun saluran air 2.400 meter untuk penanggulangan banjir
Baca juga: BNPB beri bantuan Rp250 juta untuk penanganan banjir Parigi Moutong
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2023
Tags: