Telaah
Menunggu aksi nyata BRICS jadi penyeimbang tatanan global
Oleh Jafar M Sidik
24 Agustus 2023 14:52 WIB
Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden China Xi Jinping, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, Perdana Menteri India Narendra Modi dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov berpose bersama dalam KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 23 Agustus 2023. (REUTERS/ALET PRETORIUS)
Jakarta (ANTARA) - Sejak lama tata kelola perekonomian dunia dan sistem pengambilan keputusan global didikte oleh Kelompok G7 yang terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Jepang.
Namun dalam satu dasawarsa terakhir, ada blok lain yang menggugat dominasi mereka, yakni BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Dari sisi ekonomi, BRICS lebih besar dibandingkan dengan G7,
Menurut IMF, kelima negara BRICS total menguasai 32,1 persen PDB dunia pada 2023. Angka itu naik dibandingkan 1995 pada 16,9 persen, dan lebih besar dari pangsa G7 yang mencapai 29,9 persen.
Dari perspektif demografis, dengan total penduduk 3,5 miliar atau 41 persen dari total penduduk dunia, BRICS jauh lebih besar dibandingkan G7.
Ironisnya, BRICS dilahirkan dari prakarsa praktisi investasi global.
Adalah kepala aset manajemen bank investasi Goldman Sachs, Jim O'Neill, yang pertama mencetuskan akronim itu pada 2001.
O'Neill dan para analis keuangan dunia terpesona oleh postur besar ekonomi China, Rusia, India dan Brazil, serta terhadap prospek negara-negara itu menjadi kekuatan baru ekonomi dunia.
Tujuan O'Neill menciptakan akronim itu adalah untuk mengidentifikasi wilayah keuangan paling prospektif bagi investor global.
Namun kemudian istilah itu diadopsi keempat negara untuk saling merangkul dan akhirnya mengikatkan diri dalam wadah bernama sama, BRIC.
Manuver mereka dalam mengikatkan diri pun tak diawali dari forum ekonomi, melainkan dari meja diplomasi, ketika para menteri luar negeri Brazil, Rusia, India, dan China bertemu di New York pada September 2006, di sela sidang Majelis Umum PBB.
Baru pada 16 Juni 2009, keempat negara menggelar pertemuan tingkat tinggi pertamanya di Yekaterinburg, Rusia.
KTT itu dihadiri lengkap oleh pemimpin-pemimpin mereka saat itu, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan Singh, dan Presiden China Hu Jintao.
Afrika Selatan baru bergabung pada 2010, untuk mengubah nama kelompok ini menjadi "BRICS" dari semula "BRIC".
Setelah itu, pertemuan tingkat tinggi reguler diadakan oleh mereka, sampai terakhir digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, dari 22 sampai 24 Agustus 2023.
KTT BRICS 2023 digelar dalam suasana dunia yang sangat tegang akibat perang di Ukraina dan kompetisi spektrum penuh antara China dan Amerika Serikat. Tapi justru itu membuat dunia bergairah mengikutinya.
"Pertemuan para pemimpin BRICS kali ini tak biasanya mendapatkan perhatian luas dari dunia," tulis The Washington Post dalam editorial awal pekan ini.
Syarat ketat anggota BRICS
Isu paling mengemuka dalam KTT Johannesburg yang dihadiri Presiden Brazil Lula da Silva, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, adalah perluasan keanggotaan BRICS.
Menurut pemerintah Afrika Selatan, sekitar 40 negara mengungkapkan minat bergabung dengan BRICS. 20 negara antaranya sudah mengajukan permohonan resmi menjadi anggota.
Pada Rabu, 23 Agustus 2023, Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor mengungkapkan bahwa kelima negara akhirnya menyepakati mekanisme bagi keanggotaan baru BRICS.
Sebelum itu, terjadi tarik ulur, antara Brazil dan India di satu pihak, dengan China, Rusia dan Afrika Selatan di pihak lainnya.
India tak ingin blok ini sembarangan mengundang negara lain menjadi anggota baru.
Menurut India, harus ada syarat ketat sebelum sebuah negara menjadi anggota baru BRICS. Salah satu syarat itu adalah minimum Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan cara ini, India tak ingin ada ketimpangan di dalam BRICS, sehingga anggota yang lebih kuat mengooptasi anggota yang lebih lemah.
India ingin semua sejajar dan tak ingin BRICS menjadi lengan kepentingan salah satu anggota.
Pesan India itu mplisit ditujukan kepada China yang saat ini pun sudah menjadi kekuatan dominan di BRICS yang terlihat dari PDB-nya yang menyumbang 70 persen bagi total PDB BRICS.
.
Akan halnya Brazil, negara ini menginginkan blok ini fokus terlebih dahulu kepada formasi sebelum mengundang anggota baru agar konsensus yang sebelum ini sulit dicapai tidak menjadi semakin sulit dicapai oleh karena semakin banyaknya anggota.
Sebaliknya, China, Rusia, dan Afrika Selatan ingin segera mewujudkan perluasan BRICS.
Afrika Selatan ingin memasukkan sejumlah negara Afrika, sedangkan China dan Rusia ingin menggunakan BRICS sebagai kutub geopolitik baru yang menjadi alternatif untuk tatanan global yang dibentuk Barat yang memang sudah sangat merongrong mereka.
Brazil dan India menolak sikap China dan Rusia itu karena tak ingin BRICS mempersempit opsi kerja sama dengan dunia lain, termasuk Barat, apalagi, saat ini, baik India maupun Brazil, tengah dekat dengan Amerika Serikat, dengan alasannya masing-masing.
Sikap sulit untuk satu kata itu menjadi warna dominan dalam 14 tahun perjalanan BRICS sejauh ini.
Kecuali Bank Pembangunan Baru (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA), BRICS kerap tak sepakat dalam membumikan gagasan-gagasan mereka, termasuk independensi terhadap Barat, mata uang bersama dan dedolarisasi.
Bahkan, mekanisme keanggotaan baru BRICS yang bakal menjadi butir penting dalam kesepakatan KTT Johannesburg, harus melewati dulu debat yang alot.
China dan India, misalnya, kendati sering seirama di berbagai forum global, tak pernah benar-benar akrab, akibat sengketa perbatasan di antara mereka.
Harus lebih aplikatif
Realitas-realitas seperti itulah yang membuat sejumlah pihak di Barat, tak begitu mengkhawatirkan BRICS, walau anggotanya bakal bertambah, sehingga membuat skala kekuatannya semakin besar.
"Ini adalah kumpulan negara yang sangat beragam dengan pandangan yang juga beragam dalam isu-isu yang sangat penting," kata Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat, Jake Sullivan, seperti dikutip Reuters.
Harian ekonomi Financial Times, bahkan menyebut BRICS forum yang longgar, yang tak sekuat G7, karena BRICS jauh lebih heterogen, sehingga chemistry di antara mereka tak sekuat G7, termasuk dalam soal politik.
Contohnya, sistem politik Rusia dan China yang lebih otoritarian, adalah antitesis dari demokrasi liberal yang dirangkul Brazil, India dan Afrika Selatan.
Negara-negara BRICS juga memiliki skala ekonomi yang berbeda jomplang satu sama lain, termasuk antara China dan Afrika Selatan yang bagai Bumi dan Langit.
Mereka juga mempunyai pemerintahan dengan tujuan kebijakan luar negeri yang berbeda satu sama lain.
Realitas-realitas ini acap membuat BRICS sulit mengambil keputusan bersama dan konsensus.
Tapi bisa saja kritik semacam ini adalah bentuk sinisme Barat yang khawatir kemunculan pemain baru dalam panggung global bakal meruntuhkan dominasi mereka.
Walaupun demikian, tetap saja, heterogenitas ini harus diakali oleh BRICS.
Dalam kaitan ini, terpaku kepada upaya menjadikan BRICS sebagai alternatif untuk dominasi Barat justru bisa mempersulit blok ini dalam bertindak, karena hanya membuat BRICS menjadi kelompok yang lebih sering beretorika, ketimbang mengambil langkah bersama yang berdampak kepada dunia.
Sebaliknya, fokus kepada apa yang dimiliki dan tak dimiliki masing-masing anggota BRICS, untuk kemudian bersepakat pada bidang yang menjadi irisan kepentingan semua anggota, bisa membuat BRICS semakin kuat.
Kompromi menjadi jalan utama, seperti dianjurkan secara implisit oleh India dan Brazil yang enggan mengonversi BRICS menjadi blok geopolitik baru. Justru, pendekatan yang dimajukan India bisa membuat BRICS semakin kuat.
Pandangan India itu sendiri sejak lama dipraktikkan negara-negara dan kawasan-kawasan, seperti Indonesia dan ASEAN, yang merangkul pihak-pihak mana pun, kendati pihak-pihak itu berseteru satu sama lain.
Tetapi dengan cara itu, ASEAN menjadi mendapatkan banyak pilihan yang membuatnya lebih sulit ditarik-tarik oleh kekuatan hegemoni dunia mana pun.
Mungkin banyak negara yang menginginkan BRICS berjalan seperti diharapkan India dan sudah dipraktikkan ASEAN itu.
Negara-negara, seperti Argentina, Arab Saudi, atau bahkan Indonesia, yang di Johannesburg hadir sebagai salah satu undangan melalui Presiden Joko Widodo, mungkin juga berharap BRICS menjadi medium yang membuat mereka semakin otonom dan mendapatkan pilihan lebih banyak dalam memburu kepentingan nasionalnya.
Ini antitesis dari forum-forum ciptaan Barat, yang semestinya menjadi semangat BRICS.
Tapi itu semua tetap harus aplikatif agar BRICS sungguh menjadi penyeimbang tatanan global dan tambatan bagi mereka yang terpinggirkan, seperti "Global South".
Namun dalam satu dasawarsa terakhir, ada blok lain yang menggugat dominasi mereka, yakni BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan).
Dari sisi ekonomi, BRICS lebih besar dibandingkan dengan G7,
Menurut IMF, kelima negara BRICS total menguasai 32,1 persen PDB dunia pada 2023. Angka itu naik dibandingkan 1995 pada 16,9 persen, dan lebih besar dari pangsa G7 yang mencapai 29,9 persen.
Dari perspektif demografis, dengan total penduduk 3,5 miliar atau 41 persen dari total penduduk dunia, BRICS jauh lebih besar dibandingkan G7.
Ironisnya, BRICS dilahirkan dari prakarsa praktisi investasi global.
Adalah kepala aset manajemen bank investasi Goldman Sachs, Jim O'Neill, yang pertama mencetuskan akronim itu pada 2001.
O'Neill dan para analis keuangan dunia terpesona oleh postur besar ekonomi China, Rusia, India dan Brazil, serta terhadap prospek negara-negara itu menjadi kekuatan baru ekonomi dunia.
Tujuan O'Neill menciptakan akronim itu adalah untuk mengidentifikasi wilayah keuangan paling prospektif bagi investor global.
Namun kemudian istilah itu diadopsi keempat negara untuk saling merangkul dan akhirnya mengikatkan diri dalam wadah bernama sama, BRIC.
Manuver mereka dalam mengikatkan diri pun tak diawali dari forum ekonomi, melainkan dari meja diplomasi, ketika para menteri luar negeri Brazil, Rusia, India, dan China bertemu di New York pada September 2006, di sela sidang Majelis Umum PBB.
Baru pada 16 Juni 2009, keempat negara menggelar pertemuan tingkat tinggi pertamanya di Yekaterinburg, Rusia.
KTT itu dihadiri lengkap oleh pemimpin-pemimpin mereka saat itu, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, Presiden Rusia Dmitry Medvedev, Perdana Menteri India Manmohan Singh, dan Presiden China Hu Jintao.
Afrika Selatan baru bergabung pada 2010, untuk mengubah nama kelompok ini menjadi "BRICS" dari semula "BRIC".
Setelah itu, pertemuan tingkat tinggi reguler diadakan oleh mereka, sampai terakhir digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, dari 22 sampai 24 Agustus 2023.
KTT BRICS 2023 digelar dalam suasana dunia yang sangat tegang akibat perang di Ukraina dan kompetisi spektrum penuh antara China dan Amerika Serikat. Tapi justru itu membuat dunia bergairah mengikutinya.
"Pertemuan para pemimpin BRICS kali ini tak biasanya mendapatkan perhatian luas dari dunia," tulis The Washington Post dalam editorial awal pekan ini.
Syarat ketat anggota BRICS
Isu paling mengemuka dalam KTT Johannesburg yang dihadiri Presiden Brazil Lula da Silva, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, adalah perluasan keanggotaan BRICS.
Menurut pemerintah Afrika Selatan, sekitar 40 negara mengungkapkan minat bergabung dengan BRICS. 20 negara antaranya sudah mengajukan permohonan resmi menjadi anggota.
Pada Rabu, 23 Agustus 2023, Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor mengungkapkan bahwa kelima negara akhirnya menyepakati mekanisme bagi keanggotaan baru BRICS.
Sebelum itu, terjadi tarik ulur, antara Brazil dan India di satu pihak, dengan China, Rusia dan Afrika Selatan di pihak lainnya.
India tak ingin blok ini sembarangan mengundang negara lain menjadi anggota baru.
Menurut India, harus ada syarat ketat sebelum sebuah negara menjadi anggota baru BRICS. Salah satu syarat itu adalah minimum Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan cara ini, India tak ingin ada ketimpangan di dalam BRICS, sehingga anggota yang lebih kuat mengooptasi anggota yang lebih lemah.
India ingin semua sejajar dan tak ingin BRICS menjadi lengan kepentingan salah satu anggota.
Pesan India itu mplisit ditujukan kepada China yang saat ini pun sudah menjadi kekuatan dominan di BRICS yang terlihat dari PDB-nya yang menyumbang 70 persen bagi total PDB BRICS.
.
Akan halnya Brazil, negara ini menginginkan blok ini fokus terlebih dahulu kepada formasi sebelum mengundang anggota baru agar konsensus yang sebelum ini sulit dicapai tidak menjadi semakin sulit dicapai oleh karena semakin banyaknya anggota.
Sebaliknya, China, Rusia, dan Afrika Selatan ingin segera mewujudkan perluasan BRICS.
Afrika Selatan ingin memasukkan sejumlah negara Afrika, sedangkan China dan Rusia ingin menggunakan BRICS sebagai kutub geopolitik baru yang menjadi alternatif untuk tatanan global yang dibentuk Barat yang memang sudah sangat merongrong mereka.
Brazil dan India menolak sikap China dan Rusia itu karena tak ingin BRICS mempersempit opsi kerja sama dengan dunia lain, termasuk Barat, apalagi, saat ini, baik India maupun Brazil, tengah dekat dengan Amerika Serikat, dengan alasannya masing-masing.
Sikap sulit untuk satu kata itu menjadi warna dominan dalam 14 tahun perjalanan BRICS sejauh ini.
Kecuali Bank Pembangunan Baru (NDB) dan Contingent Reserve Arrangement (CRA), BRICS kerap tak sepakat dalam membumikan gagasan-gagasan mereka, termasuk independensi terhadap Barat, mata uang bersama dan dedolarisasi.
Bahkan, mekanisme keanggotaan baru BRICS yang bakal menjadi butir penting dalam kesepakatan KTT Johannesburg, harus melewati dulu debat yang alot.
China dan India, misalnya, kendati sering seirama di berbagai forum global, tak pernah benar-benar akrab, akibat sengketa perbatasan di antara mereka.
Harus lebih aplikatif
Realitas-realitas seperti itulah yang membuat sejumlah pihak di Barat, tak begitu mengkhawatirkan BRICS, walau anggotanya bakal bertambah, sehingga membuat skala kekuatannya semakin besar.
"Ini adalah kumpulan negara yang sangat beragam dengan pandangan yang juga beragam dalam isu-isu yang sangat penting," kata Penasihat Keamanan Nasional Presiden Amerika Serikat, Jake Sullivan, seperti dikutip Reuters.
Harian ekonomi Financial Times, bahkan menyebut BRICS forum yang longgar, yang tak sekuat G7, karena BRICS jauh lebih heterogen, sehingga chemistry di antara mereka tak sekuat G7, termasuk dalam soal politik.
Contohnya, sistem politik Rusia dan China yang lebih otoritarian, adalah antitesis dari demokrasi liberal yang dirangkul Brazil, India dan Afrika Selatan.
Negara-negara BRICS juga memiliki skala ekonomi yang berbeda jomplang satu sama lain, termasuk antara China dan Afrika Selatan yang bagai Bumi dan Langit.
Mereka juga mempunyai pemerintahan dengan tujuan kebijakan luar negeri yang berbeda satu sama lain.
Realitas-realitas ini acap membuat BRICS sulit mengambil keputusan bersama dan konsensus.
Tapi bisa saja kritik semacam ini adalah bentuk sinisme Barat yang khawatir kemunculan pemain baru dalam panggung global bakal meruntuhkan dominasi mereka.
Walaupun demikian, tetap saja, heterogenitas ini harus diakali oleh BRICS.
Dalam kaitan ini, terpaku kepada upaya menjadikan BRICS sebagai alternatif untuk dominasi Barat justru bisa mempersulit blok ini dalam bertindak, karena hanya membuat BRICS menjadi kelompok yang lebih sering beretorika, ketimbang mengambil langkah bersama yang berdampak kepada dunia.
Sebaliknya, fokus kepada apa yang dimiliki dan tak dimiliki masing-masing anggota BRICS, untuk kemudian bersepakat pada bidang yang menjadi irisan kepentingan semua anggota, bisa membuat BRICS semakin kuat.
Kompromi menjadi jalan utama, seperti dianjurkan secara implisit oleh India dan Brazil yang enggan mengonversi BRICS menjadi blok geopolitik baru. Justru, pendekatan yang dimajukan India bisa membuat BRICS semakin kuat.
Pandangan India itu sendiri sejak lama dipraktikkan negara-negara dan kawasan-kawasan, seperti Indonesia dan ASEAN, yang merangkul pihak-pihak mana pun, kendati pihak-pihak itu berseteru satu sama lain.
Tetapi dengan cara itu, ASEAN menjadi mendapatkan banyak pilihan yang membuatnya lebih sulit ditarik-tarik oleh kekuatan hegemoni dunia mana pun.
Mungkin banyak negara yang menginginkan BRICS berjalan seperti diharapkan India dan sudah dipraktikkan ASEAN itu.
Negara-negara, seperti Argentina, Arab Saudi, atau bahkan Indonesia, yang di Johannesburg hadir sebagai salah satu undangan melalui Presiden Joko Widodo, mungkin juga berharap BRICS menjadi medium yang membuat mereka semakin otonom dan mendapatkan pilihan lebih banyak dalam memburu kepentingan nasionalnya.
Ini antitesis dari forum-forum ciptaan Barat, yang semestinya menjadi semangat BRICS.
Tapi itu semua tetap harus aplikatif agar BRICS sungguh menjadi penyeimbang tatanan global dan tambatan bagi mereka yang terpinggirkan, seperti "Global South".
Copyright © ANTARA 2023
Tags: