Tapin (ANTARA) - Cintawari adalah sosok pahlawan bagi warga Desa Timbaan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Ia berjuang membela harkat dan martabat masyarakat saat dijajah orang Belanda yang zalim.

Kisahnya memang tak sepopuler para pejuang yang dikisahkan sewaktu sekolah dasar. Bahkan, namanya tak ada di buku sejarah. Namun demikian, api semangat juangnya menyebar di hati masyarakat.

Pada era kemerdekaan ini, ada satu sosok perempuan yang mewarisi tekad Cintawari. Tentu bukan dengan cara angkat senjata atau balas dendam ke anak cucu para penjajah, namun dengan karya.

Nama perempuan itu adalah Masdinah, seorang petualang berusia hampir 70 tahun. Ia kerap dipanggil Galuh yang memiliki arti intan dalam bahasa Banjar.

Kini, Cintawari tak hanya dikenal sebagai nama ruas jalan di Desa Timbaan. Sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur, Galuh menjadikan nama itu sebagai sebuah jenama untuk kain sasirangan khas Kalimantan Selatan yang diproduksi di desa itu.

Berkat Galuh, nama Cintawari kini memiliki arti bagi kaum perempuan Desa Timbaan sebagai sumber ekonomi. Namanya semakin harum dan dikenal luas, bahkan sampai Manila, Ibu Kota Filipina. Kain itu dibawa seorang pelajar Pondok Pesantren Modern Ummul Quro Al Islami, yakni Nurul Husna Irawan, 16 tahun.

Sekembali ke kampung halaman, sekitar tahun 2014, Galuh memperhatikan rutinitas kaum hawa yang notabene petani, bekerja saat siklus tanam-panen membantu suami. Hitungannya, ada waktu luang yang bisa digunakan oleh para perempuan ini.

Instingnya langsung main. Waktu itu, Galuh pikir, kenapa tak bikin satu kelompok usaha, agar kepulan asap dapur para emak tambah terjaga. Berangkat dari sana, mulailah perempuan yang pernah melintang di Pulau Jawa-Bali-Balikpapan di bidang seni kecantikan ini mencari ide tentang jenis usaha yang cocok.

Setelah dapat ide dan berhasil mengumpulkan "pasukan", pada akhir 2015, terbentuklah kelompok Cintawari Sasirangan Tapin. Tak tanggung-tanggung, mereka produksi dan pasarkan sendiri kain sasirangan yang memiliki motif yang khas daerah Kabupaten Tapin.

Pasukannya dari dulu dan sekarang berjumlah 100 orang. Uniknya, semuanya perempuan. Galuh tak ingin dianggap bos di sini. Ia ingin berproses dan belajar bersama dalam kelompok Cintawari Saringan Tapin ini. Semula, kain yang diproduksi cocok pakai nama pahlawan yang keberadaannya tak diketahui orang kampung sampai sekarang ini.

Buah rintisan perjuangan Galuh dkk. itu kini sudah terasa. Pada 2023, omzet seluruhnya dari penjualan menembus ratusan juta rupiah. Adapun rata-rata pemasukan anggota kelompok Rp1,5 juta -- Rp2 juta.

Pemasukan anggota tergantung tingkat keahlian dan kemampuan waktu bekerja. Misalnya, untuk mencetak, jahit, kemas, hingga memasarkan . Artinya, kalau rajin kerja di kelompok Cintawari ini Insya Allah banyak duit, maka ekonomi tak akan sulit.

Tak hanya itu, api semangat Cintawari ini juga menyebar ke wilayah lain di daerah Tapin. Bertahun-tahun, Galuh menjadi pelopor bagi 17 usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk usaha sasirangan. Sekarang, kelompok itu diklaim sudah menghasilkan pundi-pundi rupiah dan berkembang dengan ciri khas masing-masing.

Semua itu, aku Galuh tak lepas dari bantuan Pemerintah Kabupaten Tapin, yang turut mendorong dan memfasilitasi gerakan kreatif para perempuan ini.

Masdinah memang cocok menyandang panggilan Galuh, yang berarti intan dalam bahasa Banjar itu. Setelah kepulangannya, kini kampung halamannya “berkilau” karena menjadi sentral pembuatan kain sasirangan yang mempunyai nilai di Kabupaten Tapin.


Rekam budaya

Terkait karakter kain sasirangan yang khas ini tak lepas dari intelektualitas Galuh. Perempuan ini, mungkin layak juga disebut sebagai pelestari seni budaya daerah Kabupaten Tapin karena menuangkan ragam kebudayaan ke dalam motif kain sasirangan.

Ustaz Abdul Somad alias UAS mengenakan baju bermotif kalayangan bakacak pinggang dan syal bermotif buhan tikup dari bahan kain sasirangan khas Kabupaten Tapin, saat ceramah di depan kediaman Bupati Tapin pada tahun lalu.

Kekayaan Kabupaten Tapin, yang disebut sebagai lumbung seni budaya Kalimantan Selatan, tak disia-siakan oleh Galuh untuk mencari motif sasirangan.

Mendapatkan motif ini, mengharuskan Galuh sedikit bertualang lagi. Bedanya, kini di tanah kelahirannya sendiri. Mulai dari mencari informasi dari pakar-pakar hingga terjun langsung ke kampung kampung, menemui langsung masyarakat yang bergelut di bidang kesenian kebudayaan.

Bukan hanya memburu motif untuk dituangkan ke kain sasirangan, Galuh juga menggali informasi tentang nilai-nilai luhur dalam sebuah motif. Hal itulah yang membuat unik sasirangan yang dibikin kelompok Cintawari ini.

Sejak 2015 hingga sekarang, ada 15 motif sasirangan yang sudah dipatenkan Galuh dan mendapatkan hak kekayaan intelektual (HKI), yakni Naga Balahindang, Halang Manyaung, Buhan Tikup, Anak Bajang Bagandeng Tangan, Gasing Kemuning, Layang-layang Bakacak Pinggang, Papan Surui, Pucuk Papakuan, Dandang Badangung, Panting Pulantan, Bawang Tunggal, Wayang Topeng, Cabai Hiyung, Parang Balingan, dan Ayunan Raja Datu Ujung.

Dalam waktu dekat ini, Galuh memberikan informasi segera memperkenalkan 10 motif baru Cintawari Sasirangan Tapin kepada calon pelanggan di mana pun berada.

Selain lewat melalui media sosial-- cara memperkenalkan sasirangan--, Galuh harus turun tangan ikut dari pameran ke pameran. Baik tingkat lokal maupun nasional. Kain sasirangan dengan 15 motif ini sudah dikenal oleh warga lokal Kalimantan Selatan.

Tangan-tangan perempuan di Desa Timbaan, Kecamatan Tapin Selatan, ini terlihat piawai membuat motif sasirangan di atas kain dan menciptakan sebuah busana yang punya identitas khas daerah.

Setiap hari saat jam kerja, di rumah produksi kain sasirangan Cintawari ini ada saja ditemui para perempuan yang memproses kain sasirangan.

Adapun arti atau makna di balik 15 motif yang dikekalkan kelompok Cintawari Sasirangan Tapin dalam kain khas Banjar itu, yakni:

Naga Balahindang

Motif Naga Balahindang ini menggambarkan tentang legenda cerita rakyat zaman dahulu yang ada di Kabupaten Tapin. Menceritakan tentang riwayat Sungai Tapin dan seorang manusia yang berubah menjadi seekor naga.

Halang Manyaung

Motif Halang Manyaung ini melambangkan pertarungan dua burung elang yang gagah berani dan tidak takut tantangan. Halang manyaung ini diambil dari cerita masyarakat Dayak Meratus Tapin yang diaplikasikan pada sebuah ritual saat “Aruh” atau kegiatan syukuran saat panen padi.

Buhan Tikup

Motif Buhan tikup bermakna tali yang bersambung dan tidak putus-putus. melambangkan alur kehidupan yang terus berjalan. Motif ini diambil dari cerita masyarakat Dayak Meratus Tapin yang diaplikasikan pada sebuah ritual saat “Aruh” atau kegiatan syukuran saat panen padi.

Anak Bajang Bagandeng Tangan

Motif Anak Bajang Bagandeng Tangan ini menggambarkan tentang permainan anak-anak pedalaman Dayak Meratus yang melambangkan kuatnya persatuan dan eratnya persaudaraan.

Gasing Kemuning

Motif Gasing Kemuning ini menggambarkan budaya masyarakat Kabupaten Tapin yang gemar bermain gasing. Gasing yang takdirnya diadu ini terbuat dari kayu kemuning.

Layang-layang Bakacak Pinggang

Motif Layang-layang Bakacak Pinggang ini terinspirasi dari orang-orangan sawah sebagai pengusir burung pemakan biji pada saat padi mengurai. Motif ini juga menggambarkan tentang kultur alam Kabupaten Tapin yang memiliki alam pertanian yang subur.

Papan Surui

Motif Papan Surui ini menggambarkan budaya suku Dayak Meratus di Kabupapten Tapin. Papan berarti kayu, sedangkan surui berarti sisir. Benda ini pada zaman dahulu digunakan masyarakat adat sebagai alat mencuci.

Pucuk Papakuan

Motif Pucuk Papakuan ini menggambarkan tanaman paku yang merupakan tumbuhan purba. Pada suku Dayak Meratus zaman dulu tanaman liar pakuan sering dimanfaatkan untuk olahan masakan.

Dandang Badangung

Motif Dandang Badangung ini menggambarkan budaya daerah yang sering dilombakan oleh masyarakat Kabupaten Tapin saat memasuki musim kemarau. Dandang ini adalah sebuah layang-layang besar dengan bentuk yang unik, sedangkan dangung adalah alat bunyi-bunyian yang dipasang di punggung dandang terbuat dari bambu besar jenis “batung” yang tumbuh di daerah pegunungan. Perlombaan ini mencari bunyi yang paling nyaring, merdu hingga khas sebagai pemenang, kegiatan ini dulu digelar setiap tahun oleh masyarakat Kabupaten Tapin.

Panting Pulantan

Motif Panting Pulantan ini menggambarkan salah satu alat musik lokal yang sering dimainkan sebagai sarana hiburan dan sarana pendidikan oleh masyarakat Kabupaten Tapin.

Syair-syair pada musik panting isinya melambangkan tentang nasehat dan petuah, dan untuk mempererat silaturahmi antar warga masyarakat.

Bawang Tunggal

Motif Bacabut Bawang ini menggambarkan budaya masyarakat yang sering dipakai untuk bacabut angin dan dipercaya untuk mengusir roh jahat. Budaya bahari ini digunakan masyarakat Kabupaten Tapin sebagai salah satu pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh angin.

Wayang Topeng

Motif Wayang Topeng ini menggambarkan kesenian wayang khas Kabupaten Tapin yang dikembangkan oleh tokoh seniman wayang, bernama Dalang Janderi di Desa Matang Asam. Pagelaran wayang topeng ini hingga sekarang masih eksis, biasanya dibawakan pada acara perayaan reswpsi pernikahan masyarakat Kabupaten Tapin.

Cabe Hiyung

Motif Cabai Hiyung ini menggambarkan kesuksesan masyarakat Desa Hiyung, Kabupaten Tapin yang berhasil mengembangkan varietas cabai. Sekarang, hampir 100 warga masyarakat Desa Hiyung bergantung hidup dari cabai yang terkenal sebagai cabai terpedas di Indonesia. Tanaman ini, unik hanya bisa tumbuh maksimal di Desa Hiyung yang kultur alamnya adalah rawa lebak hingga rawa gambut.

Parang Balingan

Motif Parang Balingan ini menggambarkan kultur masyarakat Kabupaten Tapin tempo dulu yang tak pisah dengan “ganggaman” atau senjata tajam yang terus dibawa.

Ayunan Raja Datu Ujung

Motif Ayunan Raja Datu Ujung ini menggambarkan budaya masyarakat Desa Banua Halat, Kabupaten Tapin yang sampai saat ini masih digelar dan masuk dalam kalender event tahunan Kalimantan Selatan. Ada ribuan orang dari penjuru Indonesia mengikuti pagelaran yang pernah memecahkan Muri.

Budaya itu disebut sebagai ba’ayun mauled, budaya ini adalah akulturasi masyarakat dayak dan Muslim pada zaman dahulu. Sekarang, ba’ayun mauled memiliki makna religius yang mana orang tua berharap anak cinta masjid dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai teladan.

Sejarah Sasirangan

Menurut Masdinah, sasirangan adalah kain khas suku Banjar, Kalimantan Selatan.

"Kain sasirangan memiliki nilai historis, yang umumnya digunakan sebagai kain adat, baik masyarakat atau kalangan bangsawan suku Banjar," kata Galuh.

Sasirangan merupakan salah satu wujud pengetahuan lokal masyarakat Kalimantan Selatan, meskipun saat ini kain sasirangan sudah digunakan dalam keseharian.

Sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti menjelujur. Sebutan itu merujuk pada saat pengerjaannya dilakukan dengan cara menjelujur kemudian diikat dengan tali rafia dan dicelup.

Sesuai dengan asal-usulnya, kain sasirangan diwariskan secara turun-temurun sejak abad XII.

Kain sasirangan juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat bermanfaat untuk batatamba atau pengobatan maupun pengusir roh halus.

Seiring perkembangan zaman, kain sasirangan dan motif-motifnya pun semakin berkembang. Kini, ada ratusan motif yang dikembangkan oleh setiap daerah di Kalimantan Selatan.