"Pada 2020-2021, Rp 3,5 triliun dihabiskan untuk kanker, dengan kanker paru yang mencapai Rp73 miliar," katanya dalam acara yang berjudul "Kenali Konsensus Baru Nasional Skrining Kanker Paru" yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Ia mengemukakan salah satu penyebabnya adalah adanya sejumlah 70 juta masyarakat Indonesia yang mengonsumsi tembakau, dengan 68,9 juta di antaranya yang merupakan perokok aktif.
Dia menyebutkan tembakau berpengaruh kepada tahun hidup yang disesuaikan dengan disabilitas atau disability-adjusted life years (DALYs) sebanyak 64,99 persen.
"Tembakau juga berpengaruh pada 66,52 persen kematian akibat kanker trakea, bronkus, dan paru," katanya.
Ia mengatakan kanker paru yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok yang lebih mudah ditemukan di Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya.
Hal tersebut, kata dia, diakibatkan oleh tren usia perokok yang semakin memuda, yang juga mengakibatkan rataan usia penderita kanker paru di Indonesia lebih muda lima sampai sepuluh tahun dibandingkan di luar negeri.
Oleh karena itu, kata Theresia Sandra Diah Ratih, Kemenkes mengimbau kepada masyarakat agar segera melakukan skrining kanker paru untuk meminimalisir kasus penyakit kanker paru yang umumnya baru terdeteksi pada stadium empat.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah menganjurkan seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan deteksi dini atau skrining kesehatan secara berkala untuk pengendalian kasus di Indonesia.
“Kanker itu dapat dikendalikan, angka survival ratenya tinggi, tapi syaratnya harus deteksi dini. Sekitar 90 persen bisa dikendalikan, kalau ditemukan pada stadium lanjut maka 90 persen akan meninggal,” katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta (20/2).
Baca juga: 12 juta peserta BPJS Kesehatan berisiko penyakit kronis
Baca juga: Sejumlah obat kanker berbiaya mahal diperdebatkan masuk FORNAS
Baca juga: Pemerintah dorong BPJS Kesehatan biayai skrining kanker paru-paru
Baca juga: BPJS Kesehatan mendorong faskes optimalkan pelayanan pasien kanker