"Pada prinsipnya membuat awan jenuh kemudian membuat awan hujan, secara teori bahwa nanti hujan turun," ujar Satya di Kemenko PMK, Jakarta, Rabu.
Saat ini TMC dilakukan sebagai langkah penanganan dalam fase kedaruratan untuk menangani buruknya kualitas udara.
Menurut Satya, yang menjadi permasalahan yakni cakupan wilayah, karena jika dilihat dari udara, wilayah yang tertutup kabut polusi sangat luas.
"Tapi yang harus pikirkan seberapa besar yang akan kita lakukan dan itu areanya sangat luas. Kalau kita mendarat dari Cengkareng, area tertutupnya sangat besar," kata dia.
Baca juga: BNPB upayakan TMC selama tiga hari untuk membilas polusi
Baca juga: BNPB nantikan fenomena regional lakukan TMC untuk intervensi polusi
Satya mengatakan ada tiga upaya guna menghindari polusi udara, seperti memakai masker saat beraktifitas, tidak keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak, hingga mencari teknologi penanganan PLTU.
Untuk PLTU, kata dia, penanganannya menunggu langkah dari kementerian/lembaga terkait untuk mengevaluasinya.
Ia mengungkapkan, sempat ada isu yang beredar bahwa PLTU di Banten menjadi salah satu penyumbang polusi karena pembakaran batu bara untuk pembangkitnya.
'Nah itu kementerian/lembaga terkait mungkin bisa melakukan evaluasi apakah asap yang dikeluarkan atau buangan yang dikeluarkan, apakah sudah sesuai standar yang ada," katanya.
Baca juga: Pemprov DKI: Hujan intensitas ringan tak turunkan polutan di udara
Baca juga: TransJakarta operasikan 52 bus listrik untuk tekan polusi di DKI
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengupayakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) selama tiga hari untuk membilas polusi udara di sejumlah daerah.
Namun BNPB juga masih memastikan ada kebijakan jangka panjang yang akan dilaksanakan untuk mengatasi polisi udara itu.
Baca juga: Dokter Pulmonologi ajak masyarakat pantau fluktuasi kualitas udara
Baca juga: PDPI: Polusi udara dapat memicu zat karsinogen penyebab kanker paru
Baca juga: Spesialis paparkan dampak polusi udara pada ibu hamil hingga lansia