Jakarta (ANTARA) - Ketua Tim Pokja Onkologi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dr. Sita Laksmi Andriani Ph.D Sp.P (K) mengatakan bahwa penggunaan material asbes dalam pembangunan rumah bisa memicu masalah kesehatan bagi penghuninya, di antaranya meningkatnya risiko terkena kanker paru, lantaran sifat karsinogenik bahan bangunan tersebut.

"Asbes merupakan faktor karsinogen yang tinggi selain rokok. Asbes bagian dari silika. Paparan itu dapat menimbulkan secara langsung radang dan proses karsinogenesis," ucap Sita saat ditemui di acara diskusi kesehatan konsensus nasional kanker paru di Jakarta, Rabu.

Sita mengatakan berdasarkan International Agency for Research of Cancer (IARC), bahan asbes memiliki sifat karsinogenik dan dapat mempercepat radang dan proses pembentukan kanker yang lebih dominan.

Baca juga: Pulmonolog: Kanker paru stadium dini bisa ditangani dengan operasi

Ia juga menambahkan, bahan bangunan asbes yang merupakan bagian dari bahan silika harusnya sudah dilarang untuk pembuatan rumah guna menghindari faktor risiko kanker paru di kemudian hari.

"Maka itu di luar negeri bahan bangunan asbes sudah dilarang, di Indonesia belum, pembongkaran dan renovasi bahan bangunan asbes juga tidak sembarangan," ucapnya.

Sementara itu, pekerjaan yang mengharuskan terpapar debu kayu, kemudian debu penambangan batu bara, pabrik semen, dan pabrik kaca juga dapat meningkatkan risiko kanker paru dengan angka yang cukup tinggi yaitu 34 dari 100.000 penduduk. Selain juga paparan polusi udara juga menjadi faktor risiko lainnya.

Sita menekankan jika memiliki faktor risiko tersebut, hendaknya melakukan skrining secara dini untuk meningkatkan angka ketahanan hidup sampai lima tahun.

"Kalau ketemu kanker paru stadium dini, angka ketahanan hidupnya akan lama atau angka tahan hidup sampai lima tahun. Sedini mungkin deteksi kanker paru akan meningkatkan angka bertahan hidup," ucap Sita.

Selain itu dengan dilakukannya skrining atau deteksi dini kanker paru dapat menekan angka pembiayaan yang jauh lebih rendah dibanding stadium 3 atau 4. Hal ini tidak hanya berdampak untuk pasien tapi juga keluarga sebagai care giver.

Sita juga mengatakan prevalensi perokok dan kanker pada yang bukan perokok di Asia yang sangat tinggi telah meningkatkan upaya diagnosis awal bersamaan dengan deteksi TB dan upaya berhenti merokok.

Saat ini sudah banyak perawatan kanker paru yang dapat di temui di fasilitas kesehatan dan sudah termasuk dalam pembiayaan BPJS.

Skrining dengan Low Dose Compute Tomography (LDCT) dapat mempermudah pelayanan kesehatan mendiagnosis kanker paru. Deteksi menggunakan LDCT dapat ditemukan di Rumah Sakit tipe C. Jika terdapat nodul kanker paru akan dilanjutkan dengan diagnosa.

"Karena prevalensi kanker paru di Indonesia terbilang besar jadi upaya deteksi dan skrining paru harus bersamaan dengan skrining TB dan upaya berhenti merokok," tutupnya.

Baca juga: PDPI: Polusi udara dapat memicu zat karsinogen penyebab kanker paru

Baca juga: Metode LDCT dinilai dapat turunkan angka kematian kanker paru

Baca juga: IDKI mengingatkan hindari material rumah berbahan asbestos