Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Pulmonologi dari RSUP Persahabatan Jakarta Timur, Feni Fitriani meminta masyarakat untuk proaktif memantau fluktuasi kualitas udara di sekitar guna mengantisipasi risiko penyakit.

"Sumber polusi udara yang ada di sekitar kita bisa dari rumah tangga, industri, kendaraan, pertanian, rumah tangga, dan sebagainya," kata Feni Fitriani dalam konferensi pers virtual tentang Polusi Udara yang digelar RSUP Persahabatan diikuti dari Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, alat pemantau kualitas udara yang mudah dijangkau masyarakat berupa aplikasi di ponsel pintar dengan fitur informasi aktual. Gambaran polusi udara dalam fitur tersebut umumnya ditandai dengan notifikasi warna hijau, kuning, oranye, dan merah darah dengan keterangan angka.

"Kalau angkanya sampai 150 itu masih oranye, 151 itu sudah berbahaya untuk semua orang, termasuk lansia, dewasa, dan kaum muda," katanya.

Ia mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sudah memperbarui nilai ambang batas polutan yang ada di lingkungan masyarakat.

"Ada penurunan nilai ambang batas agar masyarakat lebih hati-hati, yang tadinya tahun 2005 Particulate Matter (PM) 2,5-nya masih boleh 25 mikrogram per meter kubik per 24 jam, berdasarkan standar 2021 itu sudah diturunkan menjadi 15 mikrogram per meter kubik per 24 jam, dengan harapan bisa meningkatkan kesadaran polutan di sekitar kita," katanya.

Baca juga: PDPI: Polusi udara dapat memicu zat karsinogen penyebab kanker paru
Baca juga: Tujuh langkah lindungi paru-paru saat tingkat polusi udara tinggi


Feni membagi klasifikasi polusi udara atas beberapa kelompok, yakni polutan primer yang langsung dihasilkan dari atmosfer serta sumber-sumber polusi udara, polutan sekunder yang terbentuk di udara karena reaksi kimia dengan sumber polutan lain.

"Pembagian lain adalah indoor dan outdoor polution, polusi dalam ruangan itu sumbernya dari pembakaran, merokok dalam rumah, memasak dalam rumah, pemanas, sementara outdoor itu dari industri, komersil, pertanian, dan lainnya," katanya.

Menurut Feni, polusi yang belakangan ini melanda Jakarta dan sekitarnya merupakan bentuk polutan gas atau partikel, yang terbagi atas sulfur dioksida, ozon, karbon monoksida dan volatile organic compound yang berasal dari benda padat atau cair.

Polutan membawa partikel halus atau PM 2,5 berukuran lebih kecil dari lebar sehelai rambut. "PM 2,5 setara sehelai rambut dibagi menjadi tujuh, PM 10 dengan ukuran 10 mikrometer, yang lebih halus lagi PM 0,1," katanya.

Baca juga: Dermatolog sebut polusi udara juga berpengaruh pada kesehatan kulit
Baca juga: Anak bisa terpapar polusi udara sejak dalam kandungan hingga lahir


Berdasarkan laporan WHO, kata Feni, 90 persen warga di dunia tinggal di daerah berpolusi tinggi. Angka kematian akibat polusi udara, hampir 50 persen dipengaruhi oleh gangguan pada organ paru-paru.

"Kalau dilihat berdasarkan organ yang terkena, yang tiga ini terkait paru-paru. Pneumonia 21 persen, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 19 persen, dan kanker paru-paru juga 7 persen," katanya.

Ia mengatakan, jenis penyakit terbanyak akibat polusi di rumah sakit pemerintah kelas A itu adalah penyakit jantung dan pernapasan mencapai 34 persen kasus, disusul pneumonia, dan stroke.

"Sekarang makin banyak pasien batuk pilek yang berkepanjangan, gejala pernafasan banyak terjadi, asma jadi makin sering, makin banyak menggunakan obat-obatan, kemudian kunjungan ke dokter juga semakin meningkat, anak-anak juga kunjungan ke sekolahnya menurun karena menderita penyakit pernafasan," katanya.

Baca juga: PDPI: Polusi udara pencetus penyakit asma kambuh
Baca juga: Selain ISPA, ini dampak lain paparan polusi udara pada tubuh