Ekonom: penetapan harga BBM bervariasi tak efektif
Antrean truk dan angkutan umum menunggu pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar subsidi di SPBU Mata Air, Padang, Sumbar, Rabu (20/3). Pengemudi truk dan kendaraan lainnya memilih menunggu pasokan solar bersubsidi sejak Selasa (19/3), menyusul diberlakukannya Peraturan Menteri ESDM No 1/2013 tentang truk angkutan barang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan dilarang mengisi Solar Subsidi. Harga solar non subsidi di Padang mencapai Rp 11.000 per liter, sementara harga solar bersubsidi hanya Rp 4.500 per liter. (FOTO ANTARA/Iggoy el Fitra)
"Sebaiknya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan soal BBM, mesti menaikan harga secara bertahap tanpa harus disparitas atau bervariasi," mantan Direktur Pascasarjana Universitas Bung Hatta (UBH) Padang Syafrizal Chan di Padang, Senin.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah cukup menetapkan satu jenis harga saja, sehingga tidak menimbulkan permasalan dalam pelaksanaannya seperti selama ini.
Jadi, pemerintah setelah menaikan harga BBM tanpa subsidi dan non subsidi, fokus pada pengendalian subsidi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berhak menerimanya.
Misalnya untuk kelompok masyarakat miskin, cukup dengan ketersedian data yang jelas dan hak subsidinya diberikan langsung (transfer ke rekening) kalau dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).
"Pemberian subsidi untuk masyarakat miskin apalah namanya, efektif diberikan langsung tanpa melalui birokrasi yang sarat menimbulkan masalah," ujarnya.
Kemudian subsidi untuk kelompok transportasi umum, cukup menyediakan data jumlah kendaraan yang berplat kuning atau resmi melayani penumpang.
Melalui data yang ada dilakukan kajian berapa kebutuhan BBM dengan dibuat standarisasi, misalnya satu bulan katakanlah 500 liter dan diberi peruntukan pada mereka.
Jika, dalam pelaksanaannya ada yang berlebih dalam penggunaan bahan bakarnya, berarti mereka sudah bukan lagi menjadi tanggung subsidi.
Sekarang, kata dia, pemerintah direpotkan soal berpikir menaikan harga dengan variasi-variasi jumlahnya dan pembagian subsidi ke masyarakat.
Sementara kalau harga dinaikan dengan jumlah bervariasi antara non subsidi dengan subsidi, pelaksanaannya tetap akan berpolemik karena masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi akan tetap mencari harga murah.
Kesenjangan harga subsidi dan non subsidi syarat peluang permainan dalam pelaksanaan, baik penyelundupan ulah oknum pengusaha SPBU dan oknum aparat dan masyarakat yang ingin mengeruk keuntungan.
"Kalau harga bervariasi ditetapkan pemerintah, risikonya menambah tugas aparat keamanan seperti selama ini mengawasi di lapangan. Kenyataannya tetap tidak efektif," ujarnya.
Buktinya sekarang hampir di semua daerah masyarakat dihadapkan pada keresahan karena kelangkaan BBM jenis solar, karena setiap hari telah membuat transportasi terganggu akibat antrean truk. Terkait hal itu, telah menyebabkan gangguan keamanan dan kebutuhan serta pergerakan ekonomi di daerah karena kebijakan dikeluarkan mengambang.
"BBM jenis solar selalu habis di tingkat SPBU bukan kerena tidak ada persedian, tapi pasokan dan pengawasan terhadap pembeli eceran tak terkendali," ujarnya.
Jika, pemerintah tetap bersikukuh menetapkan harga BBM dengan sistem variasi, tak akan berdampak baik dalam pelaksanaan di masyarakat dan tetap banyak menimbulkan masalah.
Soalnya, bagi masyarakat bukan terkait berapa harga tetapi ketersediaan BBM di SPBU ada, meskipun harga murah tetapi tak ada jelas bermasalah.
"Persoalan penetapan harga BBM arahnya sudah bergeser ke ranah politis yang ingin mencari kebijakan populis, ketimbang murni untuk penyelamatan APBN. Hentikan politik BBM," ujarnya. (*)
Pewarta: Siri Antoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013