Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan mengevaluasi dan memperbaiki sejumlah pasal dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye, yang diantaranya mengatur soal kampanye di media massa selama masa tenang menjelang pemungutan suara.

"Memang perlu diperbaiki sejumlah pasal yang menjadi keberatan teman-teman media dan LSM media," kata Komisioner Hadar Nafis Gumay ketika ditemui di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan pihaknya akan mengajak serta sejumlah LSM media untuk ikut ambil bagian dalam mengatur soal kampanye di media massa.

Sebelumnya, peraturan KPU yang menyangkut media mendapat protes dari kalangan media dan LSM karena dinilai mengancam kebebasan pers dalam memberikan informasi kepada masyarakat.

Selama masa tenang menjelang pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 2014, media massa cetak, daring, elektronik dan lembaga penyiaran dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta Pemilu atau bentuk lain yang mengarah pada kepentingan kampanye.

Hal tersebut tertuang pada pasal 36 ayat 5 yang dikhawatirkan dapat menguntungkan dan/atau merugikan parpol peserta Pemilu lain.

Pasal lain yang mendukung peraturan tersebut menyebutkan bahwa jika lembaga pengawas penyiaran, dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers, tidak memberikan sanksi bagi perusahaan media yang melanggar, maka KPU berhak menjatuhkan sanksi, termasuk pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak.

Sejumlah LSM media yang menyoroti peraturan tersebut adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Surabaya.

Pasal tersebut merupakan salinan dari dua undang-undang yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materi. Kedua UU tersebut adalah UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres.

"Ketentuan tersebut secara langsung mengancam kemerdekaan pers untuk mencari dan menyebarkan informasi, karena mengatur sanksi `breidel` yang terlihat jelas dalam ancaman sanksi," demikian bunyi pernyataan sikap yang diterima di Jakarta.

Oleh karena itu, mereka menolak dan mendesak KPU untuk mencabut pasal tersebut dari PKPU Nomor 1 Tahun 2013.