Banda Aceh (ANTARA) - Mahkamah Syar'iyah (MS) Jantho Aceh Besar menyatakan tanah bekas tsunami dan pembangunan jalan tol Aceh masih banyak menimbulkan sengketa hukum ahli waris di pengadilan.

"Bahwa tanah bekas tsunami dan pembangunan tol di Aceh masih menimbulkan banyak sengketa waris di pengadilan," kata Ketua MS Jantho Aceh Besar Muhammad Redha Valevi, di Aceh Besar, Senin.

Masalah tersebut terkemuka dalam diskusi program Mahkamah Agung terkait hukum waris yang bertajuk eksistensi dan perkembangan hukum waris islam serta teknik penanganan perkara waris, di Aceh Besar.

Valevi menyampaikan, Aceh pernah dilanda tsunami 2004 silam yang mengakibatkan kehilangan beberapa level waris, dan memunculkan perdebatan yang sampai hari ini tak kunjung selesai.

"Faktanya banyak perkara waris yang masuk ke Mahkamah Syari'ah Jantho setiap tahunnya," ujarnya.

Selain itu, kata Valevi, pembangunan tol di Aceh juga telah menimbulkan sengketa-sengketa waris di tengah masyarakat.

Adapun perkara kewarisan yang ditangani oleh MS Jantho dalam kurun waktu empat tahun terakhir sejak 2020 hingga 2023 ini mencapai 49 sengketa. Diantaranya pada 2020 dan 2021 masing-masing 12 perkara, kemudian 2022 sebanyak 18 kasus dan hingga Agustus 2023 sudah ada 7 kasus kewarisan.

"Banyak kasus ditemukan itu generasi yang mewarisi sudah hilang akibat tsunami dan konflik Aceh. Maka perlu ada penggalian pembuktian oleh hakim lagi," kata Valevi.

Sementara itu, Ketua Mahkamah Syar'iyah Aceh, Rafi'uddin mengatakan, penyelesaian perkara waris terdapat banyak masalah. Misalnya, dari ahli waris, harta waris, dan pembagian waris.

Dari segi ahli waris, kata dia, pihaknya sering tertipu karena pemohon tidak memasukkan seluruh data ahli waris, sehingga terjadi ketimpangan, dan membuat sebuah perkara tidak dapat diterima walaupun bisa diajukan kembali.

"Sehingga hal-hal yang seperti itu kalau orang luar mengatakan kita tidak adil, padahal kita tidak cukup data atau bukti yang diberikan," kata Rafi'uddin.

Dalam kesempatan ini, Hakim Agung, Edi Riadi menuturkan bahwa hukum waris tidak berhenti dalam fikih dan perundang-undangan. Tetapi juga harus melihat rasa keadilan masyarakat.

"Karena itu merupakan suatu amanat dari UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim itu harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat," kata Edi.

Menurutnya, hakim harus selalu cepat dan antisipatif terhadap perkembangan hukum atau rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat, karena langkah yang paling utama seorang hakim adalah menegakkan keadilan.

"Kalau ada hukum yang dirasa masyarakat tidak pas, kita diberi kewenangan oleh Allah untuk meninggalkan hukum itu," demikian Edi Riadi.
Baca juga: Komisi III DPR apresiasi program sertifikat tanah wakaf di Aceh
Baca juga: Seritifikat Tanah "Bodong" Ditemukan di Aceh