Jakarta (ANTARA) - Jantung Sri Haryati seketika terpompa cepat saat harus berpikir keras demi menolak permintaan surat rujukan yang diajukan oleh dua pria bertubuh tegap dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Yahukimo, Papua.

Pengalamannya bertugas sebagai dokter umum RS Siloam di pedalaman Papua Selatan sejak 2013 membuat perempuan kelahiran Jakarta pada 51 tahun silam itu paham bahwa gerakan separatisme kerap menyalahgunakan surat rujukan dokter untuk berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain secara gratis lewat fasilitas pesawat terbang.

Alasan pertama yang dilontarkan Sri untuk menolak menerbitkan surat rujukan, sebab hasil diagnosis mereka hanya sakit mag ringan yang sebenarnya masih bisa ditangani di klinik.

Bukan hal yang mudah bagi dokter Sri menolak permintaan pemohon yang kala itu sedang dikuasai amarah tanpa ikut terpancing. Sri berusaha berpikir jernih dan bersikap tenang saat bertukar obrolan.

Sri pun menyampaikan kegundahannya manakala surat rujukan yang diterbitkan justru memicu hilangnya kepercayaan otoritas penerbangan terhadap kredibilitas dari klinik tempatnya bekerja.

Ia tidak ingin jika kelak ada pasien yang benar-benar butuh rujukan, justru dirugikan oleh keputusannya saat itu. "Saya tidak ingin orang pedalaman akan merasa rugi karena saya tidak lagi dipercaya," katanya.

Sri menyadari profesi dokter telah diikat oleh sumpah kewajiban melayani setiap pasien yang membutuhkan, tanpa terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian, atau kedudukan sosial.

Namun, dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu memilih untuk bersikap skeptis dalam mengambil keputusan. Jangan sampai surat rujukan yang semula bertujuan membantu pasien, justru berujung tudingan menyelundupkan pelaku kriminal bersenjata.

Alasan itu pun akhirnya dapat diterima oleh pemohon yang kemudian rela pulang dengan berbekal obat yang diberikan oleh Sri dari klinik.


Motivasi

Kini, genap 10 tahun Sri mengabdi sebagai tenaga kesehatan di tujuh klinik pedalaman Papua, yakni satu klinik di Tolikara, dua klinik di Intan Jaya, dua klinik di Yahukimo, satu klinik di Boven Digoel, dan satu klinik di Asmat.

Perkenalan Sri dengan masyarakat pedalaman Papua dimulai saat bergabung dalam program Clinton Foundation untuk mengurangi prevalensi HIV di Tanah Papua pada 2013.

Sri diminta membantu pelayanan di rumah sakit dan puskesmas yang memiliki layanan HIV, sebelum akhirnya bergabung dengan Siloam untuk membuka klinik sambil mendampingi program Sekolah Lentera Harapan.

Menjalani profesi sebagai dokter di zona konflik menjadi keputusan hidup yang ia ambil hingga saat ini. Alasannya, ada banyak masyarakat Papua yang jatuh sakit dan butuh akses kesehatan seperti halnya masyarakat di perkotaan.

Data Kementerian Kesehatan RI pada 2022 melaporkan terdapat kurang dari 600 dokter di tiga provinsi di Tanah Papua, yakni Papua Selatan 193 dokter, Papua Tengah 247 dokter, dan Papua Pegunungan sebanyak 154 dokter.

Jumlah tersebut terpaut jauh bila dibandingkan dengan situasi di Pulau Jawa yang mencapai ribuan dokter dalam satu wilayah kota besar.

Sri mengklasifikasikan daftar penyakit yang paling sering ia tangani dari rata-rata sekitar 1.000 lebih pasien per bulan di tujuh kliniknya, yakni HIV, tuberkulosis, malaria, kekurangan gizi, hingga imunisasi.

Tantangan geografis yang menyebabkan sulitnya koordinasi layanan membuat orang di pedalaman Papua belum dapat layanan kesehatan yang memadai seperti halnya masyarakat kota.

Peraih Anugerah Tenaga Kesehatan Teladan 2023 dari Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin itu tak segan hadir di sejumlah tempat yang sulit diakses, sebab tidak tercantum di dalam peta.

Tak hanya penduduk yang bermukim di rumah-rumah, alumnus SMAN 8 Jakarta Selatan itu kerap mengobati pasien dari Suku Korowai yang tinggal di dahan pepohonan dengan cara memanjat hingga ketinggian 20 meter.

Belum lagi menjangkau permukiman pasien yang dibelah lautan, seperti di Asmat. Musim kemarau memicu kasus dehidrasi, sebab penduduk lokal setempat mengandalkan air hujan.

Sri saat ini bekerja bersama 14 perawat dan satu rekan sejawat dokter untuk melayani pasien di tujuh klinik serta dengan mekanisme jemput bola.

Mereka menetap di asrama dengan fasilitas wifi dan telemedisin untuk memastikan pasokan obat yang terbagi dalam kelompok obat-obatan umum dan obat-obatan program pemerintah.

Obat umum dipasok dari program Dana Pertanggungjawaban Sosial (CSR) Siloam, sedangkan obat untuk program pemerintah dipasok dari Kemenkes, Dinas Kesehatan Provinsi, dan dinas kesehatan kabupaten.

"Saya sedang berusaha mengolaborasikan semua sektor yang melayani di Papua. Kami sebagai kelompok swasta tidak bisa kerja sendiri dan harus berjejaring dengan semua partner yang punya kontribusi di bagian masing-masing," katanya.


Perlindungan

Selama 10 tahun berkiprah, Sri dan kolega membuka relasi baru dengan masyarakat pedalaman Papua meski di tengah suasana konflik yang bisa datang tiba-tiba.

Sri tidak melengkapi diri dengan senjata pelindung saat berpraktik. Strategi perlindungan yang dilakukan adalah mendekati pihak gereja sebagai tokoh yang disegani masyarakat.

Hingga kini, Sri layaknya keluarga bagi penduduk sekitar sebagai andalan dalam memberikan pelayanan kesehatan sehingga sangat sulit bagi penduduk di sana membiarkan tenaga kesehatan terancam jiwanya.

Misalnya, saat konflik pecah di Tolikara yang terjadi baru-baru ini. Masyarakat sekitar bahu- membahu mengevakuasi Sri dan kolega ke lokasi aman.

"Selama masyarakat bilang mereka (KKB) sudah dekat dan ada di sini, lebih baik Tim Siloam keluar dan kami akan ikut masyarakat. Intinya harus dengar masyarakat dan gereja," ujarnya.

Sri tidak ingin ada lagi korban dari kalangan tenaga medis seperti yang sebelumnya pernah terjadi, saat muncul perkelahian antarsuku di lingkungan klinik. Umumnya korban adalah tenaga medis dari kalangan pria.

"Karena saya perempuan, biasanya kami dievakuasi ke dalam ruangan, yang kena parang, anak panah, biasanya yang laki-laki yang belakangan larinya," katanya.

Di tengah momentum HUT Ke-78 RI, kiprah Sri kolega patut diapresiasi dan menjadi inspirasi, khususnya bagi dokter muda agar mau melayani hingga ke ujung negeri.