Jakarta (ANTARA) - Bisa dibilang Indonesia memasuki usia yang tidak lagi muda pada angka 78 tahun. Akan tetapi, Indonesia dipastikan tengah berada di jalur yang tepat dalam mengukuhkan kemerdekaan dan kemandirian ekonominya lewat kebijakan hilirisasi.

Kebijakan hilirisasi dinilai berhasil mengubah wajah Indonesia di kancah global. Sejak dahulu, Indonesia dikenal sebagai bangsa dengan kekayaan alam yang berlimpah. Namun, sejak dahulu juga, pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah ruah itu tidak pernah dilakukan di Tanah Air.

Dahulu—dan hampir hingga sekarang, banyak pihak hanya mementingkan perut sendiri dengan mengeruk kekayaan alam untuk dijual dan diekspor. Namun, kini Pemerintah mulai menyadari bahwa seharusnya Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan mengolah bahan mentah itu sebelum diekspor.

Perhitungan Pemerintah juga tidak meleset. Sejak disetopnya ekspor bijih nikel, dan digenjotnya hilirisasi mineral kritis tersebut, Indonesia mendapatkan keuntungan berlipat ganda.

Saat ini, berdasarkan data Kemenperin, terdapat 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam konstruksi. Investasi yang telah tertanam di Indonesia sebesar 11 miliar dolar AS atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta sebesar 2,8 miliar dolar AS atau mendekati Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.

Selama masa konstruksi, smelter tersebut mempekerjakan sekitar 120 ribu orang tenaga kerja yang tersebar di berbagai provinsi yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, serta Banten.

Adapun hitungan nilai tambah yang dihasilkan dari bijih nikel hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat. Bahkan ditaksir mencapai 120,94 kali lipat jika diolah menjadi bahan baku baterai atau MHP.

Performa kontribusi logam dasar ke ekonomi tercatat tumbuh 11,39 persen pada triwulan I 2023 dengan PDB sebesar Rp66,8 triliun. Sektor itu juga mampu tumbuh di atas 15 persen sepanjang 2022 dengan nilai Rp124,29 triliun, begitu pula pada tahun 2021 tumbuh double digit setara Rp108,27 triliun. Bahkan pada tahun 2020 yang penuh tekanan akibat pandemi COVID-19, industri logam dasar berhasil tumbuh mengesankan.

Adapun dari sisi ekspor, Indonesia menikmati keuntungan berlipat karena pada tahun 2017-- 2018 ekspor nikel mentah hanya sekitar 3,3 miliar dolar AS namun nilainya melesat menjadi 20,9 miliar dolar AS pada 2021, bahkan mencapai 33,8 miliar dolar AS pada 2022 untuk ekspor produk turunan nikel.

Tidak hanya itu, pengolahan nikel juga mampu mengerek PDRB industri di provinsi tempat smelter nikel berada. Sulawesi Tenggara, sebagai produsen nikel terbesar di Indonesia, mengalami pertumbuhan PDRB industri pengolahan sebesar 16,74 persen pada tahun 2022, yang sebagian besar disumbang oleh industri pengolahan nikel.

Jika dilihat dari perolehan PNBP, sektor logam nikel juga mengalami kenaikan, terutama dari daerah-daerah penghasil nikel. Tahun 2022, PNBP dari daerah penghasil nikel mencapai Rp10,8 triliun, meningkat dari tahun 2021 yang sebesar Rp3,42 triliun. Total PNBP dari lima provinsi penghasil nikel mencapai Rp20,46 triliun sepanjang 2021 hingga triwulan II 2023, dengan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan penyumbang terbesar PNBP (Rp8,73 triliun), disusul provinsi Maluku Utara (Rp6,23 triliun).

Belum lagi dampak keberadaan smelter nikel terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di wilayah sekitar smelter, yang sekaligus meningkatkan aglomerasi ekonomi di wilayah tersebut.

Maka, tidak salah jika Presiden Jokowi saat berpidato pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 menekankan kebijakan hilirisasi sumber daya alam harus terus dilanjutkan karena akan bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.

Presiden Jokowi menegaskan Indonesia tidak boleh hanya menjadi negara kaya sumber daya alam, namun tidak mampu mengelola kekayaan tersebut sehingga tidak mendapatkan nilai tambah ekonomi.

Status negara kaya sumber daya alam saja tidak cukup karena dikhawatirkan akan membuat Indonesia menjadi bangsa pemalas tanpa memperoleh nilai tambah.

“Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumber daya, mampu memberikan nilai tambah dan menyejahterakan rakyatnya,” ujarnya.

Tidak sekadar mencari nilai tambah dari sumber daya alam, penekanan terhadap keberlanjutan lingkungan juga mendapat perhatian penting dari pemerintah.

Hal itu lantaran hilirisasi dan ekonomi hijau dapat menjadi jendela kesempatan (windows opportunity) Indonesia untuk meraih kemajuan karena Tanah Air sangat kaya dengan kandungan sumber daya alam.


Peta jalan hilirisasi

Pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM telah menetapkan peta jalan hilirisasi investasi strategis dengan potensi sebesar sekira 545,3 miliar dolar AS (setara Rp8.200 triliun dengan kurs Rp15.200 per dolar AS) sepanjang 2023-2035 untuk 21 komoditas dari delapan sektor prioritas.

Secara rinci, potensi investasi hilirisasi di sektor mineral dan batu bara sebesar 427,1 miliar dolar AS, minyak dan gas Bumi sebesar 67,6 miliar dolar AS, serta perkebunan, perikanan, kelautan, dan kehutanan sebesar 50,6 miliar dolar AS.

Penyusunan peta jalan hilirisasi investasi telah dimulai sejak bulan Juni 2022. Peta jalan ini dinilai penting sebagai pedoman pengembangan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam yang jadi salah satu dari lima agenda besar pemerintah Indonesia dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.

Pemerintah pun terus mendorong penerapan hilirisasi di sektor-sektor lainnya, khususnya pangan. Salah dua dari komoditas pangan yang tengah terus digenjot hilirisasinya adalah kelapa sawit dan rumput laut.

Hilirisasi industri kelapa sawit sejatinya konsisten dijalankan sejak tahun 2007, mengingat kala itu ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, nonpangan, dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh negeri ini.

Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan. Hasilnya, pada tahun 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) yang tadinya hanya sekitar 25 juta ton, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitasnya meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada tahun 2022.

Sementara itu, hilirisasi rumput laut digenjot lantaran ekspor rumput laut asal Indonesia mencapai sekitar 30 persen dari total volume ekspor rumput laut dunia. Jumlah ekspor itu menempatkan Indonesia sebagai pengekspor rumput laut terbesar.

Sayangnya, dari sisi nilai ekspor, Indonesia menempati urutan kedua setelah China sehingga hilirisasi mutlak dilakukan untuk bisa meningkatkan nilai tambah komoditas rumput laut.


Jadi negara maju

Kebijakan hilirisasi sendiri diklaim sebagai cara ampuh agar Indonesia bisa keluar dari jeratan negara berpendapatan menengah (middle income country).

Terbukti, Bank Dunia kembali memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah ke atas (upper-middle income countries). Menurut Bank Dunia, Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tercatat naik sebesar 9,8 persen menjadi 4.580 dolar AS di 2022, naik dari posisi 2021 sebesar 4.170 dolar AS.

Indonesia sempat masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas di tahun 2019. Akan tetapi, pandemi COVID-19 menurunkan kembali posisi Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah (Lower-Middle Income Country/LMIC) pada tahun 2020.

Kembalinya Indonesia ke kelompok negara berpendapatan menengah atas dinilai tidak terlepas dari efektivitas penanganan pandemi, pelaksanaan Program Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), serta transformasi ekonomi melalui hilirisasi sumber daya alam.

Dampak signifikan kebijakan hilirisasi sumber daya alam telah berhasil mendongkrak kinerja ekspor dan memperkuat keseimbangan eksternal yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara di dunia yang mampu pulih cepat dan kuat.

Dengan kata lain, hilirisasi menjadi satu kunci agar ambisi Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2045 nanti bisa terwujud.

Indonesia harus mampu melakukan setidaknya lima hal, yakni memulihkan perekonomian di tengah berbagai tantangan global; meningkatkan efisiensi melalui digitalisasi; memperkuat ketahanan ekonomi melalui peningkatan dana desa; mitigasi dampak perubahan iklim melalui dekarbonisasi dan transisi energi; serta transformasi ekonomi dari berbasis komoditas menjadi berbasis industri.

Transformasi ekonomi yang mempertimbangkan kebijakan hilirisasi menjadi faktor penentu perekonomian Indonesia agar bisa tetap merdeka dan berdaulat.

Lebih dari itu, memberi kesejahteraan bagi bangsa ini.