Jakarta (ANTARA) - Siang itu panas begitu menyengat. Kulit di ujung kepala bak terbakar karena dijilati sinar Matahari.

Semua orang mengernyitkan dahi kala berjalan, sibuk dengan langkah masing-masing. Pengojek online yang beradu cepat dengan pengendara sepeda motor lain menambah semrawut suasana siang itu.

Kondisi itu terlihat di sebuah Jalan Palmerah I/ Inspeksi Slipi, Palmerah, Jakarta Barat, pekan ini.

Kelurahan Palmerah merupakan salah satu kelurahan yang diupayakan mendapatkan gelar open defecation free (ODF) atau warga tidak ada yang buang air besar sembarangan.

Julukan itu disematkan pemerintah untuk wilayah yang sudah memiliki fasilitas sanitasi atau tangki septik yang layak.

Dengan tangki septik yang layak, warga terkhusus anak-anak, terhindar dari lingkungan yang kotor sehingga potensi terkena tengkes atau stunting bisa dihindari.

Kembali ke lokasi, di sebelah jalan berukuran sekitar 1 meter tersebut, tampak sebuah jembatan cembung yang hanya bisa dilalui dua sepeda motor berpapasan.

Jembatan itu melintasi Kali Inspeksi Grogol dan menghubungkan Jalan Palmerah I dengan sebuah permukiman padat penduduk.

Di ujung jembatan menuju permukiman tersebut, deretan rumah tidak rapih langsung menyambut mata.

Rata-rata rumah tidak berteras sehingga banyak warga yang memilih duduk di bibir kali untuk bersantai dan bercengkerama.

Di sela-sela permukiman padat tersebut terdapat gang kecil tempat warga keluar masuk.

Kira-kira begitulah gambaran luar dari permukiman padat penduduk RT 9/RW 7 Kelurahan Palmerah, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat

Lantas pewarta Antara coba menggerakkan kaki menyusuri gang yang lebarnya hanya 1 meter tersebut.

Saat melangkahkan kaki pertama di bibir gang, kesan padat dan sesak langsung terasa. Di kanan kiri jalan ada banyak rumah kontrakan saling berhadapan.

Sesekali ada sepeda motor yang terparkir di depan rumah sehingga membuat jalan semakin sempit.

Di setiap langkah, hidung pun selalu disajikan aroma beragam. Dari mulai aroma bawang dan terasi yang sedang digoreng dari salah satu rumah, wangi pembersih lantai karena ada warga yang mengepel teras, hingga aroma pemutih kain dari baju dan celana yang dijemur di teras rumah.

Kaki melangkah di atas sepetak selokan yang ditutup beton sebagai resapan air jika hujan datang. Semakin jauh kaki melangkah, kian berbeda pula pemandangannya.

Sinar Matahari yang tadinya menunjukkan keangkuhannya, perlahan mulai malu-malu. Sinarnya gagal menembus lorong karena atap rumah kompak menutup masuknya cahaya di jalan setapak itu.

Di tengah jalan pun ada sekumpulan ibu berdaster tengah duduk bersama. Salah seorang dari mereka memegang piring kecil berisi sedikit nasi dan sendok di tangan kanan.

Dia sibuk menyuapi anaknya yang sedang asik berlarian membelah gang itu. Semakin ke dalam, jarak antara rumah pun semakin sempit.

Sesak kian terasa hingga akhirnya sesekali butir keringat kala itu mengalir di jidat dan punggung.

Namun kondisi itu tidak menyurutkan niat kumpulan ibu itu untuk saling bercengkerama di teras sebuah rumah.

Sulastri, 45, salah seorang dari kumpulan ibu itu mengaku sudah 20 tahun hidup di salah satu rumah di permukiman ini.

Selama 20 tahu pula, dia tidak punya tangki septik. “Saya enggak punya tangki septik, yang lain banyak juga yang enggak punya,” kata dia.

Selama itu dia dan keluarga harus buang air di kamar mandi umum yang ada di sebelah rumahnya.

Sulastri mengaku tidak bisa memiliki tangki septik karena tidak punya lahan dan uang yang cukup.

Terang saja, rumah Sulastri begitu berimpitan dengan jalan dan rumah lainnya.

Sebagian warga yang tidak punya tangki septik akhirnya memang harus buang air ke saluran yang bermuara ke kali. Padahal saluran tersebut berdekatan dengan sumber air bersih warga.

Saat ditanya apakah Sulastri takut keluarganya mengonsumsi air tercemar kotoran, dengan polos ia menjawab “Enggak, saya enggak pernah kepikiran itu,” ujar dia.

Belakangan, Sulastri memahami bahwa hal tersebut berbahaya bagi kesehatan, terkhusus untuk anak.

Melalui sosialisasi yang dilakukan petugas kecamatan dan kelurahan, dia mengetahui bahwa hal tersebut dapat menyebabkan anak mengalami gizi buruk hingga tengkes.

Sulastri dan beberapa warga lainnya telah didata untuk mendapatkan fasilitas tangki septik gratis.

Sulastri pun menyambut gembira rencana itu. Dia menghitung lebih dari 20 keluarga di RT-nya yang masuk ke dalam daftar penerima tangki septik.

Dia dan warga langsung memasang angan untuk mandi dan buang air di rumahnya sendiri. Sesuatu yang tidak pernah dia rasakan selama 20 tahun terakhir.

Sambil menunggu realisasi kabar baik tersebut, Sulastri sementara harus tahan melakukan rutinitas antre di kamar mandi umum samping rumahnya setiap pagi.

Kamar mandi itu begitu gelap, lembab, dan menguarkan bau tidak sedap dari setiap pintunya. Ruang kamar mandi umum itu berbentuk lorong yang dilengkapi dengan empat kamar mandi di sisi kanan dan dua kamar mandi di sisi kiri. Lokasi kamar mandi itu berada tepat di belakang mushala.

Adapun tangki septik untuk kamar mandi umum itu berada tepat di bawah mushala. Salah satu petugas penjaga kamar mandi bernama Sidup mengatakan tangki septik komunal ini berukuran 4 x 8 meter.

Tangki septik itulah yang selama ini dipakai warga dalam kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir.


Upaya pemerintah

Berdasarkan data, Pemerintah Kota Jakarta Barat menyebutkan 523.000 keluarga sudah memiliki fasilitas tangki septik yang layak.

Tercatat pula ada 13 kelurahan yang sejauh ini sudah mendapatkan predikat ODF. Ke-13 kelurahan itu meliputi Kelurahan Pekojan, Kelurahan Duri Utara, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kelurahan Tanjung Duren Selatan, Kelurahan Meruya Selatan, Kelurahan Joglo, Kelurahan Tamansari, Kelurahan Kalideres, Kelurahan Roa Malaka, kelurahan Srengseng, Kelurahan Tanjung Utara, Kelurahan Pegadungan, dan Kelurahan Meruya Utara.

Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat Erizon Safari menyatakan saat ini pihaknya tengah fokus meng-ODF-kan 4 kelurahan, salah satunya Palmerah.

Berdasarkan data pada 2022, kasus tengkes yang ditemukan di Kelurahan Palmerah mencapai 189. Angka tersebut dapat naik turun dengan cepat.

"Angka kasusnya itu fluktuatif. Jadi sekarang bisa tinggi tapi besok bisa rendah," kata Erizon saat dihubungi di Jakarta.

Beberapa faktor yang menyebabkan kelurahan tersebut belum berpredikat ODF, di antaranya tidak memiliki lahan untuk membangun tangki septik hingga sudah menjadi kebiasaan atau tradisi dari warganya.

"Perilaku warga tersebut perlu diperbaiki. Mengubah prilaku memang tidak mudah sehingga perlu bantuan kader untuk menyosialisasikan pola hidup sehat," kata Erizon.

Maka dari itu, sosialisasi dan mendidik warga tentang pentingnya tangki septik, menjadi hal pertama yang harus dilakukan.

Setelah itu dilakukan, kini Pemerintah Kota Jakarta Barat fokus menggandeng beragam perusahaan untuk membangun tangki septik di Kelurahan Palmerah.

Yang paling baru, Erizon menyebut Pemkot Jakarta Barat bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) membangun tangki septik.

Saat ini sedang dalam pendataan, warga mana saja yang membutuhkan tangki septik pribadi dan komunal.

Setelah didata, pihaknya akan bekerja sama untuk mencari lahan yang layak untuk dibangun tangki septik.

Pada saat sama Camat Palmerah Joko Mulyono membenarkan bahwa pihaknya mengandalkan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan (CSR) untuk membangun tangki septik.

Dari data yang dimiliki Joko, tercatat ada 109 keluarga yang tidak memiliki tangki septik. Mereka telah terdata dan bakal menjadi penerima bantuan tangki septik.

Namun demikian, pihaknya harus memastikan apakah ke-109 keluarga ini berlatar belakang menengah ke atas atau tidak.

"Kalau dia orang mampu, kami pakai aturan harus punya tangki septik pribadi, kalau tidak mampu kami pakai CSR buat bantu," jelas dia.

Setiap warga ada yang meminta tangki septik pribadi hingga komunal. Maka dari itu, pihak kecamatan melakukan pemetaan sesuai dengan lokasi rumah.

Jika kondisi rumah satu dengan rumah lainnya saling berdekatan, pihaknya akan membuat tangki septik komunal untuk tiga sampai empat rumah.

Namun jika jarak rumah satu dengan lainnya berjauhan, pihaknya akan membangun tangki septik pribadi.

Tidak hanya itu, pihaknya juga memetakan lokasi rumah yang berdekatan dengan kamar mandi umum.

Jika kondisinya memungkinkan, pihaknya akan membuat pipa penyambung dari rumah warga ke tangki septik komunal milik kamar mandi umum tersebut.

Joko optimistis pada tahun ini seluruh warga di Kelurahan Palmerah bisa mendapatkan tangki septik layak sehingga wilayah ini layak mendapat predikat ODF.



Tidak hanya tangki septik

Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat Erizon Safari menyatakan pembangunan tangki septik layak bukanlah satu-satunya upaya untuk menurunkan kasus tengkes.

Tentu saja perbaikan gizi bayi hingga memperhatikan kesehatan calon ibu juga menjadi faktor utama.

Karenanya, selain fokus perolehan ODF, pihaknya melakukan upaya dalam mencegah tengkes.

Salah satu upaya yang telah dilakukan yakni menggandeng universitas dalam penanganan tengkes.

Untuk tahun ini, Erizon sudah menjalin kerja sama dengan beberapa universitas, yakni Universitas Trisakti, Universitas Tarumanagara, dan Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida).

Dokter spesialis yang menjadi tenaga pengajar di universitas itu dilibatkan untuk pemeriksaan fisik terhadap anak-anak yang diduga mengidap tengkes.

Pemeriksaan meliputi tinggi badan anak hingga gizi yang dia konsumsi sehari-hari. Pihaknya juga akan memeriksa pola hidup anak tersebut.

Tidak hanya itu, dokter dari universitas juga akan memeriksa kondisi psikologi anak yang diduga mengidap tengkes.

Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter akan memberikan rekomendasi layak atau tidaknya ditangani secara serius di rumah sakit

"Kalau stunting, kami kirim ke rumah sakit segera untuk mendapatkan penanganan," kata Erizon.

Tidak hanya itu, pihaknya juga menggandeng Suku Dinas Ketahanan Pangan Kelautan dan Perikanan (KPKP) untuk program pemberian pangan berprotein tinggi, seperti telur dan daging murah kepada warga.

Kesehatan calon ibu juga menjadi perhatian khusus Sudinkes dalam mencega tengkes. Maka dari itu, pihaknya gencar menggelar program "Posyandu Remaja".

Program kesehatan ini menyasar remaja laki-laki usia 16 atau 17 tahun dan remaja perempuan yang sudah melewati masa menstruasi.

Dalam program tersebut, pengurus posyandu terbuka menerima remaja yang mau berkonsultasi hingga melakukan pemeriksaan kesehatan.

Umumnya, untuk remaja perempuan akan dilakukan pemeriksaan kesehatan seperti berat badan, kualitas gizi, hingga kondisi darah.

Jika dalam pemeriksaan ditemukan ada remaja yang mengalami kekurangan darah atau anemia, pihaknya akan memberikan pil penambah darah secara gratis.

Pil penambah darah penting agar kondisi calon ibu tetap bugar dan tidak kekurangan darah.

Tidak hanya kepada remaja perempuan, pemeriksaan juga dilakukan untuk para remaja laki-laki. Mereka yang memiliki penyakit tertentu akan dianjurkan untuk menjaga pola hidup sehat.

Petugas memberikan edukasi terkait stunting, juga mengedukasi kalangan remaja tentang bahaya merokok, seks bebas, hingga narkoba.

Tidak hanya sampai di situ, Posyandu Remaja juga memberikan penyuluhan terkait teknis bersalin hingga cara merawat bayi yang benar setelah melahirkan.

Erizon meyakini penanganan tengkes memang merupakan kerja "keroyokan", harus melibatkan seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).

Peran masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran hidup bersih juga sangat berpengaruh dalam menurunkan angka tengkes.

Melalui berbagai langkah tersebut, tengkes yang menjadi masalah turun temurun antargenerasi, bisa teratasi.

Membangun tangki septik adalah satu dari sekian upaya yang dilakukan. Keberadaan tangki septik tidak hanya menghindarkan anak dari tengkes tetapi juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat.