Jakarta (ANTARA) - Analis Bank Woori Saudara BWS Rully mengatakan pelemahan Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dipengaruhi yield obligasi pemerintah AS yang meningkat karena data inflasi AS secara year on year (yoy) meningkat 3,2 persen dibandingkan sebelumnya 3,0 persen dan ekspektasi 3,3 persen.

“Data inflasi AS masih akan memberikan efek panjang terhadap pergerakan nilai tukar rupiah dikarenakan sentimen positif dari China masih meredup dan belum dapat dijadikan penopang penguatan rupiah,” ungkap dia ketika dihubungi Antara, Jakarta, Jumat.

Pada penutupan perdagangan hari, Rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,22 persen atau 34 poin menjadi Rp15.219 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.185 per dolar AS.

Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis turut melemah ke posisi Rp15.225 dari sebelumnya Rp15.204.

Senada, Analis Pasar Mata Uang Lukman Leong menilai Rupiah melemah karena peningkatan data inflasi AS yoy di bawah ekspektasi.

“Rupiah melemah setelah data menunjukkan inflasi AS yoy yang naik pertama kalinya dalam setahun walau sedikit di bawah perkiraan, disusul pernyataan The Fed (San Francisco Fed) President Mary Daly membuat dolar AS rebound dari penurunan awal,” ucapnya.

Melihat sentimen dari dalam negeri, Lukman menilai masih cukup positif. “Namun, Rupiah dan mata uang regional saat ini tertekan oleh penguatan dolar dan kekuatiran perlambatan ekonomi di China,” katanya.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyampaikan bahwa mata uang Rupiah ditutup melemah 34 poin, walaupun sebelumnya sempat melemah 45 poin di level Rp15.219 dari penutupan sebelumnya di level Rp15.185.

“Untuk perdagangan Senin depan, mata uang Rupiah fluktuatif, namun ditutup melemah direntang Rp15.200- Rp15.260 per dolar AS,” ujar Ibrahim.