Jakarta (ANTARA) - Indonesia sedang bersiap memasuki babak penting dalam perdagangan karbon, yakni operasionalisasi bursa karbon.

Direncanakan, mulai September 2023, pasar karbon mulai dibuka, sehingga pemangku kepentingan atau para pihak (BUMN dan swasta), yang ingin menjual nilai ekonomi dari emisi karbon bisa melakukan transaksi di Indonesia.

Begitu juga perusahaan yang ingin mengurangi emisi karbon, bisa membelinya dari entitas bisnis lain yang memiliki surplus stok karbon.

Di antara negara terdekat Indonesia yang sudah memiliki pasar karbon adalah Australia dan Singapura.

Beberapa entitas (korporasi) di Indonesia, telah menjual nilai ekonomi karbon di Singapura. Karena dijual di pasar Singapura, jual beli yang dilakukan mengikuti aturan yang berlaku di negara tersebut.

Pasar karbon berbasis pada regulasi UU Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), utamanya Pasal 23 yang berbunyi, "Perdagangan Karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon".

Perdagangan karbon ini diharapkan dapat meningkatkan capaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rangka pemenuhan Nationally Determined Contributions (NDC) di sektor energi, sesuai Kesepakatan Paris 2015.

Perdagangan karbon adalah implementasi target enhanced NDC, menjadi 32 persen atau setara 912 juta ton CO2 pada 2030, sesuai ambisi Indonesia mengejar net zero emissions (emisi nol bersih) tahun 2060, atau lebih cepat bila memungkinkan.


Potensi perdagangan karbon

Indonesia telah bergabung dalam pasar karbon global, ketika regulasi yang mengatur perdagangan karbon diterbitkan, yaitu Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.

Peraturan ini mengatur penerapan nilai ekonomi karbon (NEK) untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional, dan pengendalian emisi GRK dalam pembangunan nasional.

Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 (PP 98/2021) diterbitkan sebagai instrumen pembiayaan iklim khusus untuk mencapai NDC Indonesia.

Perpres tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo pada akhir Oktober 2021, sesaat sebelum berangkat ke Glasgow untuk menghadiri COP 26.

Sebagaimana diatur dalam PP 98/2021, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui jual beli unit karbon, baik di dalam negeri maupun internasional, melalui skema perdagangan emisi atau skema kompensasi emisi GRK.

Regulasi ini menjadi semacam platform, bagaimana skema pasar karbon bisa menjadi stimulan dalam pencapaian target NDC.

Perpres Nomor 98 Tahun 2021 ditujukan untuk pasar domestik maupun internasional. Apabila perdagangan karbon terjadi antara dua entitas di dalam negeri, maka perhitungan pengurangan emisi GRK yang dicapai akan tetap diperhitungkan sebagai kontribusi Indonesia.

Harapannya, dunia internasional pun mau mewujudkan penetapan harga karbon yang adil bagi negara-negara pemilik cadangan karbon.

Besarnya potensi penyerapan karbon, menjadikan posisi Indonesia signifikan dalam pelestarian lingkungan di tingkat global.

Potensi besar ini dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam pergaulan internasional dan harus menjadi basis dari perekonomian hijau. Target Indonesia menuju netralitas karbon tahun 2060 sudah bisa dimulai dari sekarang.

Pasar karbon menjadi salah satu medium dalam ambisi mencapai netralitas karbon. Perdagangan karbon berdampak baik bagi perekonomian negara dan kelestarian lingkungan.

Semua keuntungan berorientasi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Bagi ekonomi, perdagangan karbon memungkinkan peluang investasi yang besar untuk pengembangan teknologi, industri, dan investasi energi hijau.

Tumbuhnya investasi di bidang-bidang tersebut meningkatkan pendapatan negara, keuntungan industri, dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.

Perdagangan karbon dalam jangka panjang, dapat memicu semua pihak di suatu negara untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari setiap aktivitasnya. Semakin rendah karbon yang kita hasilkan, semakin besar peluang untuk menjual izin karbon ke negara lain.

Semangat mengurangi emisi menjadi modal penting untuk melakukan berbagai aksi pemulihan lingkungan.

Dalam konteks pasar karbon pula, teknologi penangkapan, utilisasi dan penyimpanan karbon dalam industri hulu minyak dan gas bumi dinilai kian diperlukan.

Selain meningkatkan produksi, teknologi itu juga mengurangi emisi yang dihasilkan dari kegiatan hulu migas. Sejumlah proyek Pertamina, seperti Abadi Masela, juga akan menerapkan teknologi tersebut.


Kesiapan BUMN

Carbon capture, utilization and storage (CCS/CCUS) adalah teknologi penangkapan dan penyimpanan emisi karbon, sehingga tidak terlepas ke atmosfer.

Karbon kemudian juga dimanfaatkan untuk peningkatan produksi migas. Pada akhir Juli 2023, CCS/CCUS telah dibahas intensif dalam forum Indonesian Petroleum Association (IPA) 2023 di ICE BSD, Tangerang, Banten. Sejumlah kerja sama terkait dengan CCS/CCUS telah disepakati dalam forum tersebut.

BUMN migas, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), telah menandatangani kesepakatan untuk membahas, mengeksplorasi, serta kerja sama lain dalam transisi energi dengan pihak swasta, seperti Mubadala, Posco International, Japex, dan Jogmec.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan dari sejumlah penelitian diketahui bahwa di Indonesia potensi kapasitas penyimpanan CO2 pada reservoir yang telah kosong, mencapai 80-400 gigaton CO2.

Dengan potensi sebesar itu, Indonesia bisa berkontribusi signifikan dalam penurunan emisi di dunia.

Kegiatan tersebut bisa dihubungkan dengan upaya Pertamina menginisiasi pilot project perdagangan karbon yang dilakukan antar-subholding, yaitu Pertamina NRE, Subholding Upstream (PHE), dan Subholding Refinery & Petrochemical (KPI).

Kolaborasi ketiganya ditandai dengan penandatanganan heads of agreement (HoA) dalam acara G20 State-owned Enterprises International Conference di Nusa Dua, akhir Oktober tahun lalu.

Strategi dekarbonisasi Pertamina merupakan bagian yang tidak bisa lepas dari ESG. Komitmen ESG (Environment, Social, Governance) sendiri sudah dibuktikan melalui perolehan rating ESG, yang berhasil mendapatkan peringkat 24 dari 254 perusahaan penghasil minyak global.

Dekarbonisasi ini merupakan implementasi dari penerapan ESG PT KPI dalam hal pengurangan emisi karbon untuk mendukung Sustainable Development Goals, yaitu soal Penanganan Perubahan Iklim.

Perdagangan karbon di internal Pertamina merupakan bagian dari upaya dekarbonisasi Pertamina Group, sekaligus bagian dari roadmap emisi nol bersih 2060.

Dalam inisiatif ini PHE dan KPI sebagai perusahaan yang menghasilkan karbon akan membeli kredit karbon dari Pertamina NRE sebagai kompensasinya.

PT KPI juga menerapkan prinsip-prinsip operation excellent mencakup efisiensi energi dan efisiensi proses produksi lainnya guna mendukung dekarbonisasi.

Pertamina NRE sebagai ujung tombak Pertamina dalam transisi energi, siap untuk mengawal upaya dekarbonisasi di internal Pertamina Grup.

Penandatanganan HoA ini merupakan awal yang sangat baik untuk kolaborasi perdagangan karbon Pertamina Group ke depan dan kita sangat antusias untuk berkolaborasi dengan subholding lainnya demi mendukung net zero emission.

PHE, sebagai subholding upstream, merupakan anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang mengelola bisnis hulu migas di wilayah kerja domestik dan internasional.

PHE telah terdaftar dalam United Nations Global Compact (UNGC) sebagai partisipan/member sejak Juni 2022. PHE berkomitmen pada Sepuluh Prinsip Universal atau "Ten Principles" dari UNGC dalam strategi dan operasionalnya, sebagai bagian dari penerapan aspek ESG.

PHE akan terus mengembangkan pengelolaan operasi di dalam dan luar negeri secara profesional untuk mewujudkan pencapaian menjadi perusahaan minyak dan gas bumi kelas dunia yang environmentally friendly, socially responsible, dan good governance.


*) Dr Taufan Hunneman adalah dosen UCIC, Cirebon.