Teheran (ANTARA News) - Dari tempat saya yang jauh di Teheran, Iran, saya
turut menyampaikan dukacita amat mendalam atas kepergian Abun Sanda, wartawan harian umum Kompas sekaligus sahabat
saya sepanjang lebih dari seperempat abad terakhir.
Abun wafat karena serangan
jantung, di Jakarta, Kamis petang, 4
April, sekitar pukul 17.00 WIB, saat sedang bertugas di kantornya, gedung Kompas
di kawasan Palmerah Selatan.
Saya menerima kabar duka ini dari adik saya (yang
juga pernah bekerja di Kompas, dan mengenal almarhum), beberapa menit setelah
Abun melepaskan napas terakhirnya, di poliklinik Kompas yang terletak di
seberang gedung Kompas.
Saya sangat terperanjat
menerima berita ini. Namun, saya kemudian menghela napas panjang sambil
menguatkan hati dan bersandar pada keikhlasan. Semua kita memang pasti akan
tiba pada ujung yang sama, hanya urusan waktu, tempat dan cara saja yang
membedakannya.
Abun adalah salah seorang sahabat terdekat saya
semasa saya bekerja di Kompas (mulai 1987 hingga tahun 1995), dan pada periode
sesudahnya kendati kami sudah tak sekantor lagi.
Saya masuk melalui Kompas Biro
Jawa Barat (yang dikomandani oleh wartawan kawakan, Her Suganda, guru awal saya
di bidang jurnalistik), dengan kantor di Bandung.
Adapun Abun memulai ikatan dengan Kompas sebagai koresponden untuk wilayah
Sulawesi Selatan, yang berkantor di Makassar (yang dipimpin oleh Fahmy Myala,
juga salah seorang wartawan tangguh yang pernah dimiliki Kompas). Kami masuk di
Kompas pada tahun yang sama, 1987.
Sekitar dua pekan lalu saya
masih sempat bertukar pesan singkat (SMS) dengan Abun. Semua tampak baik-baik
saja. Namun, siapapun memang tak ada yang pernah tahu, bahkan tak ada yang pernah
bisa menerka, kapan sang maut datang memagut.
Sekarang Abun telah pergi,
menyusul istrinya Anita, yang wafat di bulan Maret 2009. Saya masih ingat
betapa dalam duka Abun saat kehilangan istrinya, sebagaimana yang saya rasakan
langsung saat dia mendekap saya dengan sangat erat, begitu melihat saya di
antara para tetamu yang hadir di ruang duka rumah sakit Dharmais, saat akan
melepas jenazah Anita.
Belakangan dia bilang bahwa
dia meratap sesunggukan di bahu saya, karena saya adalah salah satu dari tiga
orang yang tahu dari awal riwayat pertemuan dan percintaannya dengan Anita.
Salah seorang lainnya dari tiga orang ini adalah Budiman Tanuredjo, yang kini
menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Kompas.
Mei tahun lalu, Abun sempat berkunjung ke rumah
saya di Depok, menghabiskan waktu di penggal pagi itu, berbincang santai tentang
berbagai hal. Sesekali Abun melepas tawanya yang selalu menggelegar.
Saat itu dia juga membeberkan
rencananya untuk berkunjung ke London, Inggris. Abun sudah menginjakkan kaki ke
berbagai metropolis dunia, terutama dalam kaitan tugasnya sebagai wartawan.
Hanya sedikit saja kota besar yang belum pernah dia jejaki, dan London adalah salah
satu dari daftar pendek itu.
Dia banyak bertanya tentang
London, karena saya memang sempat menjadi mukimin selama hampir enam tahun di sana,
saat saya telah hijrah dari Kompas di tahun 1995 dan melanjutkan karir
jurnalistik sebagai wartawan BBC di London. Kami berjanji akan berjumpa di sana,
di akhir Mei 2012.
Ternyata, rencana kami ini
tak terwujud, karena visa kunjungannya ke Inggris baru beres diproses agak
terlambat dari tanggal yang sudah direncanakan semula. Abun akhirnya memang
singgah ke London, namun saya setelah saya meninggalkan kota itu beberapa hari
sebelumnya.
Saya terkenang kembali masa-masa kami di Kompas.
Saya pernah berbulan-bulan tinggal satu kamar dengannya di mess Kompas di Jalan
Tanjung, di belakang kantor Kompas. Sesekali saya terjaga juga oleh suara
dengkurnya yang sama menggelegarnya dengan tawanya.
Saya mengikuti pendidikan
internal dalam angkatan yang sama dengan Abun. Juga bersama Taufik Ikram Jamil,
sastrawan asal Riau yang sudah meninggalkan Kompas beberapa tahun lalu dan kini
bermukim di Pekanbaru.
Kami semua digembleng
berbulan-bulan di Mess Anggrek, tempat pendidikan wartawan Kompas, berlokasi di
Jalan Anggrek, tak jauh dari masjid Kompas
di Pasar Palmerah. Melakukan liputan bersama dalam berbagai kesempatan,
terutama liputan-liputan untuk berita metropolitan, dan saya sering dibonceng
Abun dengan vespanya menelusuri berbagai pojok Jakarta.
Abun adalah wartawan yang tangguh, nyaris tak
pernah menyerah, tak mau patah semangat kendati dalam beberapa kesempatan saya
tahu persis bahwa dia mengalami penat yang sangat, terutama jika harus berjalan
kaki untuk jarak yang panjang. Memang tak ringan bagi dia untuk membawa tubuhnya
yang terbilang tambun.
Salah satu momen yang saya
ingat adalah saat kami melakukan liputan bersama di pelosok Pulau Batam, di
bulan Oktober 1988, sudah hampir seperempat abad silam. Kami berjalan kaki, dan
saya agak di depan.
Beberapa saat kemudian baru
saya sadar bahwa tak ada lagi suara langkah kaki di dekat saya, dan saya lihat
Abun tertinggal cukup jauh di belakang dengan napas yang agak bergegas.
Namun,
hanya berselang beberapa menit kemudian, kepalanya tegak kembali dan
semangatnya tak patah. Kami berhasil merampungkan pencarian bahan liputan di
hari itu.
Selain ihwal semangatnya, yang juga saya kagumi
dari Abun adalah kesediaannya untuk meliput peristiwa apa pun. Tak ada urusan
pilih-pilih, baik itu untuk liputan yang sifatnya prakarsa sendiri, ataupun
yang ditugaskan oleh kantor.
“Yang penting berkarya,”
begitu mottonya. Abun juga termasuk penulis-cepat. Dulu kami sering main
adu-cepat dalam menyelesaikan tulisan, baik tulisan berita ringkas, maupun feature yang panjang.
Hingga jelang maut datang menjemput pun Abun masih menunaikan tugasnya
sebagai wartawan. Satu tulisan tentang properti baru saja dia tuntaskan tak
lama sebelum serangan jantung itu merenggut hidupnya. Abun memang petarung
sejati: “pergi di medan laga jurnalisme.”
Abun juga amat bersahaja dan rendah hati,
termasuk dalam hal mendengar, berbagi, dan belajar dari orang lain, baik itu
dengan narasumber, maupun belajar dari kawan sesama wartawan. Kerendah-hatiannya
juga tercermin dari selera makannya yang tak berubah, meskipun dia sudah
menduduki posisi penting di Kompas.
Salah satu makanan kegemarannya
adalah masakan ala Padang. Saat saya bekerja di UNESCO Jakarta selama tahun
2000 hingga 2010, sudah seperti acara rutin bagi Abun, setidaknya sekali dalam
tiga pekan, menyambangi saya ke kantor saat jeda waktu makan siang.
Biasanya pagi harinya dia
akan kontak saya entah lewat telepon ataupun ber-SMS, dengan pesan yang selalu
mirip: “Bos, siang ini kita berpadang ria lagi ya.”
Itu adalah instruksi untuk
saya, agar saya menyiapkan nasi bungkus masakan padang yang dibeli oleh office boy kantor UNESCO di salah satu
warung Padang tak jauh dari kantor, yang kesedapannya boleh diandalkan.
Siangnya Abun akan muncul di
pintu ruang kerja saya. Petugas keamanan kantor UNESCO sudah cukup
mengenalnya, sehingga dia bisa menerobos langsung ke ruang kerja saya. Ia
senantiasa muncul dengan tawa khasnya yang membahana itu.
Sekretaris saya pun juga
sudah paham betul dengan kebiasaan Abun. Justru kalau Abun lama tak datang, ia
suka bertanya, “Kemana Pak Abun ya? Kangen mendengar suara tawanya.”
Begitu datang, biasanya tak
menunggu terlalu lama Abun akan segera mengeluarkan aba-aba untuk membuka nasi
Padang yang masih terbungkus daun pisang dan kertas coklat mengkilap itu.
Beberapa
menit kemudian, kilap yang serupa kertas pembungkus nasi padang itu berpindah
ke jidat Abun yang penuh peluh. “Now,
there will never be those scenes anymore...”
Di atas itu semua, yang amat sangat paling
membuat saya tabik pada Abun adalah kemampuannya membina hubungan, baik dengan
para narasumbernya, maupun dengan kawan-kawan dan sahabatnya.
Saya berani bertaruh, jika
ada kontes di kalangan wartawan dalam hal jumlah kawan dan narasumber, Abun
pasti akan unggul. Yang terasa lebih luar biasa lagi, Abun tetap menjaga
hubungan baik dengan kawan-kawan dan para narasumbernya itu.
Jika sekarang Abun mengenal
dengan baik dan dekat begitu banyak orang penting, hampir pasti Abun mengenal
mereka ketika mereka semua masih belum menjadi siapa-siapa, belum menjadi
“orang beneran”.
Salah seorang yang paling
saya ingat adalah M. Jusuf Kalla, yang telah menjadi sahabat karib Abun sejak
Abun masih bertugas sebagai koresponden Kompas di Makassar di akhir 1980-an,
dan Jusuf Kalla masih seorang pengusaha.
Perkawanan mereka terus
terjalin sampai Jusuf Kalla (JK) memegang posisi penting di pemerintahan,
hingga menjadi Wakil Presiden.
Abun pernah bercerita ke saya bahwa kalau dia
sedang diundang makan di rumah JK, adalah Ibu Mufidah Jusuf Kalla yang
menyendokkan nasi ke piring Abun, menunjukkan Abun layaknya anggota keluarga
Kalla.
Sekali lagi, tak banyak orang yang punya
kemampuan untuk menjalin hubungan dengan begitu banyak orang, dari begitu
beragam kalangan, dari warga biasa hingga ke mereka yang berlimpah kuasa dan
harta, untuk rentang masa yang begitu panjang. Abun adalah bagian dari jumlah
sedikit yang istimewa itu.
Dalam hal yang satu ini, Abun
adalah guru saya. Kemampuannya melakukan itu adalah cermin dari kesabaran
tingkat tinggi, juga ketulusan hati. Dua hal yang seyogianya juga menjadi modal
utama seorang wartawan, selain berbagai modal berupa keterampilan meliput dan
menulis.
Nasihatnya tentang ini
sederhana saja: “Rajin-rajinlah menjalin silaturahmi, kontak mereka secara
berkala, meskipun hanya sekadar menyampaikan sapaan ringan. Jika kita mengingat
mereka, maka tak mungkin mereka tak mengingat kita.”
Empat tahun lalu Abun menyaksikan kepergian
istrinya, Anita, dilepas oleh kerumunan anggota keluarga dan kawan-kawannya.
Sekarang giliran Abun yang dilepas oleh kerumunan kerabat dan sahabatnya.
Saya yakin, ribuan kawan dan
sahabatnya itu sama terperanjatnya dalam dukanya. Semua kehilangannya. Namun,
banyak di antara mereka lebih beruntung ketimbang saya. Mereka pastilah akan
berkerumun di rumah duka, dan juga di lokasi pemakaman.
Saya hanya dapat melepas Abun
dari jauh, dari tempat saya merantau sekarang, Teheran. Tempat yang juga sudah
sempat kami obrolkan berdua, tentang keunikan negeri dan bangsa Iran. Tentang
tempat-tempat yang indah di Iran.
Juga tentang kemungkinan yang
tidak ditepis Abun bahwa sekali waktu dirinya akan menyambangi saya di Teheran,
lalu berkeliling ke tempat-tempat yang dahsyat di negeri Persia ini, kendati
tak ada nasi bungkus masakan Padang, yang membuat kening dan pelipis Abun
senantiasa berpeluh itu.
Semua rencana itu hanya akan mengendap dalam
ingatan dan kenangan saya. Saya tak dapat melepas Abun langsung di Tanah Air, maka
dalam catatan ini saya bagi-bagi ke orang lain. Selain juga, agar kenangan saya
akannya tetap lekat abadi.
*) Arya Gunawan Usis adalah mantan wartawan Kompas, kini bekerja di Kantor UNESCO Teheran, Iran.
In Memoriam Abun Sanda
Oleh Arya Gunawan Usis *)
6 April 2013 00:15 WIB
Penulis bersama Abun Sanda (kanan). (Dokumen Arya Gunawan Usis)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2013
Tags: