Kampanye negatif masih ancam kinerja industri
5 April 2013 16:58 WIB
Suasana aktivitas bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (11/1). (FOTO ANTARA/Zabur Karuru)
Jakarta (ANTARA News) - Kampanye negatif terhadap produk nasional masih mengancam kinerja ekspor industri Indonesia ke luar negeri, kata Staf Ahli Bidang Pemasaran dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Kementerian Perindustrian, Ferry Yahya.
"Adanya isu lingkungan seperti pengrusakan hutan, isu kesehatan, isu pencemaran yang akhirnya produk kita ditolak di negara tujuan," kata Ferry Yahya, di Jakarta, Jumat.
Ia mencontohkan produk minyak sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan karena proses pembuatannya menyebabkan degradasi hutan.
Selain itu juga terdapat adanya pengaduan terkait adanya kontaminasi pada makanan.
"Di Taiwan, mie instan kita pernah ditolak karena adanya perubahan emulsi," katanya.
Kampanye negatif ini, menurut Ferry, sering dimunculkan oleh pihak LSM dan lembaga-lembaga internasional.
Ia mengingatkan kondisi penolakan tersebut harus diantisipasi oleh pengusaha Indonesia dengan memahami aturan-aturan yang berlaku di negara tujuan.
Beberapa penolakan produk dari Indonesia di luar negeri di antaranya penolakan sebanyak 16 - 36 kali dalam kurun waktu 2009 - 2012 di Uni Eropa, sementara di Amerika Serikat terjadi penolakan sebanyak 20 kali pada 2012 karena terbentur aturan Food and Drug Administration (FDA).
Kampanye negatif terhadap produk industri nasional, masih kata Ferry, menyebabkan tren penurunan dalam kinerja ekspor industri Indonesia ke beberapa negara yakni China, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara ASEAN.
"Loopholes ini harus kita tutup, harus ada kerja sama pemerintah, pelaku usaha, dan LSM dalam hal ini," ujarnya.
Dalam merespon kampanye negatif terhadap industri nasional diperlukan publikasi yang benar secara terus menerus melalui media. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama antarpemerintah dan pemerintah dengan LSM.
Selain itu, strategi promosi juga berperan untuk mengedukasi konsumen mengenai kualitas produk nasional.
"Misalnya melalui pameran. Di pameran itu harus dijelaskan kayu asal Indonesia yang telah memenuhi eco-labelling dan SVLK," demikian kata dia.
"Adanya isu lingkungan seperti pengrusakan hutan, isu kesehatan, isu pencemaran yang akhirnya produk kita ditolak di negara tujuan," kata Ferry Yahya, di Jakarta, Jumat.
Ia mencontohkan produk minyak sawit Indonesia dianggap tidak ramah lingkungan karena proses pembuatannya menyebabkan degradasi hutan.
Selain itu juga terdapat adanya pengaduan terkait adanya kontaminasi pada makanan.
"Di Taiwan, mie instan kita pernah ditolak karena adanya perubahan emulsi," katanya.
Kampanye negatif ini, menurut Ferry, sering dimunculkan oleh pihak LSM dan lembaga-lembaga internasional.
Ia mengingatkan kondisi penolakan tersebut harus diantisipasi oleh pengusaha Indonesia dengan memahami aturan-aturan yang berlaku di negara tujuan.
Beberapa penolakan produk dari Indonesia di luar negeri di antaranya penolakan sebanyak 16 - 36 kali dalam kurun waktu 2009 - 2012 di Uni Eropa, sementara di Amerika Serikat terjadi penolakan sebanyak 20 kali pada 2012 karena terbentur aturan Food and Drug Administration (FDA).
Kampanye negatif terhadap produk industri nasional, masih kata Ferry, menyebabkan tren penurunan dalam kinerja ekspor industri Indonesia ke beberapa negara yakni China, Korea Selatan, Jepang, dan negara-negara ASEAN.
"Loopholes ini harus kita tutup, harus ada kerja sama pemerintah, pelaku usaha, dan LSM dalam hal ini," ujarnya.
Dalam merespon kampanye negatif terhadap industri nasional diperlukan publikasi yang benar secara terus menerus melalui media. Selain itu juga dibutuhkan kerjasama antarpemerintah dan pemerintah dengan LSM.
Selain itu, strategi promosi juga berperan untuk mengedukasi konsumen mengenai kualitas produk nasional.
"Misalnya melalui pameran. Di pameran itu harus dijelaskan kayu asal Indonesia yang telah memenuhi eco-labelling dan SVLK," demikian kata dia.
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: