Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdalifah Mahmud mengatakan pemerintah Indonesia tetap berupaya semua komoditas perkebunan memperhatikan lingkungan dengan tidak melakukan deforestasi.

“Indonesia berupaya agar perdagangan sawit tidak bertentangan dengan kebijakan Eropa (EU). Bahkan, pemerintah berupaya tidak lakukan deforestasi," ujarnya di Jakarta, Selasa.

Bahkan, lanjutnya, sudah ada moratorium pengalihfungsian hutan primer dan gambut sejak 2011 sehingga sudah tidak boleh lagi deforestasi atau pembukaan lahan hutan baru untuk komoditas, termasuk untuk perkebunan sawit. .

"Kita berupaya untuk tidak lakukan deforestasi untuk menunjang komoditas global," katanya di Seminar Nasional bertajuk "Sawit Memerdekakan Rakyat Indonesia dari Kemiskinan".

Saat ini menurut Musdalifah sudah ada 24 juta ton produk sawit yang telah memiliki sertifikasi ISPO selain itu ada juga 9 juta ton yang sudah mengantongi sertifikat RSPO

Di Indonesia, tambahnya, ada tujuh komoditas yang berupaya dikembangkan untuk menjadi ekspor dan mendukung ekonomi nasional di antaranya kakao, karet, kopi hingga kelapa sawit.

"Namun semua semua berujung ke sawit (yang diserang). Sasarannya ke sawit, karena sawit menjadi pesaing serius minyak nabati Eropa," katanya.

Sementara itu Kepala Divisi Perusahaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Achmad Maulizal Sutawijaya menyatakan
Produktivitas minyak nabati dari sawit justru menempati posisi teratas dibanding komoditi lainnya dengan kisaran 65 juta ton.

Padahal, tambahnya, secara luasan lahan, area kebun sawit jauh lebih kecil dibandingkan lahan komoditi penghasil minyak nabati lainnya.

Dari total 277 juta hektare (ha) area lahan tanaman produksi minyak nabati di dunia, total area sawit Indonesia hanya 16 juta ha, lebih rendah dibandingkan luas perkebunan bunga matahari (sunflower) yang totalnya 25 juta ha, rapeseed 36 juta ha, kedelai (soybean) 122 juta ha dan jagung sebanyak 77 juta ha.

“Ini bukti sawit merupakan komoditas minyak dunia dengan produktivitas lahan yang paling baik dibandingkan minyak nabati lainnya. Kelapa sawit menjadi pilihan paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia yang semakin bertumbuh,” katanya.

Menurut dia, stigma negatif terhadap sawit Indonesia yang dilakukan Uni Eropa merupakan trik perang dagang karena mereka tidak ingin produk minyak nabati sejenis seperti bunga matahari, kedelai, hingga jagung kalah bersaing dari sawit.

Oleh karena itu Maulizal menyatakan, Indonesia tidak boleh kalah dengan pola kampanye negatif tersebut, oleh karena itu, sektor hulu hingga ke hilir di dalam negeri juga perlu diperkuat dengan integrasi.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, produksi kelapa sawit yang semakin meningkat akan berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), dia menyebutkan pendapatan negara atau devisa dari sawit pada 2022 mencapai 39,07 miliar dolar AS.

Sedangkan pada tahun ini, dalam kurun Januari hingga Mei 2023, nilai ekspor sawit mencapai 11,72 miliar dolar AS.

Ekspor sawit Indonesia, tambahnya, terjadi kenaikan di beberapa negara pada 2022 seperti India, Pakistan, Amerika Serikat. Begitu juga pada tahun ini ekspor ke beberapa negara tersebut juga kembali meningkat, kecuali di AS.

“Tanpa adanya sawit, maka neraca perdagangan turun,” katanya.

Baca juga: Perusahaan sawit fasilitasi petani kembangkan budidaya jamur

Baca juga: Sebanyak 1.870 perusahaan laporkan diri dukung tata kelola sawit

Baca juga: OJK sebut kemitraan mampu sejahterakan petani sawit