Dewan Pers: Perkembangan digital buka banyak peluang
8 Agustus 2023 15:50 WIB
Anggota Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto (kedua kiri) berbicara dalam diskusi "Media Sustainability: the Evolving Media Landscape in Indonesia" yang diselenggarakan Harian The Jakarta Post di Jakarta, Selasa (8/8/2023). ANTARA/Yashinta Difa
Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Pers Paulus Tri Agung Kristanto menilai perkembangan teknologi digital justru membuka banyak peluang, meskipun mengubah lanskap media di Indonesia.
Menurut dia, perubahan lanskap media sejalan dengan perubahan cara masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi.
"Disrupsi digital tidak pernah membunuh media, yang membunuh media adalah kegagalan beradaptasi terhadap perubahan, terutama dalam aspek manajemen," ujar Paulus dalam diskusi mengenai perkembangan media di Indonesia yang diselenggarakan untuk memperingati 40 Tahun Harian The Jakarta Post di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan bahwa kunci dalam menjalankan perusahaan media adalah kreatifitas dan efisiensi yang harus berjalan secara seimbang.
"Kreatifitas butuh dana besar, kalau tidak didukung efisiensi akan berat," kata wartawan senior Harian Kompas itu.
Baca juga: Dewan Pers harap "Publisher Rights" bangun ekosistem pers yang sehat
Baca juga: Dewan Pers: Disrupsi digital jadi tantangan media jelang Pemilu 2024
Dalam merespons perkembangan digitalisasi, ujar dia, Dewan Pers menganggap aspek keredaksian dan bisnis saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan teknologi informasi sebagai "kaki tambahan".
"Kalau newsroom-nya kuat tetapi dia (perusahaan media) tidak bisa deliver dengan teknologi, ya akan sulit juga," ucap Paulus.
Dia pun memaparkan lima model bisnis yang bisa dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan media dalam merespons perubahan lanskap media di Indonesia.
Selain model bisnis konvensional yang selama ini menghidupi media dari iklan, Paulus menyebut perusahaan media bisa mulai menjual konten.
Konten yang disebutnya sebagai produk kesepakatan, berbeda dengan produk jurnalistik yang harus tunduk pada aturan-aturan, termasuk UU Pers.
Selain itu, perusahaan media bisa mengembangkan business expertise dengan mengeksplorasi keahlian atau spesialisasi para wartawan, seperti yang telah dilakukan Tempo dengan membangun Tempo Institute.
"Perusahaan media juga bisa mencoba bisnis komunitas, seperti yang dilakukan Kompas dengan mengadakan Borobudur Marathon. Jadi tanpa mengorbankan jurnalisme, tetapi bisnis bisa tetap hidup," tutur Paulus.
Model bisnis selanjutnya yang dia usulkan adalah bisnis pengaruh, yaitu dengan menjual pengaruh perusahaan media kepada klien yang menginginkan.
Menurut dia, perubahan lanskap media sejalan dengan perubahan cara masyarakat dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi.
"Disrupsi digital tidak pernah membunuh media, yang membunuh media adalah kegagalan beradaptasi terhadap perubahan, terutama dalam aspek manajemen," ujar Paulus dalam diskusi mengenai perkembangan media di Indonesia yang diselenggarakan untuk memperingati 40 Tahun Harian The Jakarta Post di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan bahwa kunci dalam menjalankan perusahaan media adalah kreatifitas dan efisiensi yang harus berjalan secara seimbang.
"Kreatifitas butuh dana besar, kalau tidak didukung efisiensi akan berat," kata wartawan senior Harian Kompas itu.
Baca juga: Dewan Pers harap "Publisher Rights" bangun ekosistem pers yang sehat
Baca juga: Dewan Pers: Disrupsi digital jadi tantangan media jelang Pemilu 2024
Dalam merespons perkembangan digitalisasi, ujar dia, Dewan Pers menganggap aspek keredaksian dan bisnis saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi dengan teknologi informasi sebagai "kaki tambahan".
"Kalau newsroom-nya kuat tetapi dia (perusahaan media) tidak bisa deliver dengan teknologi, ya akan sulit juga," ucap Paulus.
Dia pun memaparkan lima model bisnis yang bisa dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan media dalam merespons perubahan lanskap media di Indonesia.
Selain model bisnis konvensional yang selama ini menghidupi media dari iklan, Paulus menyebut perusahaan media bisa mulai menjual konten.
Konten yang disebutnya sebagai produk kesepakatan, berbeda dengan produk jurnalistik yang harus tunduk pada aturan-aturan, termasuk UU Pers.
Selain itu, perusahaan media bisa mengembangkan business expertise dengan mengeksplorasi keahlian atau spesialisasi para wartawan, seperti yang telah dilakukan Tempo dengan membangun Tempo Institute.
"Perusahaan media juga bisa mencoba bisnis komunitas, seperti yang dilakukan Kompas dengan mengadakan Borobudur Marathon. Jadi tanpa mengorbankan jurnalisme, tetapi bisnis bisa tetap hidup," tutur Paulus.
Model bisnis selanjutnya yang dia usulkan adalah bisnis pengaruh, yaitu dengan menjual pengaruh perusahaan media kepada klien yang menginginkan.
Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023
Tags: