Artikel
Melawat ke Talawi, catatan perjalanan Adinegoro
Oleh Monalisa
7 Agustus 2023 21:24 WIB
Peluncuran dan diskusi buku "Melawat ke Talawi, Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" dalam rangka HUT Lembaga Pers Dr Soetomo ke-35, di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (25/7). (Tim Dokumentasi LPDS)
Jakarta (ANTARA) - Nama lahirnya, Djamaluddin, namun ia lebih dikenal sebagai Adinegoro, tokoh perintis pers Indonesia.
Adinegoro memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah jurnalisme Indonesia. Namanya diabadikan dalam penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik, Anugerah Adinegoro.
Sejak memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran "School tot Opleiding van Indische Artsen" (STOVIA) dan banting setir menekuni dunia jurnalistik, ia mendedikasikan hidupnya di dunia tulis menulis dan kewartawanan, hingga akhir hayatnya.
Tak tanggung-tanggung, ia nekat merantau ke Jerman untuk belajar jurnalistik, saat usianya 22 tahun. Dalam perjalanannya ke Eropa menggunakan kapal Tambora, milik Koninklijke Rotterdamsche Lloyd, maskapai pelayaran Belanda, ia merangkum perjalanannya yang kemudian menjadi buku masterpiece-nya: "Melawat ke Barat".
Berangkat dari Tanjung Priok, Adinegoro mengisahkan perjalanannya menyusuri Singapura hingga Laut Merah, Terusan Suez, Laut Tengah, hingga Paris, dan kisahnya di Belanda serta Jerman menjadi buku berseri, "Melawat ke Barat" Jilid 1, 2, dan 3.
Sebelum menjadi buku, catatan perjalanannya tersebut secara berseri dimuat majalah Pandji Poestaka di Batavia (Jakarta). Adinegoro juga
mengirimkan karya tulisannya ke Bintang Timoer (Batavia) dan Pewarta Deli (Medan).
Rangkaian tulisannya ke Eropa itu disebut sebagai laporan "jurnalisme perjalanan" pertama wartawan Indonesia.
Adinegoro belajar jurnalistik di Julius-Maximilians-Universität Würzburg di Würzburg dan di München, Jerman, pada 1926-1930. Di negeri itu, dia juga belajar geografi, kartografi, dan filsafat.
"Pengetahuannya mengenai kartografi membuat dia kemudian juga menjadi ahli membuat peta. Kelak, saat memimpin Pewarta Deli dan pecah Perang Dunia Kedua, Adinegoro menyertakan peta lokasi perang di setiap artikel mengenai perang itu, sehingga koran tersebut laris bak kacang goreng," seperti dikutip dari buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" terbitan Lembaga Pers Dokter Soetomo.
Selain dikenal sebagai wartawan, Adinegoro ternyata merupakan pembuat atlas dan ensiklopedia pertama berbahasa Indonesia. Adinegoro, bahkan terlibat dalam penyusunan kamus istilah Bahasa Indonesia Pertama.
Tidak hanya itu, ia pernah ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Wakil Pemerintah RI untuk Urusan Umum dan Penerangan di Sumatera, jabatan yang membuat dia memperoleh pangkat letnan kolonel tituler.
"Peran beliau tidak hanya dalam jurnalistik, tetapi di berbagai bidang. Namun semua tujuannya adalah demi kepentingan publik," kata Lestantya R. Baskoro, ketua tim penulis, sekaligus editor buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro", dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut, di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (25/7).
Melawat ke Talawi
Djamal, begitu ia biasa dipanggil oleh kerabatnya, telah jatuh cinta pada dunia tulis menulis sejak duduk di bangku sekolah STOVIA. Tulisannya disukai oleh pemilik majalah Tjaja Hindia, Landjumin Datuk Tumenggung.
Dalam setiap akhir artikelnya, ia mencantumkan inisial namanya "Dj" sebagai kependekan "Djamaluddin". Pada suatu ketika, seperti ditulis dalam "Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia" karya Soebagijo Ilham Notodidjojo, Tumenggung mengusulkan agar nama Djamaluddin diubah dengan nama "berbau Jawa" dalam setiap penulisan artikel, agar meningkatkan jumlah pembaca.
Saat Djamaluddin menanyakan apa nama yang pantas untuknya, Tumenggung memberi usul "Adi Negoro". Belakangan nama itu menyatu menjadi satu kata, Adinegoro. Tidak pernah disangka, nama itu akan terus "hidup" hingga sekarang.
Adinegoro mendapat gelar "Datuk Maharadjo Sutan" di desa kelahirannya Talawi, Sumatera Barat, pada tahun 1926, sesaat sebelum ia memutuskan melawat ke Jerman.
Ya, putra pasangan Usman Bagindo Chatib-Sadariah itu merupakan keturunan Minang asli. Ia adalah adik satu bapak, beda ibu dari pahlawan nasional, Muhammad Yamin.
Tim penulis buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" menyambangi rumah gadang yang pernah ditinggali Adinegoro bersama kedua orang tuanya.
Tempat pria kelahiran 14 Agustus 1904 menghabiskan masa kecilnya itu kini tinggal tersisa undak-undakan yang terbuat dari semen.
Terungkap pula bahwa Adinegoro akhirnya dikirim ke Palembang untuk tinggal bersama kakaknya yang lain, Muhammad Yaman, yang bekerja sebagai guru. Di rumah Yaman pula Muhammad Yamin tinggal.
Dari Palembang, Adinegoro kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia, sebelum ia nantinya memutuskan untuk berhenti dan berlabuh ke sekolah jurnalistik di Jerman.
Sekolah STOVIA yang juga menjadi almamater sejumlah tokoh bangsa itu, kini diabadikan menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Dalam buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro", terungkap alasan Adinegoro urung menjadi dokter. Selain jatuh cinta pada dunia tulis-menulis, ia juga sungkan saat harus memeriksa pasien perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh putrinya Anita Marni, yang kini berusia 86 tahun, kepada penulis.
Buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" tidak hanya berisi fakta-fakta menarik tentang sosok Adinegoro, namun juga napak tilas ke tempat-tempat yang ada kaitan sejarah dengan Adinegoro.
Selain itu, penulis juga berkesempatan menggali kisah Adinegoro dari anak-anak Adinegoro, hingga kerabatnya.
Anita, yang merupakan putri kedua Adinegoro, mengenang bahwa ayahnya kerap berkunjung ke Talawi, membawa istrinya Alidar binti Djamal dan anak-anaknya untuk sekadar berlibur dan mengunjungi keluarga di sela-sela tugasnya.
Sisi lain Adinegoro
"Ayah adalah sosok yang konsisten. Dia menjadi wartawan sampai akhir hayatnya, tetapi juga selalu menyempatkan waktu untuk anak-anaknya," kata Adiwarsita, putra ketiga Adinegoro, saat peluncuran buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Menurut Adiwarsita, di sela kesibukannya, Adinegoro kerap berlibur bersama dengan anak-anaknya. Ia sering memboyong keluarganya pulang kampung ke Talawi dan ke Sulit Air, tempat asal istrinya, menggunakan kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok. "Atau sekedar jalan-jalan ke Bogor," tambah Adiwarsita.
Selain dikenang sebagai ayah yang perhatian, Adinegoro tidak lupa memberikan warisan buku-bukunya kepada kelima anaknya.
"Kemajuan bahasa Indonesia bergantung pada kecerdasan setiap wartawan dan kelapangan pikirannya serta kemajuan jurnalistik Indonesia," demikian salah satu pokok pikiran Adinegoro yang disampaikan dalam kongres pertama Bahasa Indonesia di gedung Societeit Habiprojo, Solo, pada Juni 1938, dalam rangka
memperingati 10 tahun Sumpah Pemuda.
Adinegoro sangat peduli terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Adinegoro terlibat dalam penyusunan kamus Istilah Bahasa Indonesia pertama dan aktif dalam Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia saat itu baru tumbuh dan kemudian disepakati sebagai bahasa nasional.
Jiwa nasionalismenya tidak menutup dirinya dari pendidikan Barat. Di antara sentimen terhadap kebudayaan Barat, Adinegoro justru menilai bahwa kecerdasan masyarakat Indonesia bisa diasah melalui pendidikan Barat.
Sehingga orang Indonesia mulai memikirkan dirinya sendiri, tidak takut mengemukakan pendapat, mulai sadar akan haknya sebagai manusia dan anggota bangsa, serta mulai berjuang bagi kepentingan dirinya dan bangsanya.
Dalam dua buku roman karyanya, Asmara Djaja (1928) dan Darah Moeda (1929), Adinegoro, bahkan menulis tentang perlawanan adat Minang, yakni perkawinan berbeda suku.
"Adinegoro adalah sosok yang pemikirannya melampaui zamannya," ujar wartawan senior Priyambodo, yang turut menyumbang tulisan dalam buku "Melawat ke Talawai; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Menurut Priyambodo, Adinegoro sudah menjadi wartawan multitasking, karena kerap menambahkan potongan peta lokasi atau sketsa grafis dalam tulisannya.
"Ia juga membidani didirikannya Radio Republik Indonesia (RRI) Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 1945" ujarnya.
Adinegoro juga pernah memimpin berbagai media, seperti Pandji Poestaka di Batavia (Jakarta), Pewarta Deli di Medan, Sumatra Shimbun, menerbitkan harian Kedaoelatan Rakjat, dan majalah Mimbar Indonesia.
Adinegoro memimpin majalah Mimbar Indonesia selama dua tahun, sebelum bertolak ke Belanda pada 1950 untuk proyek pembuatan peta. Istri dan anak-anaknya kemudian menyusulnya.
Tidak lama, Adinegoro diminta kembali ke Tanah Air untuk memimpin Kantor Berita Persbiro Indonesia-Aneta (PIA), yang kemudian lebih dikenal sebagai Kantor Berita Antara.
Pada 1954, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) oleh Presiden Sukarno dan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari golongan fungsional.
Tidak hanya itu, Adinegoro juga ikut mendirikan Perguruan Tinggi Publisistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Bersama para tokoh pers kemerdekaan, Adinegoro mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia pada 9 Februari 1946.
Dalam buku ini, dikisahkan juga masa-masa akhir Adinegoro di Kantor Berita Antara, dengan jabatannya saat itu menjauhkannya dari dunia tulis menulis yang begitu dicintainya, yakni memimpin bidang riset, dokumentasi, dan pendidikan.
Menurut Adiwarsita, orang-orang yang tidak menyukai bapaknya mengembuskan isu bahwa sang bapak juga pro-Belanda. "Bapak menjadi korban fitnah," tutur Adiwarsita, mengenang masa-masa akhir bapaknya berkarier sebagai wartawan.
Pada 8 Januari 1967, sebuah kabar duka datang: Adinegoro meninggal. Pemimpin Redaksi Antara Mohammad Nahar menyebutkan Adinegoro adalah figur yang perlu diteladankan dan sosok yang berjasa dalam memajukan jurnalistik di Indonesia.
"Adinegoro mengibaratkan hubungan pers dengan masyarakat, seperti bulan yang beredar mengelilingi Bumi. Bulan sebagai pers, Bumi adalah masyarakat, dan pemerintah sebagai matahari yang mempengaruhi sepenuhnya keadaan pers dan masyarakat. Pers dilahirkan dan dibesarkan oleh masyarakat. Namun, menurut Adinegoro, pers juga bisa dirobohkan oleh masyarakat," demikian salah satu pemikiran Adinegoro yang dikutip dari buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Adinegoro memang tidak bisa dipisahkan dari sejarah jurnalisme Indonesia. Namanya diabadikan dalam penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik, Anugerah Adinegoro.
Sejak memutuskan untuk keluar dari sekolah kedokteran "School tot Opleiding van Indische Artsen" (STOVIA) dan banting setir menekuni dunia jurnalistik, ia mendedikasikan hidupnya di dunia tulis menulis dan kewartawanan, hingga akhir hayatnya.
Tak tanggung-tanggung, ia nekat merantau ke Jerman untuk belajar jurnalistik, saat usianya 22 tahun. Dalam perjalanannya ke Eropa menggunakan kapal Tambora, milik Koninklijke Rotterdamsche Lloyd, maskapai pelayaran Belanda, ia merangkum perjalanannya yang kemudian menjadi buku masterpiece-nya: "Melawat ke Barat".
Berangkat dari Tanjung Priok, Adinegoro mengisahkan perjalanannya menyusuri Singapura hingga Laut Merah, Terusan Suez, Laut Tengah, hingga Paris, dan kisahnya di Belanda serta Jerman menjadi buku berseri, "Melawat ke Barat" Jilid 1, 2, dan 3.
Sebelum menjadi buku, catatan perjalanannya tersebut secara berseri dimuat majalah Pandji Poestaka di Batavia (Jakarta). Adinegoro juga
mengirimkan karya tulisannya ke Bintang Timoer (Batavia) dan Pewarta Deli (Medan).
Rangkaian tulisannya ke Eropa itu disebut sebagai laporan "jurnalisme perjalanan" pertama wartawan Indonesia.
Adinegoro belajar jurnalistik di Julius-Maximilians-Universität Würzburg di Würzburg dan di München, Jerman, pada 1926-1930. Di negeri itu, dia juga belajar geografi, kartografi, dan filsafat.
"Pengetahuannya mengenai kartografi membuat dia kemudian juga menjadi ahli membuat peta. Kelak, saat memimpin Pewarta Deli dan pecah Perang Dunia Kedua, Adinegoro menyertakan peta lokasi perang di setiap artikel mengenai perang itu, sehingga koran tersebut laris bak kacang goreng," seperti dikutip dari buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" terbitan Lembaga Pers Dokter Soetomo.
Selain dikenal sebagai wartawan, Adinegoro ternyata merupakan pembuat atlas dan ensiklopedia pertama berbahasa Indonesia. Adinegoro, bahkan terlibat dalam penyusunan kamus istilah Bahasa Indonesia Pertama.
Tidak hanya itu, ia pernah ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai Wakil Pemerintah RI untuk Urusan Umum dan Penerangan di Sumatera, jabatan yang membuat dia memperoleh pangkat letnan kolonel tituler.
"Peran beliau tidak hanya dalam jurnalistik, tetapi di berbagai bidang. Namun semua tujuannya adalah demi kepentingan publik," kata Lestantya R. Baskoro, ketua tim penulis, sekaligus editor buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro", dalam diskusi dan peluncuran buku tersebut, di Hall Dewan Pers, Jakarta, Selasa (25/7).
Melawat ke Talawi
Djamal, begitu ia biasa dipanggil oleh kerabatnya, telah jatuh cinta pada dunia tulis menulis sejak duduk di bangku sekolah STOVIA. Tulisannya disukai oleh pemilik majalah Tjaja Hindia, Landjumin Datuk Tumenggung.
Dalam setiap akhir artikelnya, ia mencantumkan inisial namanya "Dj" sebagai kependekan "Djamaluddin". Pada suatu ketika, seperti ditulis dalam "Adinegoro: Pelopor Jurnalistik Indonesia" karya Soebagijo Ilham Notodidjojo, Tumenggung mengusulkan agar nama Djamaluddin diubah dengan nama "berbau Jawa" dalam setiap penulisan artikel, agar meningkatkan jumlah pembaca.
Saat Djamaluddin menanyakan apa nama yang pantas untuknya, Tumenggung memberi usul "Adi Negoro". Belakangan nama itu menyatu menjadi satu kata, Adinegoro. Tidak pernah disangka, nama itu akan terus "hidup" hingga sekarang.
Adinegoro mendapat gelar "Datuk Maharadjo Sutan" di desa kelahirannya Talawi, Sumatera Barat, pada tahun 1926, sesaat sebelum ia memutuskan melawat ke Jerman.
Ya, putra pasangan Usman Bagindo Chatib-Sadariah itu merupakan keturunan Minang asli. Ia adalah adik satu bapak, beda ibu dari pahlawan nasional, Muhammad Yamin.
Tim penulis buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" menyambangi rumah gadang yang pernah ditinggali Adinegoro bersama kedua orang tuanya.
Tempat pria kelahiran 14 Agustus 1904 menghabiskan masa kecilnya itu kini tinggal tersisa undak-undakan yang terbuat dari semen.
Terungkap pula bahwa Adinegoro akhirnya dikirim ke Palembang untuk tinggal bersama kakaknya yang lain, Muhammad Yaman, yang bekerja sebagai guru. Di rumah Yaman pula Muhammad Yamin tinggal.
Dari Palembang, Adinegoro kemudian melanjutkan pendidikan ke STOVIA, sekolah pendidikan dokter pribumi di Batavia, sebelum ia nantinya memutuskan untuk berhenti dan berlabuh ke sekolah jurnalistik di Jerman.
Sekolah STOVIA yang juga menjadi almamater sejumlah tokoh bangsa itu, kini diabadikan menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
Dalam buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro", terungkap alasan Adinegoro urung menjadi dokter. Selain jatuh cinta pada dunia tulis-menulis, ia juga sungkan saat harus memeriksa pasien perempuan, sebagaimana diungkapkan oleh putrinya Anita Marni, yang kini berusia 86 tahun, kepada penulis.
Buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro" tidak hanya berisi fakta-fakta menarik tentang sosok Adinegoro, namun juga napak tilas ke tempat-tempat yang ada kaitan sejarah dengan Adinegoro.
Selain itu, penulis juga berkesempatan menggali kisah Adinegoro dari anak-anak Adinegoro, hingga kerabatnya.
Anita, yang merupakan putri kedua Adinegoro, mengenang bahwa ayahnya kerap berkunjung ke Talawi, membawa istrinya Alidar binti Djamal dan anak-anaknya untuk sekadar berlibur dan mengunjungi keluarga di sela-sela tugasnya.
Sisi lain Adinegoro
"Ayah adalah sosok yang konsisten. Dia menjadi wartawan sampai akhir hayatnya, tetapi juga selalu menyempatkan waktu untuk anak-anaknya," kata Adiwarsita, putra ketiga Adinegoro, saat peluncuran buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Menurut Adiwarsita, di sela kesibukannya, Adinegoro kerap berlibur bersama dengan anak-anaknya. Ia sering memboyong keluarganya pulang kampung ke Talawi dan ke Sulit Air, tempat asal istrinya, menggunakan kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok. "Atau sekedar jalan-jalan ke Bogor," tambah Adiwarsita.
Selain dikenang sebagai ayah yang perhatian, Adinegoro tidak lupa memberikan warisan buku-bukunya kepada kelima anaknya.
"Kemajuan bahasa Indonesia bergantung pada kecerdasan setiap wartawan dan kelapangan pikirannya serta kemajuan jurnalistik Indonesia," demikian salah satu pokok pikiran Adinegoro yang disampaikan dalam kongres pertama Bahasa Indonesia di gedung Societeit Habiprojo, Solo, pada Juni 1938, dalam rangka
memperingati 10 tahun Sumpah Pemuda.
Adinegoro sangat peduli terhadap perkembangan bahasa dan sastra Indonesia. Adinegoro terlibat dalam penyusunan kamus Istilah Bahasa Indonesia pertama dan aktif dalam Kongres Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia saat itu baru tumbuh dan kemudian disepakati sebagai bahasa nasional.
Jiwa nasionalismenya tidak menutup dirinya dari pendidikan Barat. Di antara sentimen terhadap kebudayaan Barat, Adinegoro justru menilai bahwa kecerdasan masyarakat Indonesia bisa diasah melalui pendidikan Barat.
Sehingga orang Indonesia mulai memikirkan dirinya sendiri, tidak takut mengemukakan pendapat, mulai sadar akan haknya sebagai manusia dan anggota bangsa, serta mulai berjuang bagi kepentingan dirinya dan bangsanya.
Dalam dua buku roman karyanya, Asmara Djaja (1928) dan Darah Moeda (1929), Adinegoro, bahkan menulis tentang perlawanan adat Minang, yakni perkawinan berbeda suku.
"Adinegoro adalah sosok yang pemikirannya melampaui zamannya," ujar wartawan senior Priyambodo, yang turut menyumbang tulisan dalam buku "Melawat ke Talawai; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Menurut Priyambodo, Adinegoro sudah menjadi wartawan multitasking, karena kerap menambahkan potongan peta lokasi atau sketsa grafis dalam tulisannya.
"Ia juga membidani didirikannya Radio Republik Indonesia (RRI) Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 1945" ujarnya.
Adinegoro juga pernah memimpin berbagai media, seperti Pandji Poestaka di Batavia (Jakarta), Pewarta Deli di Medan, Sumatra Shimbun, menerbitkan harian Kedaoelatan Rakjat, dan majalah Mimbar Indonesia.
Adinegoro memimpin majalah Mimbar Indonesia selama dua tahun, sebelum bertolak ke Belanda pada 1950 untuk proyek pembuatan peta. Istri dan anak-anaknya kemudian menyusulnya.
Tidak lama, Adinegoro diminta kembali ke Tanah Air untuk memimpin Kantor Berita Persbiro Indonesia-Aneta (PIA), yang kemudian lebih dikenal sebagai Kantor Berita Antara.
Pada 1954, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas) oleh Presiden Sukarno dan sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari golongan fungsional.
Tidak hanya itu, Adinegoro juga ikut mendirikan Perguruan Tinggi Publisistik di Jakarta dan Fakultas Publisistik di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Bersama para tokoh pers kemerdekaan, Adinegoro mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia pada 9 Februari 1946.
Dalam buku ini, dikisahkan juga masa-masa akhir Adinegoro di Kantor Berita Antara, dengan jabatannya saat itu menjauhkannya dari dunia tulis menulis yang begitu dicintainya, yakni memimpin bidang riset, dokumentasi, dan pendidikan.
Menurut Adiwarsita, orang-orang yang tidak menyukai bapaknya mengembuskan isu bahwa sang bapak juga pro-Belanda. "Bapak menjadi korban fitnah," tutur Adiwarsita, mengenang masa-masa akhir bapaknya berkarier sebagai wartawan.
Pada 8 Januari 1967, sebuah kabar duka datang: Adinegoro meninggal. Pemimpin Redaksi Antara Mohammad Nahar menyebutkan Adinegoro adalah figur yang perlu diteladankan dan sosok yang berjasa dalam memajukan jurnalistik di Indonesia.
"Adinegoro mengibaratkan hubungan pers dengan masyarakat, seperti bulan yang beredar mengelilingi Bumi. Bulan sebagai pers, Bumi adalah masyarakat, dan pemerintah sebagai matahari yang mempengaruhi sepenuhnya keadaan pers dan masyarakat. Pers dilahirkan dan dibesarkan oleh masyarakat. Namun, menurut Adinegoro, pers juga bisa dirobohkan oleh masyarakat," demikian salah satu pemikiran Adinegoro yang dikutip dari buku "Melawat ke Talawi; Tapak Langkah Wartawan Adinegoro".
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: