Kemenkes: Persentase "Mandatory Spending" tidak mempunyai dasar ilmiah
4 Agustus 2023 17:54 WIB
Tangkapan layar - Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Prof Laksono Trisnantoro (kanan) saat menyampaikan pemaparan dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat (4/8/2023). ANTARA/Andi Firdaus.
Jakarta (ANTARA) - Staf Khusus Menteri Kesehatan Laksono Trisnantoro mengemukakan besaran persentase anggaran kesehatan yang bersifat wajib atau Mandatory Spending sebesar 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD tidak mempunyai dasar ilmiah yang jelas.
"Kesimpulan saya --ini bisa diperdebatkan--, tidak ada dasar ilmiah yang jelas 5 persen atau 10 persen," kata Laksono Trisnantoro dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan referensi Tim Kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 2021, kata Laksono, Mandatory Spending yang disampaikan bukan dari APBD atau APBN, tetapi dari besaran nominal Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP).
Staf Khusus Menkes bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Kemenkes itu mengatakan, jika GDP Indonesia pada 2019 sebesar Rp16 ribu triliun, maka Indonesia butuh Mandatory Spending Rp800 triliun.
Baca juga: Menkes: Rencana Induk Kesehatan langkah konkret ubah haluan anggaran
"Jika 5 persen dari APBN Rp2.165 triliun, itu hanya Rp105 triliun. Jadi beda sekali, Rp800 triliun dengan Rp105 triliun," katanya.
Referensi lain yang juga sering menjadi acuan penerapan Mandatory Spending, kata Laksono, adalah Deklarasi Abuja 2021 yang dilakukan oleh negara-negara di Afrika, bukan oleh WHO global.
"Deklarasi ini oleh negara di Afrika yang miskin, ini bukan untuk standar global. Mereka minta 15 persen dalam rangka untuk menekan supaya negara-negara kaya memberi bantuan ke negara miskin," katanya.
Laksono yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan UGM itu mengatakan, WHO pada 2016 menerbitkan buku bertajuk "Target Pengeluaran Untuk Kesehatan: Tidak Ada Angka Ajaib".
Baca juga: Pemerintah ubah haluan anggaran wajib kesehatan jadi berbasis kinerja
"Dalam buku tersebut dinyatakan alokasi anggaran kesehatan sebesar 15 persen dari keuangan pemerintah melalui Deklarasi Abuja merupakan rujukan yang tidak tepat," kata Laksono.
"Jika mau bikin yang kompleks hitungannya, persentase GDP dan absolute number pakai dolar AS per kapita. Itu yang sering dikatakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin," katanya.
Pernyataan Menkes Budi yang dimaksud, bahwa manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran nominal uang yang dikeluarkan oleh setiap individu. Alasannya, angka harapan hidup di sejumlah negara tidak selaras dengan besaran pengeluaran per kapita masyarakat setempat.
Laksono juga pernah berkonsultasi dengan seorang pakar ekonomi kesehatan di Bank Dunia terkait Mandatory Spending.
Baca juga: Menkes: Manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran pengeluaran
"Memang Bank Dunia pun tidak pernah merumuskan atau menyarankan menggunakan angka persentase untuk Mandatory Spending," katanya.
"Kesimpulan saya --ini bisa diperdebatkan--, tidak ada dasar ilmiah yang jelas 5 persen atau 10 persen," kata Laksono Trisnantoro dalam Diskusi Bedah Tematik UU Kesehatan yang diselenggarakan Universitas Indonesia Maju (UIMA) secara daring diikuti di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan referensi Tim Kerja Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada 2021, kata Laksono, Mandatory Spending yang disampaikan bukan dari APBD atau APBN, tetapi dari besaran nominal Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP).
Staf Khusus Menkes bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Kemenkes itu mengatakan, jika GDP Indonesia pada 2019 sebesar Rp16 ribu triliun, maka Indonesia butuh Mandatory Spending Rp800 triliun.
Baca juga: Menkes: Rencana Induk Kesehatan langkah konkret ubah haluan anggaran
"Jika 5 persen dari APBN Rp2.165 triliun, itu hanya Rp105 triliun. Jadi beda sekali, Rp800 triliun dengan Rp105 triliun," katanya.
Referensi lain yang juga sering menjadi acuan penerapan Mandatory Spending, kata Laksono, adalah Deklarasi Abuja 2021 yang dilakukan oleh negara-negara di Afrika, bukan oleh WHO global.
"Deklarasi ini oleh negara di Afrika yang miskin, ini bukan untuk standar global. Mereka minta 15 persen dalam rangka untuk menekan supaya negara-negara kaya memberi bantuan ke negara miskin," katanya.
Laksono yang juga berprofesi sebagai Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan UGM itu mengatakan, WHO pada 2016 menerbitkan buku bertajuk "Target Pengeluaran Untuk Kesehatan: Tidak Ada Angka Ajaib".
Baca juga: Pemerintah ubah haluan anggaran wajib kesehatan jadi berbasis kinerja
"Dalam buku tersebut dinyatakan alokasi anggaran kesehatan sebesar 15 persen dari keuangan pemerintah melalui Deklarasi Abuja merupakan rujukan yang tidak tepat," kata Laksono.
"Jika mau bikin yang kompleks hitungannya, persentase GDP dan absolute number pakai dolar AS per kapita. Itu yang sering dikatakan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin," katanya.
Pernyataan Menkes Budi yang dimaksud, bahwa manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran nominal uang yang dikeluarkan oleh setiap individu. Alasannya, angka harapan hidup di sejumlah negara tidak selaras dengan besaran pengeluaran per kapita masyarakat setempat.
Laksono juga pernah berkonsultasi dengan seorang pakar ekonomi kesehatan di Bank Dunia terkait Mandatory Spending.
Baca juga: Menkes: Manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran pengeluaran
"Memang Bank Dunia pun tidak pernah merumuskan atau menyarankan menggunakan angka persentase untuk Mandatory Spending," katanya.
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2023
Tags: