Media diminta gencarkan pemberitaan soal pengungsi
1 April 2013 11:39 WIB
Por Ku Sae, pengungsi berusia 14 tahun yang kehilangan delapan anggota keluarga dan satu-satunya yang selamat, menangis saat berada di kemah pengungsian Ban Mae Surin yang terbakar dekan Mae Hong Son, Sabtu (23/3). 42 orang tewas dalam kebakaran di kemah yang menjadi rumah bagi ribuan pengungsi Myanmar dekat perbatasan Thailand-Myanmar pada hari Jumat kemarin, menurut keterangan media setempat. (REUTERS/Athit Perawongmetha)
Nusa Dua (ANTARA News) - Media-media internasional didorong menggencarkan pemberitaan tentang terdamparnya pengungsi dari negara konflik di negara transit untuk menekan maraknya penyelundupan manusia.
"Yang paling utama untuk kita dorong adalah media-media di negara asal pengungsi agar masyarakat di sana tidak mudah menjadi pengungsi hanya dengan menggunakan perahu kecil yang membahayakan jiwa mereka dalam pelayaran," kata Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Hasan Kleib, di Nusa Dua, Bali, Senin.
Ia akan menyampaikan persoalan tersebut dalam pertemuan pejabat senior (SOM) "The Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime" di BICC, Nusa Dua, Senin hingga Selasa (2/4).
"Sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, kita sudah mengingatkan negara-negara media asal tentang pentingnya pemberitaan mengenai kegagalan pengungsi ke negara tujuan," kata Hasan.
Ia justru menyayangkan media-media internasional, khususnya di negara asal pengungsi, yang gencar memberitakan kisah sukses pengungsi dan pencari suaka di negara tujuan.
"`Success story` (kisah sukses) pengungsi itu memotivasi rakyat di negara konflik yang tidak mendapat kepastian ekonomi untuk keluar dari negaranya ke negara yang dianggapnya dapat menjamin kehidupan mereka. Mereka tanpa mempertimbangkan risiko dan bahaya yang dihadapi selama berlayar di lautan terbuka," katanya.
Menurut dia, seharusnya media-media internasional, khususnya di negara asal pengungsi juga memberitakan masalah terdamparnya pengungsi di beberapa negara transit, termasuk di Indonesia.
"Wilayah lautan kita ini luasnya 3.000 mil. Kapan saja bisa terjadi peristiwa terdamparnya pengungsi yang melakukan perjalanan dari negaranya ke Australia atau Selandia Baru," katanya.
Indonesia menjadi Ketua "Bali Process" bersama Australia, badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), badan PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), dan organisasi internasional untuk migrasi (IOM). "Bali Process" didirikan pada 2002 dan hingga kini sudah menggelar pertemuan yang kelima kalinya.
Dalam pertemuan yang dihadiri 200 peserta dari 35 negara anggota "Bali Process", 11 menteri, dua wakil menteri, dan delegasi dari 18 negara peninjau serta 10 organisasi internasional peninjau di Nusa Dua itu, Indonesia juga mendesak negara asal pengungsi untuk melakukan deteksi dini.
"Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami sudah mengingatkan bahwa pencegahan hanya bisa dilakukan di negara asal, sedangkan penindakan dan perlindungan terhadap korban ada di negara transit dan negara tujuan," katanya.
Selain penyelundupan manusia, pertemuan yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr itu juga membahas tentang perdagangan manusia.
"Kalau penyelundupan manusia ini kita sebagai negara transit. Namun pada kasus perdagangan manusia, kita ini korban sekaligus negara penyumbang," kata Hasan.
Oleh karena itu, pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri oleh menteri luar negeri anggota "Bali Process", melainkan juga menteri kehakiman, menteri imigrasi, pejabat kepolisian, dan instansi penegak hukum lainnya.
Dalam menyikapi masalah pengungsi yang terdampar, Indonesia lebih mengedepankan misi kemanusiaan dibandingkan penindakan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
"Selama ini kita punya opsi repatriasi `voluntary` (pemulangan secara sukarela) atau bekerja sama dengan negara tujuan dan negara ketiga. Selama proses itu berjalan, pengungsi kita tampung," kata Hasan menjelaskan.
"Yang paling utama untuk kita dorong adalah media-media di negara asal pengungsi agar masyarakat di sana tidak mudah menjadi pengungsi hanya dengan menggunakan perahu kecil yang membahayakan jiwa mereka dalam pelayaran," kata Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Hasan Kleib, di Nusa Dua, Bali, Senin.
Ia akan menyampaikan persoalan tersebut dalam pertemuan pejabat senior (SOM) "The Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime" di BICC, Nusa Dua, Senin hingga Selasa (2/4).
"Sebenarnya dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, kita sudah mengingatkan negara-negara media asal tentang pentingnya pemberitaan mengenai kegagalan pengungsi ke negara tujuan," kata Hasan.
Ia justru menyayangkan media-media internasional, khususnya di negara asal pengungsi, yang gencar memberitakan kisah sukses pengungsi dan pencari suaka di negara tujuan.
"`Success story` (kisah sukses) pengungsi itu memotivasi rakyat di negara konflik yang tidak mendapat kepastian ekonomi untuk keluar dari negaranya ke negara yang dianggapnya dapat menjamin kehidupan mereka. Mereka tanpa mempertimbangkan risiko dan bahaya yang dihadapi selama berlayar di lautan terbuka," katanya.
Menurut dia, seharusnya media-media internasional, khususnya di negara asal pengungsi juga memberitakan masalah terdamparnya pengungsi di beberapa negara transit, termasuk di Indonesia.
"Wilayah lautan kita ini luasnya 3.000 mil. Kapan saja bisa terjadi peristiwa terdamparnya pengungsi yang melakukan perjalanan dari negaranya ke Australia atau Selandia Baru," katanya.
Indonesia menjadi Ketua "Bali Process" bersama Australia, badan PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR), badan PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), dan organisasi internasional untuk migrasi (IOM). "Bali Process" didirikan pada 2002 dan hingga kini sudah menggelar pertemuan yang kelima kalinya.
Dalam pertemuan yang dihadiri 200 peserta dari 35 negara anggota "Bali Process", 11 menteri, dua wakil menteri, dan delegasi dari 18 negara peninjau serta 10 organisasi internasional peninjau di Nusa Dua itu, Indonesia juga mendesak negara asal pengungsi untuk melakukan deteksi dini.
"Pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kami sudah mengingatkan bahwa pencegahan hanya bisa dilakukan di negara asal, sedangkan penindakan dan perlindungan terhadap korban ada di negara transit dan negara tujuan," katanya.
Selain penyelundupan manusia, pertemuan yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr itu juga membahas tentang perdagangan manusia.
"Kalau penyelundupan manusia ini kita sebagai negara transit. Namun pada kasus perdagangan manusia, kita ini korban sekaligus negara penyumbang," kata Hasan.
Oleh karena itu, pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri oleh menteri luar negeri anggota "Bali Process", melainkan juga menteri kehakiman, menteri imigrasi, pejabat kepolisian, dan instansi penegak hukum lainnya.
Dalam menyikapi masalah pengungsi yang terdampar, Indonesia lebih mengedepankan misi kemanusiaan dibandingkan penindakan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.
"Selama ini kita punya opsi repatriasi `voluntary` (pemulangan secara sukarela) atau bekerja sama dengan negara tujuan dan negara ketiga. Selama proses itu berjalan, pengungsi kita tampung," kata Hasan menjelaskan.
Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2013
Tags: