MK tolak permohonan Bupati dan Wabup Talaud soal UU Pilkada
31 Juli 2023 23:02 WIB
Tangkapan layar - Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan di gedung MK RI, sebagaimana dipantau secara daring dari Jakarta, Senin (31/7/2023). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Bupati Kepulauan Talaud Elly Engelbert Lasut dan Wakil Bupati Moktar Arunde Parapaga terkait pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
"Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, sebagaimana dipantau secara daring.
Pemohon menggugat Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang berbunyi "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023."
Dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon memohon frasa "hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023" pada pasal tersebut diubah menjadi "memegang masa jabatan selama lima tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak Tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan."
Baca juga: MK diminta percepat sidang pengujian UU Pilkada
Menurut pemohon, sebagaimana termaktub dalam salinan putusan MK yang diunduh dari laman mkri.id, ketentuan Pasal 201 ayat (5) mengakibatkan pemohon tidak menjalankan masa jabatannya secara penuh selama lima tahun, melainkan hanya tiga tahun semenjak dilantik dan masa jabatan tersebut akan berakhir pada 2023.
Hal itu karena Pemohon baru dilantik atau diambil sumpahnya sebagai Bupati dan Wabup Kepulauan Talaud pada 26 Februari 2020, sementara pengesahan keduanya telah dilakukan sejak 1 Juli 2019.
Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa pokok permohonan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Enny mengatakan pasal yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon berada dalam Bab XXVI Ketentuan Peralihan.
"Bahwa perumusan norma dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan UU Pilkada tidak dapat dilepaskan dari penataan ulang jadwal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang untuk pertama kali akan dilaksanakan pada tahun 2024," jelas Enny.
Baca juga: Mahfud: Perppu diterbitkan, pengujian UU Pilkada berjalan
Menurut Mahkamah, frasa "hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023" merupakan bagian yang paling esensial dari keseluruhan norma dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo.
Sebagai norma transisi, Mahkamah mengatakan bahwa memberikan pemaknaan baru terhadap frasa tersebut, berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak sederhana terhadap pilkada yang diselenggarakan pada 2018.
Makna baru yang dimohonkan Pemohon dinilai menghilangkan arti atau makna Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo sebagai norma transisi. Selain itu, juga akan menghilangkan keberadaannya sebagai norma penghubung dengan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
"Sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya," ucap Saldi.
Di sisi lain, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
"Karena seharusnya Mahkamah Konstitusi belum sampai pada kesimpulan menolak permohonan Pemohon a quo dan menyatakan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah konstitusional, akan tetapi seharusnya menyatakan permohonan Pemohon a quo tidak dapat diterima," kata Guntur.
"Mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman ketika membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, sebagaimana dipantau secara daring.
Pemohon menggugat Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang berbunyi "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023."
Dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Pemohon memohon frasa "hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023" pada pasal tersebut diubah menjadi "memegang masa jabatan selama lima tahun atau memegang masa jabatan semaksimal mungkin sampai periode Pilkada Serentak Tahun 2024 dilaksanakan, terhitung sejak tanggal pelantikan."
Baca juga: MK diminta percepat sidang pengujian UU Pilkada
Menurut pemohon, sebagaimana termaktub dalam salinan putusan MK yang diunduh dari laman mkri.id, ketentuan Pasal 201 ayat (5) mengakibatkan pemohon tidak menjalankan masa jabatannya secara penuh selama lima tahun, melainkan hanya tiga tahun semenjak dilantik dan masa jabatan tersebut akan berakhir pada 2023.
Hal itu karena Pemohon baru dilantik atau diambil sumpahnya sebagai Bupati dan Wabup Kepulauan Talaud pada 26 Februari 2020, sementara pengesahan keduanya telah dilakukan sejak 1 Juli 2019.
Mahkamah Konstitusi berkesimpulan bahwa pokok permohonan oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Enny mengatakan pasal yang diuji konstitusionalitasnya oleh Pemohon berada dalam Bab XXVI Ketentuan Peralihan.
"Bahwa perumusan norma dalam Bab XXVI perihal Ketentuan Peralihan UU Pilkada tidak dapat dilepaskan dari penataan ulang jadwal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang untuk pertama kali akan dilaksanakan pada tahun 2024," jelas Enny.
Baca juga: Mahfud: Perppu diterbitkan, pengujian UU Pilkada berjalan
Menurut Mahkamah, frasa "hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023" merupakan bagian yang paling esensial dari keseluruhan norma dalam Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo.
Sebagai norma transisi, Mahkamah mengatakan bahwa memberikan pemaknaan baru terhadap frasa tersebut, berpotensi menimbulkan implikasi yang tidak sederhana terhadap pilkada yang diselenggarakan pada 2018.
Makna baru yang dimohonkan Pemohon dinilai menghilangkan arti atau makna Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada a quo sebagai norma transisi. Selain itu, juga akan menghilangkan keberadaannya sebagai norma penghubung dengan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.
Lebih lanjut, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam UUD 1945.
"Sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya," ucap Saldi.
Di sisi lain, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah memiliki alasan berbeda (concurring opinion).
"Karena seharusnya Mahkamah Konstitusi belum sampai pada kesimpulan menolak permohonan Pemohon a quo dan menyatakan ketentuan norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 adalah konstitusional, akan tetapi seharusnya menyatakan permohonan Pemohon a quo tidak dapat diterima," kata Guntur.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2023
Tags: