Di salah satu kamar ruang bawah tanah gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, dua orang sibuk memilah poster dan gambar adegan film-film lama yang akan ditampilkan pada peringatan Hari Film Nasional Selasa lalu (26/3).
Beberapa meter dari mereka ada meja kerja Firdaus, tempat dia memeriksa gulungan pita film di meja editing sebelum menyimpannya kembali di gudang dingin yang ada di sebelah ruang kerja.
Siang itu pekerjaan Firdaus sudah usai, tapi dia berbaik hati memperagakan cara memeriksa gulungan pita film di ruang kerjanya yang sedikit berasap karena sebelumnya beberapa orang merokok di sana.
Cekatan dia mengaitkan pita film pada panil-panil di meja editing dan menghidupkan perangkat yang mengubah siluet gambar pada pita itu menjadi gambar hidup.
Bersama bunyi rrrrrrttttt dan latar musik film, tulisan Waroeng Podjok muncul di layar yang lebarnya sekitar separuh layar televisi 14 inchi, lalu gambar pelakon Ratmi B-29 dan Doris Callebaute muncul.
Gambar-gambar film yang diproduksi tahun 1977 itu terlihat seperti berlapis warna kemerahan.
"Kalau begini sudah baret filmnya. Suaranya kurang bagus. Keseimbangan warnanya juga, merah kan gambarnya?" kata Firdaus sambil menunjuk beberapa garis hitam halus pada layar meja editing.
Firdaus sehari-hari bertugas merawat koleksi film yang disimpan di gudang dingin Sinematek Indonesia, tempat dia bekerja sejak tahun 1997.
Dia memeriksa kondisi koleksi film baru yang akan masuk ke gudang dan secara berkala mengecek kondisi koleksi-koleksi film yang sudah lama tersimpan dalam ruangan yang kondisinya dijaga agar tetap stabil pada suhu sembilan derajat Celcius sampai 12 derajat Celcius serta kelembaban antara 45 persen dan 65 persen.
"Yang sedikit lengket atau membutuhkan pembersihan akan dibersihkan menggunakan cairan 1,1,1-trichloroethane atau TCE, baru disimpan lagi," kata Kepala Seksi Perawatan Film Sinematek Indonesia Nur Hartono Subahri yang lebih dikenal dengan Hartono saja.
Sementara film-film yang kondisinya masih bagus paling diputar balik gulungan pitanya lalu disimpan lagi di gudang dingin, tempat rak-rak besi setinggi sekira tiga meter dengan tumpukan cakram tempat gulungan pita film yang kebanyakan berwarna hitam dan kelabu serta bentuk koleksi film yang lain.
Di ruangan itu juga ada koleksi film berbentuk cakram besar berwarna hitam yang tersimpan dalam macam-macam koper, koleksi film berbentuk kaset video Betamax dan VHS serta keping Video Compact Disk (VCD) dan Digital Versatile Disk (DVD).
Sampai bulan November 2012, gudang dingin itu menyimpan 243 judul film cerita 35 mm warna dan hitam putih positif serta 75 film cerita 16 mm warna dan hitam putif positif. Jumlah kopi film dengan format-format itu 553 kopi.
Selain itu ada 1.764 film dokumenter hitam putih dan warna positif pada pita 35 mm dan 16 mm. Ada juga 632 judul film negatif baik hitam putih maupun warna.
Gudang itu juga menyimpan film-film titipan beberapa perusahaan film seperti Miles, StarVision, dan RAPI Film.
"Ini yang paling tua di sini, tahun 1935," kata Firdaus sambil menunjukkan gulungan pita film berjudul "Tie Pat Kay Kawin (Siloeman Babi Kawin Siloeman Monjet)" di antara rak-rak di ruang penyimpanan yang suhunya membikin pori-pori kulit mengkerut.
Selain itu ada film "Darah dan Doa" atau "The Long March" karya Usmar Ismail, film berdurasi 128 menit yang diproduksi Perfini pada 1950.
Konferensi Kerja Dewan Film Indonesia pada 11 Oktober 1962 menetapkan waktu produksi film itu sebagai awal pembuatan film nasional dan tanggal pengambilan gambar pertamanya, 30 Maret, sebagai Hari Film Nasional meski sebenarnya film cerita pertama yang dibikin di Indonesia adalah "Loetoeng Kasaroeng" (1926).
Ada juga koleksi film "Tiga Dara" (1956), "Remboelan dan Matahari" (1979), "November 1928" (1979), "Usia 18" (1980), "Badai Pasti Berlalu" (1977), serta film-film seperti "Pandji Tengkorak" (1971), "Cinta Dibalik Noda" (1984), dan "Perawan Lembah Wilis" (1993).
Namun koleksi film "Loetoeng Kasaroeng" dan film-film lain yang diproduksi sebelum tahun 1935 belum ada di rak koleksi Sinematek Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir sudah tidak rutin mengalokasikan anggaran khusus untuk menambah koleksi film.
"Koleksi terakhir yang masuk tahun 2012 ada enam, termasuk film 'Under the Tree' dan 'Karma'," kata Hartono.
Pengayaan
Menurut Hartono, kebanyakan koleksi film Sinematek dikumpulkan Misbach Yusa Biran yang membentuk Sinematek bersama Asrul Sani pada 20 Oktober 1975.
"Kebanyakan dikumpulkan oleh Pak Misbach dan teman-temannya, seperti Pak SM Ardan," kata Hartono, sarjana teknik mesin yang sudah bekerja di Sinematek sejak 1983.
"Tapi ada juga yang dihibahkan oleh perseorangan maupun lembaga di dalam maupun luar negeri ke Sinematek," kata pria yang belajar merawat film secara otodidak dengan arahan Misbach Yusa Biran dan SM Ardan itu.
Sinematek, lanjut dia, antara lain pernah mendapat hibah koleksi film dari Jerman, Kanada dan Prancis.
Ia menjelaskan, ketika Departemen Penerangan masih ada, pemerintah mewajibkan pembuat film yang karyanya masuk nominasi Festival Film Indonesia (FFI) memberikan kopi film ke Sinematek.
"Tapi itu tidak berjalan lama," kata Hartono.
Kondisi demikian membuat penambahan koleksi film Sinematek makin lamban karena kemampuan pendanaan yang terbatas, menurut Hartono, membuat pengelola Sinematek Indonesia tidak bisa lagi mengalokasikan anggaran rutin untuk menambah koleksi.
"Setelah tahun 2000-an relatif tidak banyak penambahan koleksi karena tidak ada anggaran rutin untuk pengadaan. Tapi sekarang kelihatannya yayasan sedang berusaha memperbaiki itu," katanya.
Penambahan koleksi, ia melanjutkan, sekarang hanya bergantung pada hibah dari orang atau pihak yang peduli dengan Sinematek.
"Seperti Miles, dia titip film di sini, bantu dana perawatan, pernah juga kasih film dalam bentuk keping," katanya.
Hartono menjelaskan, keterbatasan pendanaan tidak hanya menekan upaya pengayaan koleksi tapi juga mempengaruhi kinerja perawatan koleksi film, termasuk poster, foto-foto artis dan adegan film, skenario, dan gambar skripnya.
Kondisi ruang penyimpanan film yang saat ini belum bisa dikatakan ideal, suhu, kelembaban, pencahayaan dan kondisi ruangnya belum sepenuhnya sesuai dengan standar tempat penyimpanan koleksi film.
Menurut Firdaus, suhu dan kelembaban ruang penyimpanan film selama ini bisa dijaga berada di bawah batas aman namun bisa berada pada batas aman saat ada gangguan listrik.
"Pernah terganggu, tapi masih 12 derajat, tidak sampai melebihi batas," katanya.
Beberapa titik di dinding ruang penyimpanan saat ini juga sudah menghitam karena berjamur.
"Perangkat pendukung untuk menjaga stabilitas suhu dan kelembaban memang masih jadi masalah. Seharusnya dinding dilengkapi dengan isolator khusus supaya kondisi luar ruang tidak berpengaruh ke dalam. Sekarang ini stabilitas suhu dan kelembaban ruangan kadang masih terganggu, itu yang menimbulkan jamur," jelas Hartono.
Namun kondisi seperti itu sampai sekarang tidak merusakkan koleksi film. "Sejak saya bekerja di sini sampai sekarang belum ada sih yang sampai rusak dan tidak bisa diperbaiki," katanya.
Ia hanya menunjukkan satu gulungan film untuk memperlihatkan koleksi film yang rusak, namun katanya masih bisa diperbaiki, gulungan pita film itu sebagian sudah merekat satu sama lain.
Usaha baru
Kepala Sinematek Indonesia Adisurya Abdy mengatakan saat ini yayasan tidak mendapat dukungan dana tetap dari pemerintah karena itu hanya bisa melakukan perawatan dengan dana yang berhasil digalang.
Ia tidak mengungkapkan besaran biaya yang selama ini rutin dikeluarkan untuk perawatan koleksi film, hanya menyebut kebutuhan dana ideal untuk perawatan rutin setiap koleksi film per tahun.
"Biaya perawatan satu judul film idealnya Rp1 juta per tahun, tapi karena dana kami terbatas kami melakukan perawatan dengan dana yang ada. Ya, tambal sulam sana sini lah," kata Adi.
Selanjutnya, kata dia, pengelola Sinematek akan menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk menambah dan merawat koleksi, termasuk menyesuaikan sistem koleksi dengan perkembangan teknologi informasi terkini.
"Kami ingin menyegarkan kembali kerja sama dengan pemerintah. Juga melakukan sosialiasi kepada pihak lain untuk menumbuhkan kepedulian terhadap pengarsipan film," katanya.
Sinematek, ia menjelaskan, juga ingin melanjutkan kerja sama dengan pihak lain untuk memformat lagi koleksi film seluloid yang ada ke bentuk digital.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, katanya, sudah memulai kerja sama untuk mengubah format 29 film seluloid koleksi Sinematek ke dalam bentuk digital.
"Harapan kami pemerintah mengalokasikan anggaran untuk digitalisasi setidaknya 30 film dalam setahun supaya secara bertahap koleksi bisa disimpan dalam bentuk digital," kata dia.
Ia juga berencana menyimpan semua koleksi film, poster film dan foto-foto adegan milik Sinematek dalam bentuk digital supaya lebih mudah diakses. "Jadi nanti semua bisa dilihat hanya dengan mengklik," katanya.
Sinematek, kata dia, membuka pintu bagi semua pihak yang ingin membantu yayasan mengembangkan dan merawat ratusan koleksi yang tak ternilai harganya bagi sejarah perfilman negeri ini.
"Kami akan menyambut dengan tangan terbuka," demikian Adisurya Abdy.
Harta karun di gudang dingin Sinematek
29 Maret 2013 13:51 WIB
Firdaus menunjukkan koleksi film di ruang penyimpanan Sinematek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/3).(ANTARA News/Maryati)
Oleh Maryati
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013
Tags: