Samarinda (ANTARA) - Tak gampang mencapai Kampung Mapulu di Kecamatan Kelay, satu-satunya desa tertinggal di Kabupaten Berau, atau salah satu desa dari lima desa tertinggal di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) pada 2023.

Untuk mencapai desa/ kampung ini harus melalui jalan panjang, penuh tikungan tajam, sebagian jalan tanah, banyak tanjakan, turunan, bahkan dengan jalan yang kebanyakan rusak, bergelombang, termasuk ada yang longsor.

Tim dari sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD) di Provinsi Kaltim yang dikomandoi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) harus melalui semua rintangan tersebut untuk sampai di Kampung Mapulu.

Senin, 25 Juli 2023, sekitar pukul 09.00 WITA, tim berangkat dari Kota Samarinda, Ibu Kota Provinsi Kaltim, menuju Mapulu. Untuk mencapai desa ini harus melewati Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur.

Jarak dari Samarinda ke Ibu Kota Kecamatan Kelay sekitar 265 km jika ditarik garis lurus. Namun karena jalan tidak bisa mengikuti garis lurus karena banyak bukit, sungai dan mengikuti kontur tanah, jarak dari Samarinda ke Kelay sekira 400 km.

Tim dari Samarinda pun tidak bisa mencapai Mapulu dalam sehari, karena pada pukul 14.00 pun baru sampai di Sangatta, Ibu Kota Kutai Timur, sehingga harus rehat makan di Sangatta.

Perjalanan dilanjutkan mengarah ke Berau, namun ketika sampai di Kecamatan Konbeng sudah malam, sekitar pukul 19.00, sehingga harus mencari penginapan. Pukul 19.19 WITA, tim sampai di salah satu hotel di Kongbeng.

Kecamatan Kongbeng merupakan kecamatan paling utara di Kutai Timur. Kongbeng merupakan kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan Kelay, Berau.

Tim tidak mungkin melanjutkan langsung ke Kampung Mapulu karena waktu tempuh masih jauh, yakni sekira 4 jam. Ditambah tidak ada kapal penyeberangan atau feri yang beroperasi pada malam hari.

Perjalanan dilanjutkan pada Selasa pagi, pukul 07.30, dengan melewati beberapa kampung, salah satunya Kampung Sido Bangen, Ibu Kota Kecamatan Kelay. Kemudian berbelok ke kanan atau masuk Kampung Muara Lesan.

Kemudian menyeberangi Sungai Kelay menggunakan kapal feri tradisional dari kayu yang hanya muat maksimal dua mobil kecil, sedangkan mobil agak besar, feri hanya berani memuat satu unit.

Selain DPMPD, tim dari Pemprov Kaltim yang turut menyertai perjalanan ke Mapulu adalah Dinas Pendidikan, Dinas Perpustakaan, Dinas PUPR, Dinas Perindustrian, Disnakertrans, Biro Kesra, dan Biro Ekonomi. Pelibatan lintas OPD merupakan strategi jitu mengangkat status desa.

Setiap OPD yang ikut di rombongan ini memiliki peran dan tugas masing-masing untuk mendongkrak Kampung Mapulu dari status tertinggal pada 2023, menjadi desa berkembang pada 2024, syukur jika bisa langsung melompat ke status desa maju.

Sistem "keroyokan"

Aswanda, kepala Bidang Pembangunan Desa dan Kawasan Perdesaan DPMPD Provinsi Kaltim yang memimpin perjalanan ini mengatakan, lintas OPD diajak ke Mapulu karena upaya mengentaskan desa tertinggal menjadi berkembang, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu OPD, namun perlu "dikeroyok" oleh OPD lain terkait.

Sistem "keroyokan" merupakan kegiatan yang bukan sekadar memberi harapan, namun merupakan kewajiban lintas sektor dalam penanganan, karena untuk mengangkat nilai Indeks Desa Membangun (IDM) berkaitan erat dengan kewenangan OPD lain.

Terdapat tiga indeks yang harus diintervensi untuk mendongkrak desa tertinggal menjadi desa berkembang yakni intervensi dari sisi indeks ketahanan sosial (IKS), indeks ketahanan ekonomi (IKE), dan indeks ketahanan lingkungan (IKL).

Masing-masing pihak tersebut setelah melihat langsung kondisi Kampung Mapulu, kemudian memetakan dan merumuskan untuk melakukan intervensi sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka, sehingga setelah dilakukan penanganan, maka akan dapat mendongkrak nilai IDM.

Jika dijabarkan, tiga indeks tersebut sangat luas dan memang harus melibatkan banyak OPD, antara lain terkait dengan ketersediaan maupun jarak tempuh ke sejumlah fasilitas seperti puskesmas, sekolah, pasar, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, infrastruktur jalan, dan lainnya.

Menurut Ayub, kepala Kampung Mapulu, desa yang ia pimpin ini belum memiliki dokter, bidan, tenaga kesehatan lain, PAUD, SMP, SMA maupun yang sederajat, termasuk fasilitas Kejar Paket A, B, C, sehingga untuk memperoleh fasilitas tersebut harus ke kampung lain.

Misalnya anak-anak yang ingin masuk SMP harus ke kampung lain dengan menempuh perjalanan cukup jauh, yakni jarak tempuh ke SMP dan SMA mencapai 12 km.

Bahkan SD pun belum punya, sehingga anak-anak yang ingin menikmati layanan pendidikan harus ke desa terdekat, yakni Kampung Muara Lesan yang berada di seberang Sungai Kelay. Sedangkan dari Mapulu ke Sungai Kelai perlu waktu sekira 1 jam menggunakan sepeda motor.

Desa seluas sekitar 10 hektare yang hanya dihuni 101 jiwa dengan 34 kepala keluarga (KK) ini juga belum memiliki pusat keterampilan atau kursus, perpustakaan desa, ruang publik, bahkan jalan menuju desa dari Sungai Kelay dengan waktu tempuh sekira 1 jam juga masih jalan tanah.

Desa ini juga belum memiliki listrik, pengelolaan sampah masih dibakar, sumber air berasal dari sungai dan tadah hujan, belum memiliki pasar, jarak ke pertokoan terdekat sekitar 25 km, tidak terdapat transportasi umum, dan sejumlah kekurangan lain sehingga menyebabkan menyandang status desa tertinggal.

Dalam kunjungan kerja tim ke Mapulu tersebut sudah ada satu peningkatan nilai IDM, karena dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Kaltim yang turut hadir, langsung menyerahkan 154 buku atau sebanyak 77 judul buku pengetahuan umum (satu judul terdiri du buku).

Dengan 154 buku yang kini menjadi milik Kampung Mapulu tersebut, pemerintah kampung dan warga setempat akan membuat ruang perpustakaan desa, sehingga nilai IDM Kampung Mapulu akan bertambah satu.

Kampung ini baru melakukan relokasi ke permukiman baru, yakni relokasi mandiri dilakukan pada 2020 lalu, mendekati Kampung Panaan. Sebelumnya kampung ini masih menumpang di wilayah administrasi Kampung Merabu yang juga di Kecamatan Kelay.

Infrastruktur pendukung dibangun

Meski permukiman di Mapulu tergolong baru dan hingga kini masih dalam proses pembangunan sejumlah fasilitas, namun diyakini pada 2024 minimal bisa naik status menjadi desa berkembang karena pembangunan sistem keroyokan segera dilakukan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kabupaten Berau Tenteram Rahayu (ANTARA / M Ghofar)

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK) Kabupaten Berau Tenteram Rahayu mengatakan, sistem keroyokan oleh beberapa OPD baik tingkat Provinsi Kaltim maupun Pemkab Berau, bahkan Pemerintah Kampung Mapulu dilakukan untuk mempercepat terwujudnya desa berkembang.

Sejumlah infrastruktur pendukung pun dibangun pada 2023, seperti Pemkab Berau telah mengalokasikan anggaran senilai Rp2,5 miliar dari dana afirmasi untuk pembangunan 26 unit rumah layak huni, sedangkan yang sudah terbangun sebanyak delapan rumah dari APBN melalui Dana Desa.

Hal itu berarti semua KK atau sebanyak 34 KK di Mapulu paling tidak akhir tahun ini memiliki rumah layak huni, sehingga keberadaan rumah tersebut dapat menambah nilai IDM.

Tahun ini juga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Berau membangun tiga ruang belajar untuk SD di kampung yang baru pindah tersebut, sehingga anak-anak tidak perlu menempuh jarak jauh jika ingin sekolah.

Kemudian Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kaltim segera memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) komunal di Mapulu, sehingga warga segera dapat menikmati aliran listrik.

"Kami sudah beberapa kali menggelar pertemuan lintas OPD terkait strategi mengentaskan desa tertinggal di Mapulu. Lintas OPD di Berau sudah berkomitmen, termasuk OPD di Provinsi Kaltim, bahkan dari Kementerian, sehingga tahun depan Mapulu minimal jadi desa berkembang," ucap Tenteram.