Kemenkeu jelaskan rasio pajak menyesuaikan kondisi struktur ekonomi
26 Juli 2023 18:44 WIB
Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal (ketiga dari kiri) memberikan pemaparan dalam Seminar Nasional Perpajakan di Jakarta, Rabu (26/7/2023). (ANTARA/Imamatul Silfia)
Jakarta (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menjelaskan rasio pajak (tax ratio) menyesuaikan kondisi struktur ekonomi negara.
Artinya, rasio pajak suatu negara tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara lain.
“Kalau mau dibandingkan, perlu dilihat apakah pengukuran dan model perpajakannya sama atau berbeda,” kata Yon dalam Seminar Nasional Perpajakan di Jakarta, Rabu.
Kementerian Keuangan mencatat rasio pajak Indonesia pada 2022 tercatat sebesar 10,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Yon menjelaskan rasio pajak Indonesia hanya menghitung perolehan pajak yang diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sementara bila menggunakan pengukuran lain, seperti Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), maka perpajakan juga menghitung royalti dan pajak daerah, sehingga ada tambahan sekitar 2,5 persen.
Akan tetapi, struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh UMKM, di mana 60 persen di antaranya merupakan UKM (usaha kecil dan menengah) dan sekitar 37 persen lainnya merupakan usaha mikro yang memiliki omzet kurang dari Rp300 juta per tahun.
“Kalau Rp300 juta per tahun, berarti Rp1 juta per hari. Pertanyaannya, apakah mereka yang berada dalam kelompok ini dipajaki dengan cara yang sama?” tambah Yon.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan berupaya mencari solusi yang lebih baik yang dapat menyesuaikan struktur ekonomi Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Keuangan adalah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Melalui aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, pemerintah menetapkan wajib pajak orang pribadi yang tergolong pelaku usaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh).
“Tentu ada bagian yang hilang, pajak yang tidak kita kumpulkan. Tapi, tidak apa-apa. Dalam konteks pajaknya hilang, tapi ekonominya akan tumbuh, karena daya beli UMKM ini,” ujar Yon.
Oleh karena itu, meski masih banyak faktor yang mempengaruhi rasio pajak yang perlu ditingkatkan, namun Yon mengingatkan perlunya mempertimbangkan struktur ekonomi sebagai catatan.
“Tapi, tentu juga ada ruang-ruang dalam administrasi perpajakan yang perlu kita tingkatkan. Maka dari itu, saat ini kami selalu melakukan reformasi, seperti perbaikan sumber daya manusia (SDM) dan informasi teknologi (IT),” jelas dia.
Baca juga: Kemenkeu sebut jumlah wajib pajak meningkat signifikan sejak reformasi
Baca juga: Kemenkeu: Pertumbuhan penerimaan pajak dapat jadi bantalan sosial
Artinya, rasio pajak suatu negara tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara lain.
“Kalau mau dibandingkan, perlu dilihat apakah pengukuran dan model perpajakannya sama atau berbeda,” kata Yon dalam Seminar Nasional Perpajakan di Jakarta, Rabu.
Kementerian Keuangan mencatat rasio pajak Indonesia pada 2022 tercatat sebesar 10,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Yon menjelaskan rasio pajak Indonesia hanya menghitung perolehan pajak yang diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Sementara bila menggunakan pengukuran lain, seperti Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), maka perpajakan juga menghitung royalti dan pajak daerah, sehingga ada tambahan sekitar 2,5 persen.
Akan tetapi, struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh UMKM, di mana 60 persen di antaranya merupakan UKM (usaha kecil dan menengah) dan sekitar 37 persen lainnya merupakan usaha mikro yang memiliki omzet kurang dari Rp300 juta per tahun.
“Kalau Rp300 juta per tahun, berarti Rp1 juta per hari. Pertanyaannya, apakah mereka yang berada dalam kelompok ini dipajaki dengan cara yang sama?” tambah Yon.
Oleh karena itu, Kementerian Keuangan berupaya mencari solusi yang lebih baik yang dapat menyesuaikan struktur ekonomi Indonesia.
Salah satu upaya yang dilakukan Kementerian Keuangan adalah menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Melalui aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, pemerintah menetapkan wajib pajak orang pribadi yang tergolong pelaku usaha kecil dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh).
“Tentu ada bagian yang hilang, pajak yang tidak kita kumpulkan. Tapi, tidak apa-apa. Dalam konteks pajaknya hilang, tapi ekonominya akan tumbuh, karena daya beli UMKM ini,” ujar Yon.
Oleh karena itu, meski masih banyak faktor yang mempengaruhi rasio pajak yang perlu ditingkatkan, namun Yon mengingatkan perlunya mempertimbangkan struktur ekonomi sebagai catatan.
“Tapi, tentu juga ada ruang-ruang dalam administrasi perpajakan yang perlu kita tingkatkan. Maka dari itu, saat ini kami selalu melakukan reformasi, seperti perbaikan sumber daya manusia (SDM) dan informasi teknologi (IT),” jelas dia.
Baca juga: Kemenkeu sebut jumlah wajib pajak meningkat signifikan sejak reformasi
Baca juga: Kemenkeu: Pertumbuhan penerimaan pajak dapat jadi bantalan sosial
Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Nurul Aulia Badar
Copyright © ANTARA 2023
Tags: