Artikel
Nurul Jadid, kampus dan pesantren terbuka
Oleh Masuki M. Astro
25 Juli 2023 22:42 WIB
Gubernur Narathiwat Thailand Sanan Phongaksom (berbaju batik hijau dan berkalung bunga) mengunjungi Universitas Nurul Jadid (Unuja) di Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (25/7/2023). ANTARA/Masuki M. Astro
Probolinggo (ANTARA) - Selasa (25/7) siang, pemandangan tak biasa terlihat di Lantai 3 Aula Rektorat Universitas Nurul Jadid (Unuja), Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Acara di kampus yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Nurul Jadid itu dihadiri beberapa perempuan tidak berjilbab, sementara yang laki-laki tidak mengenakan kopiah.
Pada acara-acara resmi di pondok pesantren, sudah menjadi kebiasaan jika semua yang hadir mengenakan pakaian yang sesuai dengan norma di lembaga pendidikan Islam itu. Rupanya, perempuan-perempuan pada acara di aula rektorat itu merupakan anggota rombongan dari Gubernur Narathiwat, Thailand, Sanan Phongaksom, yang siang itu mengunjungi kampus Unuja.
Kunjungan pejabat dari Negeri Gajah Putih itu bukan sekadar menunjukkan adanya hubungan kerja sama perguruan tinggi Indonesia dengan negara lain. Lebih dari itu, menunjukkan terbukanya satu kampus yang berada di bawah naungan pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam.
Meskipun kampus itu terkait erat dengan pesantren, dalam hubungan kemanusiaan dan pendidikan, Nurul Jadid tidak menutup diri.
"Dalam hal mu'asyarah (hubungan), kami memandang bahwa kita memang punya saudara. Saudara itu bisa seagama, sebangsa, atau sesama manusia. Itulah konteks hubungan kerja sama ini. Kita bisa berhubungan dengan siapa pun dalam semangat tolong-menolong," tutur Kepala Pesantren Nurul Jadid sekaligus Rektor Unuja K.H. Abdul Hamid Wahid, M.Ag.
Meskipun terbuka dengan kelompok dan negara mana pun, Kiai Hamid tetap berpegang teguh pada jalinan kerja sama sederajat dan bermartabat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa, sebagai warga negara, dan sebagai umat.
Landasan kokoh "tidak kehilangan jati diri" sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam inilah yang menjadi pegangan pemimpin Nurul Jadid membuka pintu dan jalan bagi para santri dan mahasantri untuk memperluas jaringan, tidak hanya dengan sesama bangsa dan seagama.
Semangat dari kerja sama lintas negara dan kemudian bersentuhan dengan lintas agama itu adalah untuk menambah wawasan dan jaringan lulusan pesantren dan kampus Unuja sehingga mereka memiliki bekal lengkap saat kelak terjun dan mengabdi di masyarakat.
Jika kembali pada ajaran agama, terbukanya jalinan kerja sama dengan berbagai pihak merupakan pengejawantahan dari hakikat Islam yang harus menjadi rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil'alamin.
Dalam beberapa tahun ini, Pondok Pesantren Nurul Jadid menerima santri dari Thailand, khususnya dari wilayah selatan, termasuk Unuja yang juga menerima mahasiswa dari negara itu. Saat ini tercatat ada lima mahasiswa Unuja asal Thailand, sedangkan satu orang lainnya sudah lulus.
Keterbukaan itu bukan hanya menjalin kerja sama. Di pesantren yang didirikan oleh K.H. Zaini Mun'im (almarhum) itu dalam beberapa tahun terakhir telah membuka jurusan Bahasa Mandarin bagi siswa sekolah menengah atas (SMA) dan beberapa dari lulusannya banyak mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi di China.
Pelajaran Bahasa Mandarin itu disediakan bagi santri yang memilih SMA unggulan. Di sekolah formal itu, siswa mendalami Bahasa Mandarin, selain Bahasa Arab dan Inggris.
Dengan membuka jurusan Bahasa Mandarin, Pondok Pesantren Nurul Jadid sering dikunjungi oleh diplomat dari Konsul Jenderal China di Surabaya, termasuk dari Konjen Jepang. Dengan seperti itu, maka keterbukaan pikiran dan pemahaman para santri Nurul Jadid mengenai pergaulan terbuka sudah tertanam sejak lama.
Salah seorang alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk kuliah di China adalah Novi Basuki. Novi Basuki, asal Kabupaten Situbondo, menempuh pendidikan S-1 Jurusan Bahasa Mandarin di Universitas Xiamen, kemudian melanjutkan S-2 di universitas itu dengan Jurusan Hubungan Internasional. Untuk studi S-3, ia mengambil Jurusan Politik Internasional di Guangzhou.
Melihat penampilan Novi saat diwawancarai mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, kita mendapatkan bukti kuat mengenai ungkapan Kiai Hamid mengenai hubungan sederajat dan berpegang pada jati diri sebagai bangsa dan Umat Islam.
Meskipun sudah 10 tahun tinggal dan menempuh pendidikan di China, Novi tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang dengan Suku Madura dan sebagai santri. Ia tidak kemudian menjadi berpenampilan ke-china-china-an, tapi tetap dengan penampilan sebagaimana santri. Ia nyaman mengenakan kopiah dan berperilaku sebagai santri. Santri memiliki jati diri sebagai anak yang selalu hormat pada guru dan orang tua.
Karena itu, setelah lulus dari China dan menyandang gelar doktor, Novi akan kembali ke Indonesia untuk mengaplikasikan ilmunya. Niat kembalinya dia ke Indonesia adalah berbakti kepada guru dan orang tua.
Masih menjadi pandangan umum di masyarakat bahwa santri itu lebih layak dan lumrah jika setelah lulus dari pesantren, kemudian melanjutkan pendidikan ke kampus berbasis agama dan jurusan agama. Kalau melanjutkan ke luar negeri, biasanya kampus yang dipilih adalah di Mesir atau di Arab Saudi.
Awalnya Novi mendapatkan semacam perlawanan dari masyarakat di desanya dengan pertanyaan, "Lulusan pesantren kok malah sekolah ke China?" Akan tetapi Novi telah membuktikan bahwa lulusan pesantren memiliki pegangan nilai yang kuat untuk terjun dan hidup di mana pun dan dalam kondisi apa pun, dengan tetap mempertahankan jati dirinya.
Kembali ke hubungan dengan negara dan pihak mana pun, Kiai Hamid menyatakan bahwa penerimaan santri dan mahasiswa dari luar negeri, khususnya Thailand, di pesantren dan kampus Universitas Nurul Jadid, merupakan wujud dari semangat saling membantu sebagai saudara.
Kiai Hamid menceritakan bahwa banyaknya alumni Nurul Jadid yang mendapatkan beasiswa ke beberapa perguruan tinggi di China itu terwujud, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, termasuk dari masyarakat non-Muslim dan dari negara lain.
Keterbukaan akan ilmu di Nurul Jadid akan terus dikembangkan. Kalau saat ini santri diajari bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, nantinya akan ditambah dengan bahasa asing lainnya, seperti Jepang, Korea, Turki, dan lainnya.
"Kami akan mendirikan pusat bahasa asing, sesuai dengan jurusan yang ada itu. Untuk mendukung pendirian pusat bahasa ini, kami tidak melihat latar belakang agama dan bangsa untuk mendapatkan dukungan. Hal terpenting adalah bagaimana memberi maslahat (kebaikan) bagi bangsa dan negara kita," kata mantan anggota DPR RI ini.
Kiai Hamid berharap semua yang diikhtiarkan, baik di pondok pesantren maupun di perguruan tinggi yang dia pimpin, akan memberi manfaat besar bagi kemanusiaan dan menjadi penerapan nyata dari Islam yang rahmatan lil'alamin.
Sementara itu, Gubernur Narathiwat Sanan Phongaksom mengaku nyaman dan bahagia bisa berkunjung dan melihat suasana di Unuja dan pesantren. Dengan sambutan yang ramah, ia menilai, Kiai Hamid dan seluruh insan di Nurul Jadid adalah orang-orang baik.
Sanan menyambut baik ajakan dari pemimpin kampus Unuja untuk menjalin hubungan bidang pendidikan dari kampus di Thailand, khususnya di Provinsi Narathiwat. Kerja sama itu nantinya bisa dikembangkan tidak hanya di bidang pendidikan, tapi juga pertanian, pariwisata, dan lainnya.
Pada acara-acara resmi di pondok pesantren, sudah menjadi kebiasaan jika semua yang hadir mengenakan pakaian yang sesuai dengan norma di lembaga pendidikan Islam itu. Rupanya, perempuan-perempuan pada acara di aula rektorat itu merupakan anggota rombongan dari Gubernur Narathiwat, Thailand, Sanan Phongaksom, yang siang itu mengunjungi kampus Unuja.
Kunjungan pejabat dari Negeri Gajah Putih itu bukan sekadar menunjukkan adanya hubungan kerja sama perguruan tinggi Indonesia dengan negara lain. Lebih dari itu, menunjukkan terbukanya satu kampus yang berada di bawah naungan pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam.
Meskipun kampus itu terkait erat dengan pesantren, dalam hubungan kemanusiaan dan pendidikan, Nurul Jadid tidak menutup diri.
"Dalam hal mu'asyarah (hubungan), kami memandang bahwa kita memang punya saudara. Saudara itu bisa seagama, sebangsa, atau sesama manusia. Itulah konteks hubungan kerja sama ini. Kita bisa berhubungan dengan siapa pun dalam semangat tolong-menolong," tutur Kepala Pesantren Nurul Jadid sekaligus Rektor Unuja K.H. Abdul Hamid Wahid, M.Ag.
Meskipun terbuka dengan kelompok dan negara mana pun, Kiai Hamid tetap berpegang teguh pada jalinan kerja sama sederajat dan bermartabat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa, sebagai warga negara, dan sebagai umat.
Landasan kokoh "tidak kehilangan jati diri" sebagai bangsa Indonesia dan umat Islam inilah yang menjadi pegangan pemimpin Nurul Jadid membuka pintu dan jalan bagi para santri dan mahasantri untuk memperluas jaringan, tidak hanya dengan sesama bangsa dan seagama.
Semangat dari kerja sama lintas negara dan kemudian bersentuhan dengan lintas agama itu adalah untuk menambah wawasan dan jaringan lulusan pesantren dan kampus Unuja sehingga mereka memiliki bekal lengkap saat kelak terjun dan mengabdi di masyarakat.
Jika kembali pada ajaran agama, terbukanya jalinan kerja sama dengan berbagai pihak merupakan pengejawantahan dari hakikat Islam yang harus menjadi rahmat bagi seluruh alam atau rahmatan lil'alamin.
Dalam beberapa tahun ini, Pondok Pesantren Nurul Jadid menerima santri dari Thailand, khususnya dari wilayah selatan, termasuk Unuja yang juga menerima mahasiswa dari negara itu. Saat ini tercatat ada lima mahasiswa Unuja asal Thailand, sedangkan satu orang lainnya sudah lulus.
Keterbukaan itu bukan hanya menjalin kerja sama. Di pesantren yang didirikan oleh K.H. Zaini Mun'im (almarhum) itu dalam beberapa tahun terakhir telah membuka jurusan Bahasa Mandarin bagi siswa sekolah menengah atas (SMA) dan beberapa dari lulusannya banyak mendapat beasiswa kuliah di perguruan tinggi di China.
Pelajaran Bahasa Mandarin itu disediakan bagi santri yang memilih SMA unggulan. Di sekolah formal itu, siswa mendalami Bahasa Mandarin, selain Bahasa Arab dan Inggris.
Dengan membuka jurusan Bahasa Mandarin, Pondok Pesantren Nurul Jadid sering dikunjungi oleh diplomat dari Konsul Jenderal China di Surabaya, termasuk dari Konjen Jepang. Dengan seperti itu, maka keterbukaan pikiran dan pemahaman para santri Nurul Jadid mengenai pergaulan terbuka sudah tertanam sejak lama.
Salah seorang alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk kuliah di China adalah Novi Basuki. Novi Basuki, asal Kabupaten Situbondo, menempuh pendidikan S-1 Jurusan Bahasa Mandarin di Universitas Xiamen, kemudian melanjutkan S-2 di universitas itu dengan Jurusan Hubungan Internasional. Untuk studi S-3, ia mengambil Jurusan Politik Internasional di Guangzhou.
Melihat penampilan Novi saat diwawancarai mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, kita mendapatkan bukti kuat mengenai ungkapan Kiai Hamid mengenai hubungan sederajat dan berpegang pada jati diri sebagai bangsa dan Umat Islam.
Meskipun sudah 10 tahun tinggal dan menempuh pendidikan di China, Novi tidak kehilangan jati dirinya sebagai orang dengan Suku Madura dan sebagai santri. Ia tidak kemudian menjadi berpenampilan ke-china-china-an, tapi tetap dengan penampilan sebagaimana santri. Ia nyaman mengenakan kopiah dan berperilaku sebagai santri. Santri memiliki jati diri sebagai anak yang selalu hormat pada guru dan orang tua.
Karena itu, setelah lulus dari China dan menyandang gelar doktor, Novi akan kembali ke Indonesia untuk mengaplikasikan ilmunya. Niat kembalinya dia ke Indonesia adalah berbakti kepada guru dan orang tua.
Masih menjadi pandangan umum di masyarakat bahwa santri itu lebih layak dan lumrah jika setelah lulus dari pesantren, kemudian melanjutkan pendidikan ke kampus berbasis agama dan jurusan agama. Kalau melanjutkan ke luar negeri, biasanya kampus yang dipilih adalah di Mesir atau di Arab Saudi.
Awalnya Novi mendapatkan semacam perlawanan dari masyarakat di desanya dengan pertanyaan, "Lulusan pesantren kok malah sekolah ke China?" Akan tetapi Novi telah membuktikan bahwa lulusan pesantren memiliki pegangan nilai yang kuat untuk terjun dan hidup di mana pun dan dalam kondisi apa pun, dengan tetap mempertahankan jati dirinya.
Kembali ke hubungan dengan negara dan pihak mana pun, Kiai Hamid menyatakan bahwa penerimaan santri dan mahasiswa dari luar negeri, khususnya Thailand, di pesantren dan kampus Universitas Nurul Jadid, merupakan wujud dari semangat saling membantu sebagai saudara.
Kiai Hamid menceritakan bahwa banyaknya alumni Nurul Jadid yang mendapatkan beasiswa ke beberapa perguruan tinggi di China itu terwujud, tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, termasuk dari masyarakat non-Muslim dan dari negara lain.
Keterbukaan akan ilmu di Nurul Jadid akan terus dikembangkan. Kalau saat ini santri diajari bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Mandarin, nantinya akan ditambah dengan bahasa asing lainnya, seperti Jepang, Korea, Turki, dan lainnya.
"Kami akan mendirikan pusat bahasa asing, sesuai dengan jurusan yang ada itu. Untuk mendukung pendirian pusat bahasa ini, kami tidak melihat latar belakang agama dan bangsa untuk mendapatkan dukungan. Hal terpenting adalah bagaimana memberi maslahat (kebaikan) bagi bangsa dan negara kita," kata mantan anggota DPR RI ini.
Kiai Hamid berharap semua yang diikhtiarkan, baik di pondok pesantren maupun di perguruan tinggi yang dia pimpin, akan memberi manfaat besar bagi kemanusiaan dan menjadi penerapan nyata dari Islam yang rahmatan lil'alamin.
Sementara itu, Gubernur Narathiwat Sanan Phongaksom mengaku nyaman dan bahagia bisa berkunjung dan melihat suasana di Unuja dan pesantren. Dengan sambutan yang ramah, ia menilai, Kiai Hamid dan seluruh insan di Nurul Jadid adalah orang-orang baik.
Sanan menyambut baik ajakan dari pemimpin kampus Unuja untuk menjalin hubungan bidang pendidikan dari kampus di Thailand, khususnya di Provinsi Narathiwat. Kerja sama itu nantinya bisa dikembangkan tidak hanya di bidang pendidikan, tapi juga pertanian, pariwisata, dan lainnya.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023
Tags: