Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan bahwa substansi Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (RUU Desa) hendaknya bermakna desa membangun ketimbang membangun desa.

"Bukan membangun desa, melainkan desa membangunnya. Kalau membangun desa, menganggap desa itu objek. Maka, kami di pusat yang menjadi engineer-nya. Kalau desa membangun, kita betul-betul memetakan seperti apa desa," kata Mardani dalam diskusi Forum Legislasi bertema Revisi UU Desa, Mampukah Pemerintah Desa Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat? di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, tiap wilayah desa di Indonesia memiliki keunikannya masing-masing, berikut kondisi geografis yang menyertainya.

Ia menyebut saat berkunjung ke Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu, masyarakat desa setempat menolak penyeragaman kondisi desa.

"Mereka betul-betul menolak penyeragaman kondisi desa antara Jawa dan Sulawesi, antara Sulawesi dan Papua, dan lain-lain," ujar anggota Komisi II DPR RI itu.

Untuk itu, lanjut dia, dalam RUU Desa dituliskan dengan frasa desa dan sebutan sejenis karena ada penyebutan nagari, ada distrik, dan lain-lain.

Baca juga: Puan harap RUU Desa akan bermanfaat bagi perangkat dan sektor desa
Baca juga: Rapat paripurna setujui RUU Desa jadi usul inisiatif DPR


Sementara itu, pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan mengatakan bahwa pola penyeragaman dalam pengaturan desa merupakan salah satu masalah desa saat ini, di samping penyelenggaraan pembangunan desa.

"Pemerintah desanya, ya, cenderung diatur secara uniformitas, seragam, padahal desa itu beragam," ucapnya.

Djohermansyah Djohan menuturkan bahwa pada masa pendudukan Belanda di Tanah Air pun kedudukan desa diatur menjadi dua, yaitu Inlandscbe Gemeente Ordonnantie (IGO) yang hanya berlaku di Pulau Jawa, dan Inlandchse Gemeente Ordonnantie Buitengeweesten (IGOB) untuk luar Pulau Jawa.

"Itu diatur sendiri juga karena ada kecenderungan desa-desa di luar Jawa tidak sama dengan desa di Jawa, itu contohnya. Jadi, kolonial pun memperhatikan keadaan kultural dari desa dan tradisi masing-masing," tuturnya.

Untuk itu, Djohermansyah mengingatkan agar pembuat undang-undang berhati-hati dalam membuat aturan tentang desa yang menyeragamkan kondisi desa di berbagai wilayah Indonesia.

"Jadi sebaiknya memang ini juga hati-hati kalau bikin pola menyeragamkan, ya, semuanya itu perangkatnya diseragamkan, lalu pengaturan misalnya yang diseragamkan buat peraturan desa harus kayak begini, seragam bikin APBDes harus seragam," kata dia.